Tahun Politik?
Oleh: Budiarto Shambazy
Judul di atas diakhiri dengan tanda tanya karena istilah “tahun
politik” mengernyitkan dahi.
Dalam bahasa Inggris, tidak ada “political year”. Di negara-negara
Barat dikenal sebutan “election year” (tahun pemilihan), merujuk pada pilpres
atau pemilu yang diselenggarakan tahun tertentu.
Di sini bahkan Presiden Joko Widodo pun sudah beberapa kali
mengucapkan kalimat “tahun politik” itu. Sebagian kalangan langsung teringat
judul pidato Presiden Soekarno, “Tahun Vivere Pericoloso” dalam perayaan
Proklamasi 17 Agustus 1964. Ada juga sejumlah kalangan menyingkat “tahun
politik” menjadi “tapol”, entah apa maksudnya.
Istilah tahun politik salah kaprah karena 2018 lebih tepat disebut
“tahun pilkada”. Ini merujuk pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di
provinsi dan kabupaten-kota di 171 lokasi. Beberapa tahun lalu berlangsung
pilkada di 260-an lokasi, tapi ketika itu belum ada istilah “tahun politik”.
Tahun 2019 akan diselenggarakan pemilihan legislatif (pileg) dan
pemilihan presiden (pilpres) yang berlangsung serentak 17 April 2019. Kalau
2018 diistilahkan sebagai tahun politik, lalu 2019 tahun apa?
Kedua tahun tersebut memang mustahil dipisahkan. Apa yang terjadi
pada tahun pilkada 2018, berkaitan erat dengan prospek pileg-pilpres 2019.
Partai-partai yang moncer pada pilkada tentu berpeluang merebut suara secara
signifikan pada pileg 2019, sementara yang kalah makin terpuruk.
Benarkah? Lalu bagaimana hubungan antara pilkada 2018 dengan
pilpres 2019?
Ini masih jadi pertanyaan menarik, walaupun menurut berbagai
survei Joko Widodo berpeluang besar terpilih lagi sebagai presiden 2019-2024.
Jangan lupa, Prabowo Subianto juga masih berpeluang meskipun hasil beberapa
survei masih menempatkan dia di urutan kedua.
Bisa jadi 2018 disebut sebagai tahun politik karena spekulasi
tentang siapa yang akan menjadi cawapresnya Jokowi dan Prabowo. Pendaftaran
capres-cawapres dijadwalkan Agustus 2018, atau sekitar 7-8 bulan dari sekarang.
Ini waktu yang tidak lama bagi Jokowi maupun Prabowo, yang mempunyai pilihan
cawapres lumayan banyak.
Tapi jangan cepat-cepat terpukau dengan 2018-2019 karena yang
namanya tahun politik sudah terjadi sejak 16 November 2016, sewaktu Gubernur
DKI Basuki Tjahaja Purnama ditersangkakan karena menista agama. Cerita
selebihnya, Anda sudah tahu.
Jadi sebenarnya kita sudah kenyang dengan tahun politik sepanjang 2016-2017.
Sebagian warga bahkan sudah muak dengan gonjang-ganjing politik yang sempat
mempermainkan isu-isu SARA. Rasa bangga dan optimisme terhadap masa depan
politik bangsa ini dikubur dalam-dalam oleh berbagai fitnah serta ujaran
kebencian SARA.
Kini ada bahaya politisasi agama ala Jakarta akan diviralkan ke
pilkada 2018, terutama di provinsi-provinsi di Pulau Jawa.
Kecebong vs Kampret
Saat ini, gonjang-ganjing politik sejak 2016 saling
menghadap-menghadapkan dua kubu yang membelah Indonesia, yakni antara kubu
pro-Jokowi versus anti-Jokowi. Dalam istilah media sosial, antara kubu kecebong
melawan kubu kampret.
Ya, Indonesia telah terbelah atas dua kelompok binatang. Dan,
keterbelahan itu akan dengan mudah ditemukan begitu Anda membuka gawai setiap
pagi.
Siapa yang bisa mengakhiri keterbelahan ini? Jawabannya: ya diri
kita masing-masing.
Caranya? Ya dengan meyakini bahwa politik kita belum bangkrut.
Relakanlah hak Anda dengan mengandalkan nurani dan akal sehat saat mencoblos,
jangan golput. Seperti dalam sepak bola, kalau jagoan Anda menang
syukurilah dan jika kalah terima dengan besar hati.
Kita sudah 20 tahun jungkir-balik bersama mengawali era baru
bernama Reformasi sejak 1998. Kita yakin demokrasi pilihan yang terbaik setelah
hidup dalam penindasan 32 tahun Orde Baru. Memang selama era Reformasi kita
masih dalam tahap menjalani demokrasi yang prosedural, tetapi semakin
terkonsolidasi dan berkualitas.
Tentu saja demokrasi senantiasa menghadapi ancaman, seperti yang
terjadi 4 November 2016 ketika sebuah aksi berusaha dimanipulasi menjadi
kerusuhan dengan harapan bisa berujung pada pemakzulan Presiden. Dan, ingatlah,
ancaman serupa bukan tak mungkin bisa terjadi kembali tahun ini atau
tahun-tahun mendatang.
Kinerja pemerintah memang belum sempurna, masih banyak yang harus
dibenahi. Tak semua menteri tampil sesuai harapan sehingga sering muncul
tuntutan merombak kabinet. Sejumlah kalangan pun, terutama dunia usaha, juga
mengungkapkan kekecewaan terhadap kondisi ekonomi.
Namun, politik kita jauh dari gejala membusuk. Dari tahun ke tahun
ia malah bertambah segar karena kepemimpinan nasional yang merakyat dan
anti-korupsi, yang diamini oleh berbagai kalangan masyarakat sipil di dalam
negeri dan diakui oleh dunia internasional.
Selamat menikmati Tahun Politik 2018-2019! []
KOMPAS, 08 Januari 2018
Budiarto Shambazy ; Wartawan Kompas 1982-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar