Transaksi Giro Bank Syariah
dari Sudut Akad Mudharabah
Pada tulisan yang lalu, penulis telah
mengulas panjang lebar mengenai giro bank syariah menurut kacamata akad
wadi’ah. Kesimpulan akhir dari tulisan sebelumnya menyatakan bahwa jika giro
tidak dipandang sebagai barang titipan menurut kerangka akad wadi’ah, maka ada
dua kemungkinan memandang posisi giro dalam bingkai fiqih pada bank syariah.
Pertama, giro dianggap sebagai hutang (dayn).
Dilemanya, pihak Bank juga memberikan uang kembalian (bonus) kepada nasabah
karena uangnya telah ia gunakan untuk melakukan investasi sehingga menghasilkan
keuntungan untuk perjalanan hidup bank syariah. Bonus ini dalam kacamata fiqih
dipandang sebagai apa? Dipandang sebagai hadiahkah karena rasa terimakasihnya
kreditor (bank) kepada debitor (nasabah), ataukah sebagai bunga?
Karena banyaknya bonus sudah ditentukan di
muka ketika nasabah dan bank melakukan akad, maka tidak mungkin jika hal
tersebut dianggap sebagai hadiah. Karena syarat utama hadiah dari orang yang
dipinjami adalah tidak boleh ada ketentuan yang mengikat di depan. Semua hadiah
dari peminjam kepada yang dipinjami, harus atas inisiatif sendiri dan bersifat
sukarela serta tidak ada nisbah (rasio) ketetapan yang mengikat. Sebagaimana
hal ini disinggung dalam hadits Abu Rafi’ yang meriwayatkan sabda baginda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
أَعْطُوهُ
فَإِنَّ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً
“Berikan saja unta [terbaik itu] padanya,
karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam pengembalian
hutangnya.”
Jika begitu, apakah bonus bank kepada syariah
itu dipandang sebagai bunga? Jika hal itu adalah bunga, apa bedanya bank
syariah dengan bank konvensional? Karena tidak asing lagi dalam literasi fiqih
bahwa segala sesuatu yang memberi manfaat kepada pihak yang dihutangi adalah
riba [كل ما جرى نفعا من المقرض فهو ربا]. Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyebutkan:
وَكُلُّ
قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap hutang yang muqridl (pemberi
pinjaman) memberi syarat adanya tambahan [bagi peminjam], maka hukum tambahan
tersebut adalah haram, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.”
Kesimpulan sementara adalah bahwa tidak
mungkin transaksi giro dalam bank syariah dipandang sebagai akad qiradl (hutang-piutang).
Dengan demikian, ada satu kemungkinan peluang kebolehan giro dalam perbankan
syariah dipandang boleh menurut kacamata fiqih. Alternatif itu adalah akad
mudharabah.
Bagaimana jika Giro Dipandang sebagai Akad
Mudharabah?
Bila seseorang diserahi sebuah tanggung jawab,
maka ada dua kemungkinan peran tanggung jawab orang tersebut terhadap sebuah
objek yang dipasrahkan kepadanya. Wujud tanggung jawab tersebut adalah jika
bukan berperan sebagai آمن (orang yang diberi amanah), maka ia berperan sebagai ضامن (penanggung).
Masing-masing peran ini memiliki perbedaan konsekuensi.
Jika seseorang dipandang sebagai seorang yang
diberi amanah (amin), maka konsekuensi logisnya adalah apabila terjadi itlaf
(kerusakan) pada obyek yang dipegangkan kepadanya, maka ia tidak memiliki
beban tanggung jawab mengganti rugi terhadap barang tersebut kecuali bila
disebabkan unsur kesengajaan atau kesembronoan. Demikian juga dengan bank, bila
ia dipandang sebagai “pihak yang diserahi amanah”, maka seharusnya tidak perlu
adanya jaminan keamanan terhadap giro nasabah. Sebagaimana kaidah:
الأمانات
لاكفالة فيها
Tidak ada tanggungan (kafalah) dalam
amanah (kepercayaan)
Kaidah lain yang sejalan adalah:
ليس
على المستودع غير المغل ضمان
Seorang pemegang titipan (yang tidak lalai)
tidak akan dinyatakan bertanggungjawab atas kerugian.
Namun faktanya, pihak perbankan berperan
selaku penjamin keamanan dana nasabah. Jika begitu, ia bisa dipandang sebagai dlamin
(penanggung). Apakah hal ini sesuai dengan syarat berlakunya akad mudharabah
atau musyarakah?
Telah disebutkan dalam kitab at-Tadzhib
fii Adillati Matni al Ghayati wa al Taqriib, bahwa terdapat 4 syarat dalam
mudharabah: (1) modal yang diberikan berupa uang, (2) adanya izin dari pemilik
modal terhadap yang menjalankan guna mentasharrufkan modal secara muthlak atau
mengambil tindakan memutar modal sekira modal tersebut tidak rusak, (3)
disyaratkan adanya pembagian nisbah rasio keuntungan yang ma’lum
(diketahui bersama), dan (4) tidak dibatasi oleh masa/waktu.
Menilik dari syarat di atas, maka giro bisa
dianggap sebagai modal. Adapun pihak bank berlaku sebagai mudlarib. Pemilik
modal adalah nasabah itu sendiri. Sementara, bentuk pentasharufan bisa masuk
dalam bagian al-madhrub ‘alaih.
Karena sudah mendapat legalitas mutlak dari ‘aqidain,
maka dengan mengikuti syarat tersebut, bank boleh melakukan kegiatan apa saja
sebagai wujud tasharruf harta (giro), selagi usaha yang dijalaninya terindikasi
aman. Namun, dalam perjalanan untung rugi adalah merupakan konsekuensi usaha.
Tidak mutlak untung, akan tetapi juga harus siap menanggung kerugian.
Sebagaimana kaidah:
الخراج
بالضمان
Untung rugi harus siap ditanggung.
Pertanyaan yang mendasar, adalah bilamana
terjadi kerugian. Apakah pihak bank boleh cuci tangan? Seharusnya, jika
mengikuti syarat di atas, maka pihak bank tidak masuk dalam bagian penanggung
kerugian, karena bentuk pentasharrufan adalah menjadi hak yang disepakati
bersama antara kedua ‘aqidain, yakni antara nasabah dan bank.
Jika demikian halnya, lantas apa bentuk
dlawabith dan qawaid yang semestinya diikuti oleh pihak bank syariah, agar
usahanya bisa dipandang sah secara syariat? Hal ini akan diuraikan pada
ulasan-ulasan tulisan berikutnya. Insyaallah! []
Muhammad Syamsudin, pegiat kajian
fiqih terapan; pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean
Tidak ada komentar:
Posting Komentar