Mendokumentasikan
Kisah Ajengan dari Mulut ke Mulut
Judul
: Ulama Jumhur dari Cianjur
Penulis
: Rudy
Asyarie dan Ending Bahrudin
Penerbit
: Yaspumah Cianjur
Cetakan 1
: 2016
ISBN
: -
Tebal
: 120 halaman
Peresensi
: Abdullah Alawi
Penulisan sejarah
hidup dan perjuangan ajengan Sunda (Jawa Barat) masih terbilang langka,
termasuk di Cianjur. Padahal daerah tersebut banyak melahirkan ajengan yang
memiliki jaringan kaliber nasional, bahkan yang dikenal sampai mancanegara.
Perjuangan para
ajengan yang senantiasa menjadi pemimpin dan panutan masyarakat tidak kecil.
Selain mencerdaskan masyarakat, mereka juga bahkan memperjuangankan dan merebut
kemerdekaan. Namun, sekali lagi, peran para ajengan tersebut masih dalam cerita
lisan.
Oleh karena itulah
Rudy Asyarie dan Ending Bahrudin mengupayakan menuliskannya pada buku berjudul
“Ulama Jumhur dari Cianjur”. Menurut penulis buku tersebut, pada pengantarnya,
memamg sejarah dan perjuangan ajengan terus hidup karena diceritakan dari mulut
ke mulut.
Namun, cerita
tersebut dikenal terbatas pada lingkup keluarga pesantren dan para santrinya.
Sebagian ada yang dituliskan dalam bentuk selebaran yang dibuat pada momentum
haul seorang ajengan, sebagian di beberapa media cetak dan daring. (hal. Xiiv)
Kedua penulis mengaku
mendasarkan penulisannya pada sumber tersebut, pihak keluarga dan para santri
ajengan-ajengan tersebut.
Buku menyebutkan,
sebetulnya Cianjur dihuni manusia sejak 3000-4000 tahun lalu. Bukti
keberadaannya adalah situs gunung Padang, berupa bukit batu megalitikum. Hanya
punden berundak itu yang menunjukkan adanya ciri-ciri bahwa manusia pernah ada
waktu itu.
Kemudian penulis
menarik sejarah pendirian Cianjur dari masa datangnya Dalem Cikundul atau
dikenal sebagai Raden Aria Waratanudatar I. Ia adalah putra dari Wangsa
Goparana, keturunan Prabu Siliwangi yang telah memeluk agama Islam.
Raden Aria
Waratanudatar I mendapatkan tugas dari ayahnya untuk menyebarkan Islam ke
wilayah Priangan Barat dengan menetap di daerah Cianjur sekarang. Ia hijrah ke
daerah itu dengan membawa sekitar 313 kepala keluarga.
Sebelumnya, ia pernah
nyantri di sebuah pesantren di Gunung Jati, Cirebon. Sehingga suasana
keberagamaan Islam di wilayah barunya itu sangat terasa karena dipimpin seorang
dalem yang ahli agama. Dalem inilah yang kemudian banyak melahirkan kiai. (hal
8-10).
Buku ini memuat 25
profil ajengan. Mereka adalah kiai yang lahir di Cianjur dan menyebarkan agama
di Cianjur seperti Mama Ajengan KH Ahmad Syatibi, beberapa kiai kelahiran
Cianjur yang terkenal di luar daerah seperti Mama Ajengan KH Abdullah bin Nuh,
kiai yang dibuang Belanda ke Cianjur yaitu KH Asnawi Banten, kiai kelahiran
daerah lain yang terkenal yang sebelumnya pernah berguru di Cianjur seperti KH
Sohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom), serta kiai dari luar negeri (Singapura)
yang memiliki hubungan dengan Cianjur, Guru Haji Isa.
Salah satu kiai dalam
buku tersebut adalah Mama Ajengan Syatibi. Ia adalah guru dari ajengan-ajengan
Jawa Barat. Silsilah leluhur terhubung kepada Rasulullah SAW karena masih
keturunan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Tasikmalaya.
Pada masa nyantrinya,
Mama Ajengan Syatibi dikenal cerdas. Pada usia 16 tahun, ia berguru kepada Mama
Ajengan Adzro’i, Garut. Di pesantren tersebut ia mampu menghafalakan kitab Nadhom
Al-Maqsud, Kailany, Amrity, Alfiyah ibnu Malik, Samarqandy, Jauhar Maknun,
dalam waktu 40 hari.
Mama Syatibi kemudan
berguru kepada Mama Gudang, Tasikmalaya, selama 9 tahun. Kemudian melanjutkan
pencarian ilmunya ke tanah suci Makkah, kepada Syekh Hasbullah.
Ada cerita kecerdasan
Mama Syatibi ketika berguru kepada Syekh Hasbullah. Suatu ketika, Syekh
Hasbullah meminta semua muridnya untuk meneliti kitab Tuhfatu Muhtaj kemudian
menuangkan penelitian tersebut dalam bentuk catatan. Para muridnya mengikuti
anjuran tersebut, termasuk Mama Syatibi.
Keesokan harinya,
Syekh Hasbullah memeriksa buku muridnya. Ia tertegun ketika mendapati catatan
Mama Syatibi.
Kemudian Syekh
Hasbullah mengatakan kepada murid-muridnya bahwa pengajian kitab Tuhfatul
Muhtaj dibatalkan karena ia harus berguru terlebih dahulu kepada Mama Syatibi.
(hal. 26)
Namun sayangnya, buku
tersebut tidak melacak secara detil tahun-tahun penting dan karya para ajengan
tersebut. Serta banyak salah ketik yang tidak perlu, yang tentunya mengganggu
pembaca. Dan tentu saja, sebagaimana diakui penulisnya, masih banyak fragmen
hidup kiai yang ditulis yang tidak tercantum. Juga ajengan-ajengan lain yang belum
termasuk dalam buku tersebut. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar