Rabu, 11 April 2018

Buya Syafii: Indonesia Bubar? (II)


Indonesia Bubar? (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Di akhir era DP (Demokrasi Pancasila), kedaulatan negara menjadi oleng ketika dihadapkan kepada krisis yang parah itu. Rezim Orba terpaksa bertekuk lutut kepada tekanan lembaga keuangan dunia seperti IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia.

Maka, berlakulah bencana perbankan yang terkenal itu: BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sebesar Rp 600 triliun kepada bank-bank swasta yang nyaris bangkrut akibat krisis moneter itu. Ironisnya, kemudian pemilik beberapa bank swasta yang telah ditalangi negara ini malah menyelewengkan bantuan itu. Sampai sekarang skandal BLBI ini belum juga selesai.

Lagi, sebuah rezim yang menyebut dirinya sebagai pelaksana DP berujung dengan kehancuran. Presidennya dihujat selama bertahun-tahun akibat dari krisis yang menyengsarakan rakyat banyak itu. Tetapi, apakah Indonesia bubar?

Ternyata juga tidak. Indonesia bertahan sebagai bangsa dan negara dengan luka-luka dalam yang meremukkan sekujur tubuhnya. Di atas kuburan DP itulah kemudian ditegakkan sebuah sistem DTN yang berlangsung sudah 20 tahun sampai hari ini.

Banyak kemajuan yang dicapai, di samping sisi-sisi boroknya yang juga tidak kurang. Di antaranya amendemen UUD 1945 yang tergopoh-gopoh sehingga kata orang antara kaki dan kepalanya sudah tidak tersambung.

Selama 20 tahun ini, Indonesia telah menampilkan lima presiden: BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. Selama 10 tahun (2004-2014) Indonesia berada di bawah kekuasaan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), sedangkan yang 10 tahun lainnya dibagi antara empat presiden.

Dan Presiden Joko Widodo masih akan berlanjut sampai tahun 2019, untuk kemudian terbuka kemungkinan untuk dipilih kembali.

Selama 10 tahun di bawah SBY, Indonesia relatif tenang, sekalipun tidak terlihat pembangunan infrastruktur yang berarti. Bahkan kabarnya, sejumlah proyek vital dibiarkan mangkrak yang mesti diselesaikan oleh pemerintah berikutnya.

Oleh SBY, kelompok-kelompok radikal juga diakomodasi sehingga mereka berhasil melakukan konsolidasi kekuatannya masing-masing dengan lebih leluasa. Akibatnya, pemerintah berikutnya mewarisi racun radikalisme ini. Sistem kekuasaan yang mau berbaik dengan semua kelompok yang destruktif sekalipun adalah pertanda kurang percaya diri.

Fenomena gagap menghadapi kelompok radikal ini juga masih terlihat di masa pemerintahan Jokowi-JK. Celakanya lagi, kelompok-kelompok ini juga dipelihara oleh partai-partai politik tertentu untuk kepentingan pragmatismenya masing-masing.

Tahun 2018-2019 adalah tahun-tahun politik yang penuh gesekan, mungkin keras. Di saat-saat semacam ini, politisi yang punya potensi sebagai negarawan perlu berpikir tenang untuk jangka panjang. Jangan biarkan bangsa ini terbelah oleh politik kepentingan sesaat. Taruhannya akan sangat tinggi: hari depan bangsa ini bisa terancam oleh perpecahan politik yang tunamartabat dan tunamoral.

Saya masih percaya, politisi yang berwawasan kebangsaan dan sangat mencintai negeri ini dengan sepenuh hati masih ada sekalipun jumlahnya tidak banyak. Mereka inilah bersama dengan komponen bangsa yang lain yang punya hati nurani dan akal sehat perlu memelihara kerukunan nasional dan kebinekaan masyarakat kita yang kaya raya.

Di saat-saat kritikal, orang-orang baik tidak boleh diam. Mereka mesti turun ke gelanggang. Kata Iqbal: “Bergerak dengan dosa lebih baik dari pada diam berpahala!”

Akhirnya pertanyaan: apakah Indonesia akan bubar pada 2030? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab dengan cacatan bahwa kita semua sebagai anak bangsa tetap menjaga pilar-pilar dan ikatan kebangsaan kita dengan penuh tanggung jawab, kompak, dan dengan sikap toleransi yang tinggi. Kohesi sosial kita jangan sampai longgar, tetapi negara juga wajib mengatasi ketimpangan sosial-ekonomi yang masih tajam sekarang ini.

Insya Allah, Indonesia masih akan bertahan lama, lama sekali. Igauan sementara orang tentang bubarnya Indonesia jangan sampai menggoyahkan semangat dan tali pengikat kebangsaan kita. []

REPUBLIKA, 10 April 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar