Rabu, 17 Januari 2018

Belajar Memakai Sepatu di Balik Kursi Presiden Gus Dur



Belajar Memakai Sepatu di Balik Kursi Presiden Gus Dur

Tidak ada yang meragukan kecerdasan dan level pengabdian KH Abdurrahman Wahid (1940-2009) kepada agama, bangsa, dan negara untuk menjadi seorang pemimpin. Potensi besar menjadi pemimpin ini dilihat secara serius oleh sahabatnya, Fahmi Djafar Saifuddin (1942-2002). Bukan hanya pada level organisasi Islam terbesar di dunia seperti Nahdlatul Ulama (NU), tetapi juga menjadi seorang pemimpin negara, Presiden.

Meskipun serius ‘mengarsiteki’ Gus Dur menjadi pemimpin bangsa, Fahmi D. Saifuddin justru terlebih dahulu mendorong Gus Dur agar terbiasa memakai sepatu. Karena walau kemana pun dan dalam kegiatan apapun, Gus Dur kerap memakai sandal. Hal yang menurutnya cukup mengganjal dalam pikiran Fahmi, padahal Gus Dur sendiri merasa nyaman memakai sandal meski dirinya kala itu telah menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Selain salah seorang arsitek Khittah NU 1926 tahun 1984 di Situbondo, Ketua PBNU, dan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) dengan rentetan penghargaan, Fahmi D. Saifuddin adalah salah seorang sahabat dekat Gus Dur. Dia sudah lama memperhatikan, meneliti, dan memahami karakter, pemikiran, dan sepak terjang putra sulung KH Abdul Wahid Hasyim bin KH Muhammad Hasyim Asy’ari ini.

Riwayat tersebut dikisahkan oleh salah seorang sahabat Gus Dur, KH Ahmad Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus. Baik Gus Dur, Gus Mus, dan Fahmi D. Saifuddin merupakan tokoh-tokoh yang mengarsiteki Khittah NU. Menurut Fahmi yang diceritakan oleh Gus Mus, Gus Dur perlu diantarkan menjadi pemimpin masa depan bangsa dan negara ini.

Untuk tujuan besar itu, Fahmi membujuk setengah mendesak agar Gus Dur menerima ajakan Presiden Soeharto masuk Golkar dan menjadi anggota MPR. Itu terjadi pada tahun 1987, tiga tahun setelah Gus Dur terpilih menjadi Ketua Umum PBNU hasil Muktamar ke-27 NU di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Jawa Timur.

Gus Dur menolak dan ingin tetap menjadi kritikus Orde Baru sebagai pemimpin gerakan rakyat. Gus Dur menjawab Fahmi, “Aku emoh, wis kono takon Gus Mus wae, nek (Gus Mus) setuju, aku manut” (aku nggak mau, sudah sana tanya Gus Mus aja, kalau (Gus Mus) setuju, saya nurut). (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, Noura Books, 2015).

Fahmi lalu menemui Gus Mus. Dia mengatakan kepada kiai yang saat ini mengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang ini bahwa jika Gus Dur menjadi anggota MPR, dia akan bisa memengaruhi pemikiran orang-orang di sana (MPR) sekaligus bisa berdiskusi dengan Soeharto. Namun Gus Mus sendiri mengakui sulit, meski bagi orang secerdas Gus Dur.

Singkatnya, Gus Mus tidak setuju Gus Dur menjadi anggota MPR. Namun rupanya Fahmi tak putus harapan. Dia terus membujuk Gus Dur. Menurut Gus Mus, tujuan Fahmi sebenarnya tidak seserius itu. Dia hanya ingin agar Gus Dur nantinya sering memakai sepatu ke mana-mana, tidak pakai sandal terus. Di balik keinginan sederhana itu, tersimpan impian dan rencana besar dr. Fahmi agar Gus Dur mempersiapkan diri menjadi pemimpin bangsa yang besar.

Impian Fahmi sang arsitek itu berhasil. Gus Dur menjadi Presiden keempat RI pada tahun 1999. Banyak orang NU yang tidak mengira betapa hebatnya Fahmi D. Saifuddin, putra KH Saifuddin Zuhri dan kakak kandung Lukman Hakim Saifuddin ini. Kedua nama terakhir adalah adalah Menteri Agama Republik Indonesia periode 1962-1967 dan Menteri Agama periode 2014 hingga sekarang.

Menurut Gus Mus, Fahmi D. Saifuddin merupakan seorang NU tulen. Bukan hanya 100 persen, tetapi 1000 persen. Dialah yang merencanakan jauh-jauh hari dan memimpikan Gus Dur jadi Presiden RI dengan mengajarinya memakai sepatu. []

(Fathoni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar