Senin, 22 Januari 2018

(Buku of the Day) Ulama Jumhur dari Cianjur



Mendokumentasikan Kisah Ajengan dari Mulut ke Mulut


Judul                : Ulama Jumhur dari Cianjur
Penulis             : Rudy Asyarie dan Ending Bahrudin
Penerbit            : Yaspumah Cianjur
Cetakan 1         : 2016 
ISBN                 : -
Tebal                : 120 halaman
Peresensi          : Abdullah Alawi

Penulisan sejarah hidup dan perjuangan ajengan Sunda (Jawa Barat) masih terbilang langka, termasuk di Cianjur. Padahal daerah tersebut banyak melahirkan ajengan yang memiliki jaringan kaliber nasional, bahkan yang dikenal sampai mancanegara.

Perjuangan para ajengan yang senantiasa menjadi pemimpin dan panutan masyarakat tidak kecil. Selain mencerdaskan masyarakat, mereka juga bahkan memperjuangankan dan merebut kemerdekaan. Namun, sekali lagi, peran para ajengan tersebut masih dalam cerita lisan. 

Oleh karena itulah Rudy Asyarie dan Ending Bahrudin mengupayakan menuliskannya pada buku berjudul “Ulama Jumhur dari Cianjur”. Menurut penulis buku tersebut, pada pengantarnya, memamg sejarah dan perjuangan ajengan terus hidup karena diceritakan dari mulut ke mulut.

Namun, cerita tersebut dikenal terbatas pada lingkup keluarga pesantren dan para santrinya. Sebagian ada yang dituliskan dalam bentuk selebaran yang dibuat pada momentum haul seorang ajengan, sebagian di beberapa media cetak dan daring. (hal. Xiiv)

Kedua penulis mengaku mendasarkan penulisannya pada sumber tersebut, pihak keluarga dan para santri ajengan-ajengan tersebut. 

Buku menyebutkan, sebetulnya Cianjur dihuni manusia sejak 3000-4000 tahun lalu. Bukti keberadaannya adalah situs gunung Padang, berupa bukit batu megalitikum. Hanya punden berundak itu yang menunjukkan adanya ciri-ciri bahwa manusia pernah ada waktu itu.

Kemudian penulis menarik sejarah pendirian Cianjur dari masa datangnya Dalem Cikundul atau dikenal sebagai Raden Aria Waratanudatar I. Ia adalah putra dari Wangsa Goparana, keturunan Prabu Siliwangi yang telah memeluk agama Islam. 

Raden Aria Waratanudatar I mendapatkan tugas dari ayahnya untuk menyebarkan Islam ke wilayah Priangan Barat dengan menetap di daerah Cianjur sekarang. Ia hijrah ke daerah itu dengan membawa sekitar 313 kepala keluarga. 

Sebelumnya, ia pernah nyantri di sebuah pesantren di Gunung Jati, Cirebon. Sehingga suasana keberagamaan Islam di wilayah barunya itu sangat terasa karena dipimpin seorang dalem yang ahli agama. Dalem inilah yang kemudian banyak melahirkan kiai. (hal 8-10). 

Buku ini memuat 25 profil ajengan. Mereka adalah kiai yang lahir di Cianjur dan menyebarkan agama di Cianjur seperti Mama Ajengan KH Ahmad Syatibi, beberapa kiai kelahiran Cianjur yang terkenal di luar daerah seperti Mama Ajengan KH Abdullah bin Nuh, kiai yang dibuang Belanda ke Cianjur yaitu KH Asnawi Banten, kiai kelahiran daerah lain yang terkenal yang sebelumnya pernah berguru di Cianjur seperti KH Sohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom), serta kiai dari luar negeri (Singapura) yang memiliki hubungan dengan Cianjur, Guru Haji Isa. 

Salah satu kiai dalam buku tersebut adalah Mama Ajengan Syatibi. Ia adalah guru dari ajengan-ajengan Jawa Barat. Silsilah leluhur terhubung kepada Rasulullah SAW karena masih keturunan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Tasikmalaya. 

Pada masa nyantrinya, Mama Ajengan Syatibi dikenal cerdas. Pada usia 16 tahun, ia berguru kepada Mama Ajengan Adzro’i, Garut. Di pesantren tersebut ia mampu menghafalakan kitab Nadhom Al-Maqsud, Kailany, Amrity, Alfiyah ibnu Malik, Samarqandy, Jauhar Maknun, dalam waktu 40 hari. 

Mama Syatibi kemudan berguru kepada Mama Gudang, Tasikmalaya, selama 9 tahun. Kemudian melanjutkan pencarian ilmunya ke tanah suci Makkah, kepada Syekh Hasbullah. 

Ada cerita kecerdasan Mama Syatibi ketika berguru kepada Syekh Hasbullah. Suatu ketika, Syekh Hasbullah meminta semua muridnya untuk meneliti kitab Tuhfatu Muhtaj kemudian menuangkan penelitian tersebut dalam bentuk catatan. Para muridnya mengikuti anjuran tersebut, termasuk Mama Syatibi. 

Keesokan harinya, Syekh Hasbullah memeriksa buku muridnya. Ia tertegun ketika mendapati catatan Mama Syatibi. 

Kemudian Syekh Hasbullah mengatakan kepada murid-muridnya bahwa pengajian kitab Tuhfatul Muhtaj dibatalkan karena ia harus berguru terlebih dahulu kepada Mama Syatibi. (hal. 26)

Namun sayangnya, buku tersebut tidak melacak secara detil tahun-tahun penting dan karya para ajengan tersebut. Serta banyak salah ketik yang tidak perlu, yang tentunya mengganggu pembaca. Dan tentu saja, sebagaimana diakui penulisnya, masih banyak fragmen hidup kiai yang ditulis yang tidak tercantum. Juga ajengan-ajengan lain yang belum termasuk dalam buku tersebut. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar