Belajar Memakai Sepatu
di Balik Kursi Presiden Gus Dur
Tidak ada yang
meragukan kecerdasan dan level pengabdian KH Abdurrahman Wahid (1940-2009)
kepada agama, bangsa, dan negara untuk menjadi seorang pemimpin. Potensi besar
menjadi pemimpin ini dilihat secara serius oleh sahabatnya, Fahmi Djafar
Saifuddin (1942-2002). Bukan hanya pada level organisasi Islam terbesar di
dunia seperti Nahdlatul Ulama (NU), tetapi juga menjadi seorang pemimpin
negara, Presiden.
Meskipun serius
‘mengarsiteki’ Gus Dur menjadi pemimpin bangsa, Fahmi D. Saifuddin justru
terlebih dahulu mendorong Gus Dur agar terbiasa memakai sepatu. Karena walau
kemana pun dan dalam kegiatan apapun, Gus Dur kerap memakai sandal. Hal yang
menurutnya cukup mengganjal dalam pikiran Fahmi, padahal Gus Dur sendiri merasa
nyaman memakai sandal meski dirinya kala itu telah menjabat Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Selain salah seorang
arsitek Khittah NU 1926 tahun 1984 di Situbondo, Ketua PBNU, dan Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) dengan rentetan penghargaan,
Fahmi D. Saifuddin adalah salah seorang sahabat dekat Gus Dur. Dia sudah lama
memperhatikan, meneliti, dan memahami karakter, pemikiran, dan sepak terjang putra
sulung KH Abdul Wahid Hasyim bin KH Muhammad Hasyim Asy’ari ini.
Riwayat tersebut
dikisahkan oleh salah seorang sahabat Gus Dur, KH Ahmad Mustofa Bisri atau
akrab disapa Gus Mus. Baik Gus Dur, Gus Mus, dan Fahmi D. Saifuddin merupakan
tokoh-tokoh yang mengarsiteki Khittah NU. Menurut Fahmi yang diceritakan oleh
Gus Mus, Gus Dur perlu diantarkan menjadi pemimpin masa depan bangsa dan negara
ini.
Untuk tujuan besar
itu, Fahmi membujuk setengah mendesak agar Gus Dur menerima ajakan Presiden
Soeharto masuk Golkar dan menjadi anggota MPR. Itu terjadi pada tahun 1987,
tiga tahun setelah Gus Dur terpilih menjadi Ketua Umum PBNU hasil Muktamar
ke-27 NU di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Jawa Timur.
Gus Dur menolak dan
ingin tetap menjadi kritikus Orde Baru sebagai pemimpin gerakan rakyat. Gus Dur
menjawab Fahmi, “Aku emoh, wis kono takon Gus Mus wae, nek (Gus Mus) setuju,
aku manut” (aku nggak mau, sudah sana tanya Gus Mus aja, kalau (Gus Mus)
setuju, saya nurut). (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, Noura
Books, 2015).
Fahmi lalu menemui
Gus Mus. Dia mengatakan kepada kiai yang saat ini mengasuh Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang ini bahwa jika Gus Dur menjadi anggota MPR,
dia akan bisa memengaruhi pemikiran orang-orang di sana (MPR) sekaligus bisa
berdiskusi dengan Soeharto. Namun Gus Mus sendiri mengakui sulit, meski bagi
orang secerdas Gus Dur.
Singkatnya, Gus Mus
tidak setuju Gus Dur menjadi anggota MPR. Namun rupanya Fahmi tak putus
harapan. Dia terus membujuk Gus Dur. Menurut Gus Mus, tujuan Fahmi sebenarnya
tidak seserius itu. Dia hanya ingin agar Gus Dur nantinya sering memakai sepatu
ke mana-mana, tidak pakai sandal terus. Di balik keinginan sederhana itu,
tersimpan impian dan rencana besar dr. Fahmi agar Gus Dur mempersiapkan diri
menjadi pemimpin bangsa yang besar.
Impian Fahmi sang
arsitek itu berhasil. Gus Dur menjadi Presiden keempat RI pada tahun 1999.
Banyak orang NU yang tidak mengira betapa hebatnya Fahmi D. Saifuddin, putra KH
Saifuddin Zuhri dan kakak kandung Lukman Hakim Saifuddin ini. Kedua nama
terakhir adalah adalah Menteri Agama Republik Indonesia periode 1962-1967 dan
Menteri Agama periode 2014 hingga sekarang.
Menurut Gus Mus,
Fahmi D. Saifuddin merupakan seorang NU tulen. Bukan hanya 100 persen, tetapi
1000 persen. Dialah yang merencanakan jauh-jauh hari dan memimpikan Gus Dur
jadi Presiden RI dengan mengajarinya memakai sepatu. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar