Selasa, 30 Januari 2018

Kang Sobary: Kekuasaan Tanpa Keabsahan



Kekuasaan Tanpa Keabsahan
Oleh: Mohamad Sobary

Dalam sebuah film seri berjudul Singgasana Brama Kumbara, disiarkan radio secara bersambung dan dibikin pula film layar lebar pada akhir 1980-an dan sekarang film bagus itu bisa kita tonton lewat YouTube, dikisahkan kelakuan jahat Pangeran Mahkota Kerajaan Jala Tunda. Namanya Gelang Manik. Wataknya kriminal. Tindakannya kasar dan kejam. Pangeran ini gemar berjudi, mabuk-mabukan, merampok, membunuh, dan memerkosa perempuan di negerinya sendiri. Dia bersahabat dengan para bandit sakti yang menjadi andalannya untuk melindungi identitasnya.

Sebagai Putra Mahkota, dia merasa tak enak kalau tindakan-tindakan jahatnya kelihatan terbuka. Para penjahat itu tamengnya. Tapi, tameng tak selamanya bisa menutupi dengan baik tiap kejahatan yang dilakukannya. Sang Prabu Kerta Warma memperoleh laporan mengenai kebusukan Putra Mahkota. Pada suatu hari Tumenggung Darma Sandi menghadap sang Prabu untuk memohon keadilan karena istrinya diculik komplotan Gelang Manik. Pangeran itu dendam kepada Tumenggung yang dibencinya. Baginda Prabu murka. Pangeran Mahkota pun dijatuhi hukuman berat.

Sang Prabu malu. Status Gelang Manik dicabut. Dia tidak lagi berhak atas takhta. Tapi, Gelang Manik melawan. Komplotan para penjahat digerakkan. Sang Prabu diringkus dengan bantuan para begundalnya. Kemudian dipenjara seperti memperlakukan seorang penjahat. Ibunya yang marah dan tak mendukungnya juga dipenjara. Ibunya menyatakan bahwa Gelang Manik bisa saja naik takhta dengan menggunakan kekerasan yang bisa disebut pemberontakan dan makar, tapi statusnya sebagai raja tidak sah. Ayahnya telah mengantisipasi perkembangan keadaan dengan cara menyuruh putrinya sendiri untuk membawa lari pusaka-pusaka keraton keluar kerajaan.

Para preman sakti pendukung Gelang Manik disuruh mengejar orang-orang yang membawa pusaka-pusaka yang memberi legitimasi atas posisinya itu. Ringkasnya, pusaka-pusaka itu dibawa kembali ke keraton dan para penjahat itu bergembira ria. Satu yang mereka lupakan, sekutu sang Prabu, Suwarma pun bergerak cepat untuk mengambil kembali takhta kerajaan.

Di puncak acara penobatan atas dirinya oleh dirinya dan sekutu-sekutu jahatnya itu terjadi huru-hara hebat. Sang Prabu dibebaskan dari penjara. Para loyalis sang Prabu melawan para pendukung Gelang Manik. Keadaan kacau. Sang Prabu kembali memegang takhta yang direbut anaknya yang berhasil duduk di singgasana dalam beberapa saat yang penuh kegentingan.

Film ini memberi kita suatu renungan penting. Pertama, ini karya seni yang bagus, dan jika pemerintah mau menggunakannya untuk diplomasi kebudayaan, ini sarana yang bagus. Dan, ada beberapa film seri serupa misalnya Tutut Tinular yang luar biasa bagus untuk diplomasi. Film-film Korea kita kagumi setinggi langit. Tapi, film-film seri kita mungkin jauh lebih bagus, tapi pemerintah diam saja tak berkutik. Modal kebudayaan sehebat ini dibiarkan mati kependem di negerinya sendiri.

Kedua, film ini relevan dengan perkembangan politik mutakhir di negeri kita.  Kita menyaksikan begitu banyak politisi berebut jabatan dengan semangat yang penting menang, yang penting bertakhta, dan menikmati jabatan barunya tanpa peduli apakah dia mampu bekerja dengan baik. Ini bukan urusan. Naik takhta dalam suatu jabatan lebih penting. Bekal kemampuan bekerja untuk mengabdi negara dan bangsa dan rakyatnya tak menjadi pertimbangan.

Banyak anak muda negeri kita ini yang memiliki watak serakah, oportunis, dan siap bersekutu dengan Batari Durna dan Ruh Dasamuka yang gentayangan. Dua-duanya merupakan representasi dunia hitam. Tapi, banyak anak muda kita yang doyan bersekutu dengan mereka demi meraih jabatan. Sekali lagi, dalam pertarungan yang disebut pilkada, yang seolah demokratis itu, jabatan mereka tak bisa disebut sah. Mereka menggunakan kekuasaan, power, tanpa authority. Kalau menang, dia hanya menang, hanya berkuasa, tapi tanpa keabsahan. Orang-orang ahli ilmu politik bilang itu kekuasaan tanpa keabsahan. Preman berkuasa di mana-mana, tapi mereka tak didukung oleh legitimasi politik.

Politisi tua negeri kita beda jauh dibanding generasi 45 yang berisi kaum terpelajar, nasionalis tulen, dan berbakti pada bangsa dan negara. Mereka profesional. Generasi 66, terutama Orde Baru, berisi kaum  militer, maksudnya Angkatan Darat (saja), sebagian lainnya ekonom dan kaum sekolahan lainnya. Mereka pun profesional. Generasi sesudahnya, banyak anak sekolahan, tapi minus penghayatan mengenai makna berbakti pada bangsa dan negara. Mereka disebut profesional karena terpelajar. Sebagian lainnya pedagang. Ini pun disebut profesional, tapi mereka serakah.

Biarpun sudah tua, penghayatan terhadap makna mengabdi pada bangsa dan negara kelihatannya minim. Mereka berkuasa dan berdagang. Kekuasaannya terutama kelihatannya bukan untuk mengabdi pada bangsa, melainkan untuk bisnis keluarganya. Di sini kita tak memiliki catatan yang bisa membuat kita merasa berbahagia. Hiruk-pikuk perubahan politik hanya berarti bergantian posisi orang-orang yang pada dasarnya oportunis dan serakah tadi. Menjadi apa pun mereka, isinya hanya itu: oportunis dan serakah yang tak menyisakan harapan bagi bangsa, negara, dan rakyatnya.

Kaum oportunis itu pandai bicara, dan lebih pandai lagi memanipulasi keadaan yang secara politik sah, tapi secara moral, wajah mereka compang-camping seperti kaum hina-papa yang terbuang di jalanan. Harus dicatat segera bahwa politisi muda kita banyak yang serakah dan oportunis seperti itu. Mereka "berteduh" di bawah bayangan para senior. Sekarang partai-partai politik menjadi rebutan orang-orang serakah yang bisa menguasai beberapa partai sekaligus.

Kaum muda yang belajar dari yang tua-tua talk memperoleh wisdom kehidupan apa pun. Mereka hanya belajar cara menipu, mengecoh, memanipulasi. Dan tipologi seperti itu dikira barang baik. Kaum tua di politik kita juga menggunakan agama untuk tameng moral pribadinya. Mereka ikut organisasi sosial keagamaan yang berpengaruh. Ini tameng, tutup wajah, seperti Putra Mahkota menggunakan kaum kriminal dan para penjahat jalanan untuk tameng bagi identitas dirinya.

Pebisnis orang beragama, kaum profesional orang beragama. Politisi juga beragama. Ajaran yang tua-tua, agama bisa dipakai untuk memukul orang lain. Dia sendiri aman karena bernaung di bawah agama yang secara politik kuat dan penuh legitimasi. Kaum muda terpelajar, para pebisnis, politisi, birokrat, diajar yang tua-tua tentang cara berkuasa yang hebat. Pukul orang lain dengan agama, gunakan agama untuk membuat "kita" seperti suci, dan gunakan agama untuk mengutuk orang lain. Kutuk mengutuk bisa sangat efisien dalam jangka pendek, sekadar menipu calon pemilih agar memilih golongan kita.

Tak menjadi soal bahwa golongan kita yang kita pilih itu akhirnya dalam jangka panjang kelihatan menipu kita. Kemampuan mereka meracik kata dan ungkapan-serbapalsu dan menipu tanpa rasa malu-bisa memesona. Ini tipu daya yang bisa membuat orang tanpa legitimasi menduduki takhta dan berkuasa. Pengalaman buruk Pilkada DKI Jakarta tempo hari jelas mengoyak wajah dan harga diri kita. Apa bentuk tanggung jawab publik kita sesudah itu? Kelihatannya tidak ada. Apa yang memalukan dan merusak kepribadian kita itu sama sekali tak dianggap memalukan, tak dianggap merusak.

Kacamata orang tua sudah buram. Yang dilihat hanya kepentingan bisnisnya sendiri. Kaca mata kaum muda gelap gulita, tak ada barang yang tampak kecuali jabatan dan tahta. Bangsa kita ini sedang terjerumus ke dalam jurang kenistaan yang memalukan, tapi banyak yang tak malu. Mereka, yang tua, gaek, maupun yang muda, yang melihat secara oportunis: yang penting menang secara politis, lalu duduk di atas singgasana, dan berkuasa. Hanya itu yang diburu kaum oportunis. Itu wajah kekuasaan tanpa keabsahan. Berkuasa, tapi di mana-mana ditolak dan dituntut orang banyak, apa gunanya dalam politik? []

KORAN SINDO, 27 Januari 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar