Khalifah Ketiga Abbasiyah: Klaim sebagai Mahdi
Oleh: Nadirsyah Hosen
Ini kisah tentang khalifah Abbasiyah ketiga. Nama aslinya
Muhammad. Bapaknya bernama Abdullah, yang kemudian dikenal sebagai Khalifah
al-Manshur. Lantas beredar riwayat bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Al-Mahdi
namanya akan menyerupai namaku (Muhammad). Dan nama ayahnya sama pula dengan
nama ayahku (Abdullah).”
Dalam riwayat lain disebutkan pula: “Al-Mahdi dari keturunan Abbas,
pamanku.” Inilah sebabnya khalifah ketiga ini diberi gelar Al-Mahdi. Tapi,
benarkah dia seorang Imam Mahdi? Simak yuk lanjutan mengaji sejarah politik
Islam.
Riwayat pertama di atas dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi
dan dianggap sahih oleh Imam Suyuthi. Namun, mengenai riwayat kedua di atas
dianggap bermasalah karena salah satu perawinya, Muhammad bin al-Walid,
terkenal sebagai tukang pemalsu hadits. Tapi tetap saja kedua riwayat ini
ketika dikombisikan berhasil meletakkan legitimasi politik yang kuat untuk
Khalifah Muhammad al-Mahdi yang menggantikan ayahnya, Khalifah Abu Ja’far
al-Manshur.
Dalam serial tulisan sebelumnya, sudah saya jelaskan rebutan klaim
di kalangan keluarga Nabi Muhammad yang telah berhasil menumbangkan Dinasti
Umayyah: apakah yang berhak memimpin umat itu keluarga Nabi dari keturunan Siti
Fathimah dan Ali bin Abi Thalib, atau dari jalur Sayyidina Abbas, paman Nabi.
Yang pertama dipercaya kalangan Syi’ah, sedangkan pendapat yang kedua dipegang
oleh Dinasti Abbasiyah.
Klaim pewaris sah dari keluarga Nabi di kelompok pertama juga
terpecah lagi: apakah dari jalur keturunan Sayyidina Hasan atau dari jalur
keturunan Sayyidina Husain? Maka, muncullah tokoh bernama Muhammad bin Abdullah
yang memliki jalur keturunan sekaligus dari Hasan dan Husain. Namanya juga pas
sesuai dengan riwayat Abu Dawud di atas, yaitu seperti nama Nabi dan nama ayah
Nabi.
Tokoh ini dikenal sebagai Muhammad an-Nafs az-Zakkiyah. Dia
kemudian dianggap sebagai salah satu imam dari kelompok Syi’ah Zaidiyah. Imam
Ja’far as-Sadiq dari Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah menolak klaim Muhammad
an-Nafs az-Zakkiyah sebagai Imam Mahdi. Syi’ah Imamiyah percaya bahwa Imam
Mahdi itu dari jalur keturunan Siti Fathimah dan dari anak keturunan Sayyidina
Husain. Imam kedua belas mereka, Muhammad bin Hasan al-Askari, dipercaya
sebagai Imam Mahdi.
Lantas, bagaimana dengan kalangan Abbasiyah? Abbasiyah menolak
klaim Syi’ah di atas, baik Zaidiyah maupun Imamiyah. Mereka bilang dari riwayat
Abu Dawud di atas, nama Imam Mahdi itu Muhammad bin Abdullah, padahal Syi’ah
Imamiyah percaya nama Imam Mahdi mereka Muhammad bin Hasan. Tidak matching dengan hadits Abu
Dawud. Kelompok Syi’ah Imamiyah tentu punya alasan tersendiri menolak riwayat
Abu Dawud—tapi ini bukan bahasan kita dan tidak perlu saya urai lebih jauh.
Penolakan terhadap Muhammad an-Nafs az-Zakkiyah yang mengklaim
sebagai Imam Mahdi juga dilakukan oleh Dinasti Abbasiyah dengan tiga cara.
Pertama, dengan memviralkan riwayat kedua di atas mengenai Mahdi dari jalur
keturunan Abbas, paman Nabi.
Kedua, Khalifah Abu Ja’far al-Manshur memerangi dan membunuh
Muhammad an-Nafs az-Zakkiyah di Madinah seperti saya singgung dalam tulisan
lalu (Al-Manshur, Khalifah Kedua Abbasiyah).
Ketiga, dan ini fokus bahasan kita kali ini, Khalifah Abu Ja’far
al-Manshur yang aslinya bernama Abdullah dan memiliki anak bernama Muhammad,
lantas menggelari anaknya dengan sebutan Al-Mahdi. Dengan kata lain, dia hendak
meneguhkan kekuasaan Abbasiyah seolah mengatakan: “Kami pun punya Al-Mahdi!”
Itulah penjelasan mengapa khalifah ketiga Abbasiyah dipanggil
dengan sebutan Al-Mahdi. Dalam Maqatil
at-Thalibiyyin, Abul Faraj Isfahani menceritakan bagaimana Abu
Ja’far al-Manshur dengan cerdik mendapat dukungan politik kekuasaan yang solid
setelah menggelari anaknya dengan Al-Mahdi. Jangan lupa ada satu riwayat lagi
dari Abu Dawud (Hadits nomor 3739) yang mengatakan menjelang datangnya Imam
Mahdi akan keluar seorang lelaki bernama Mansur yang memperkokoh keluarga
Muhammad, sebagaimana bangsa Quraisy memperkokoh Rasulullah dan karenanya wajib
atas setiap mukmin untuk memenuhi seruannya.
Anda boleh saja bertanya membaca riwayat semacam ini: apakah sama
nama Mansur di riwayat ini dengan Khalifah al-Manshur? Ataukah ini hanya
riwayat yang dibuat-buat saja oleh pendukung Kekhilafahan Abbasiyah untuk
melegitimasi kekuasaan mereka? Al-Hafizh al-Mundziri, ahli hadits terkemuka,
mengatakan riwayat “Mansur” di atas ini lemah. Takbiirrr!
Khalifah Al-Mahdi berkuasa sekitar sepuluh tahun. Dia menggalakkan
program penulisan kitab ilmu pengetahuan, meneruskan kebijakan ayahnya. Namun
dia sangat keras terhadap orang zindiq, yaitu aliran yang pada masa itu
mencampuradukkan ajaran Islam dengan Zoroaster. Kaum Zindiq ini dikejar dan
dibunuh.
Misalnya muncul tokoh Hasyim bin Hakim yang dikenal dengan
Al-Muqanna’ yang menutupi wajahnya akibat cacat. Dia menganggap dirinya sebagai
Nabi dari Khurasan. Dia dikepung oleh pasukan Al-Mahdi sehingga, konon, dia
melakukan bunuh diri massal bersama pengikutnya dengan cara membakar diri.
Kebijakan Al-Mahdi yang pro ilmu pengetahuan juga didukung oleh
penemuan kertas dari China. Sebelumnya yang digunakan itu papirus dari Mesir.
Sejak penemuan kertas, kota Baghdad menjadi ramai dengan pabrik kertas yang
digunakan sebagai bahan untuk menulis kitab. Ternyata ada juga kontribusi
peradaban China terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam. Ayo, takbiirr
lagiiii!
Al-Mahdi juga membangun jaringan pos antara Irak dan Hijaz. Ini
membuat komunikasi antarkota menjadi lebih terjalin, tidak lagi mengandalkan
utusan atau melempar burung dengan pesan diikat di kaki burung. Sayang, pada
masa itu belum ada Whatsapp
dan pesan pendek.
Al-Mahdi juga pecinta seni. Banyak sekali berbagai syair yang
tumbuh pesat pada masanya, dan sebagian diulas oleh Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa.
Al-Mahdi bisa sangat royal memberikan berbagai hadiah jikalau ada pihak yang
membacakan sya’ir indah memuji-muji dirinya dan kekuasaannya.
Namun ada saja ulama yang berusaha mengambil hati Al-Mahdi.
Ghiyats bin Ibrahim membacakan hadits Nabi: “Tidak ada perlombaan kecuali dalam
panahan dan balap kuda.” Namun Ghiyats menambahkan sendiri, “dan juga
perlombaan merpati.”
Al-Mahdi terkenal senang dengan burung merpati. Al-Mahdi bangkit
dari kursinya dan mengatakan, “Anda bohong,” namun tetap saja Ghiyats diberi
hadiah sepuluh ribu dirham. Ah, mudahnya mendapat hadiah, meski harus
memalsukan hadits. Kali ini, gak
usah teriak takbir, ya. Miris! Boleh dibilang masa Al-Mahdi ini sebagai
pengantar akan kejayaan atau masa emas dari Dinasti Abbasiyah, seperti akan
dibahas dalam kisah-kisah berikutnya.
Di masa Al-Mahdi ini perlahan titel khalifah bergeser, dari semula
sebagai khalifah penerus Rasul, kini menjadi Khalifatullah
fil Ardh. Khalifah Allah di muka bumi, seolah menjadi bayang-bayang
kekuasaan Allah di bumi. Maka, perlahan Khalifah Al-Mahdi duduk di balik tirai
dan sejumlah urusan penting diserahkan kepada wazirnya.
Posisi khalifah menjadi agung dan berjarak dengan rakyat serta
kukuh secara spiritual. Posisi wazir menjadi sangat menguat. Namun, bukan
berarti Al-Mahdi lepas tangan begitu saja. Dia sempat memecat wazirnya, yang
bernama Ya’qub bin Dawud, karena tidak menaati perintahnya.
Dari jalur suksesi, Al-Mahdi menunjuk kedua anaknya, Musa dan
Harun, sebagai penerusnya. Kekuasaan menjadi milik keluarga semata. Al-Mahdi
wafat karena diracun oleh budak perempuannya. Ini juga salah satu karakter
Al-Mahdi yang sangat mudah terpikat dengan kecantikan perempuan.
Ada versi lain yang disebutkan Imam Thabari bahwa Al-Mahdi wafat
karena diseruduk kuda saat sedang berburu. Entah versi mana yang benar.
Mari kita ikuti kisah lanjutan kekhilafahan Abbasiyah berikutnya, insya Allah! []
GEOTIMES, 21 Oktober 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar