Jumat, 19 Januari 2018

Nasaruddin Umar: Mencermati Pola Migrasi Umat Islam



Mencermati Pola Migrasi Umat Islam
Oleh: Nasaruddin Umar

ISLAM dan dunia Islam semakin banyak menarik minat para pengamat dan ilmuwan. Bukan saja karena agama ini semakin meluas penganutnya, tetapi umatnya menampilkan berbagai hal yang memesona, meskipun ada juga segelintir yang menampilkan hal-hal yang menakutkan orang lain. Fenomena perkembangan ini diulas juga oleh John L Esposito dalam The Future of Islam, mantan Direktur Center for Muslim-Christian Understanding (CMCU), Georgetown University, Washington DC. Berdasarkan hasil penelitiannya ia menulis sebuah artikel berjudul, Today, Islam is among the fastest-growing religions in Afrika, Asia, and America. (Saat ini Islam adalah agama yang paling cepat berkembang di Afrika, Asia, dan Amerika). Hal yang sama juga sering diungkapkan Hillary Clinton dalam berbagai kesempatan ceramahnya di depan komunitas muslim, termasuk ia ungkapkan juga ketika berkunjung ke Indonesia.

Yang menarik untuk dicermati dari dampak perkembangan ini ialah pola migrasi umat Islam dalam dua dekade terakhir juga semakin luas. Eksodus umat Islam ke negara-negara nonmuslim secara mayoritas menimbulkan kerumitan ketatanegaraan tersendiri. Oliver Roy melihat adanya fenomena negara tanpa bangsa dan persaudaraan tanpa negara (state without nation and Brothers without state). Mungkin juga bisa dikatakan, adanya fenomena kebangsaan tanpa negara (nations without state), karena dalam kenyataannya komunitas muslim yang eksodus ke negara-negara nonmuslim dengan berbagai alasan dan kepentingan, memang menciptakan melting pot tersendiri di dalam negara tujuan.

Eksodus umat Islam secara besar-besaran dalam dua dekade terakhir ke negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika, Australia, dan Asia Selatan, disebabkan beberapa krisis di negeri asalnya. Ada dalam bentuk krisis politik seperti penduduk Palestina yang tadinya memiliki 80% tanah hunian di kawasan Jerusalem dan selebihnya Israel menghuni sekitar 20%. Tetapi kini terbalik, penduduk Palestina hanya mendiami wilayahnya sekitar 20%, selebihnya diambil alih Israel.

Akhirnya mereka terpaksa eksodus bersama keluarganya ke Eropa, Amerika, dan Australia. Irak, Libanon, dan Iran yang pernah dilanda perang saudara berkepanjangan memaksa warganya untuk mencari wilayah aman ke negara-negara barat seperti AS, Kanada, Eropa, Ausralia, dan negara-negara Skandinavia lainnya.

Pola migran lainnya bekas negara-negara jajahan negara maju pergi mengadu nasib ke negara-negara bekas penjajahnya, seperti warga muslim di kawasan Afrika seperti Maroko, Tunisia, Aljazair, Mesir, melakukan eksodus ke Prancis. Demikian pula negara-negara muslim lainnya yang pernah dijajah Inggris karena tekanan ekonomi, mereka berbondong-bondong memasuki Inggris. Belum lagi mereka yang lari dan mencari suaka politik karena kekisruhan politik di negerinya.

Yang lainnya, semula melanjutkan studi di negara-negara maju tersebut, tetapi mereka tidak mau lagi kembali ke negerinya karena mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih layak di negeri tempat ia menyelesaikan studinya. Warga bangsa Indonesia sendiri dikenal sebagai salah satu negara yang penduduknya ada di berbagai negara maju. Di Rusia, Belanda, dan Yugoslavia banyak sekali warga Indonesia yang tinggal beranak cucu di sana dengan memanfaatkan kedekatan historis antara Indonesia dan negara-negara tersebut. Bahkan sudah kawin mawin dengan warga negara setempat. Meskipun demikian rasa keindonesiaan dan Islam yang berkeindonesiaan masih tetap dipertahankan di sana. Bahkan hubungan emosional dengan warga leluhurnya di Tanah Air tetap diungkapkan dalam berbagai bentuk, misalnya membangun makam keluarga, membangun bangunan wakaf di negerinya, dan menziarahi secara rutin anggota keluarga mereka.

Fenomena terakhir para migran Indonesia kembali membanjiri Amerika dengan memanfaatkan kelonggaran peraturan AS yang memudahkan tenaga kerja profesional masuk ke AS. Karena kaum industriawan AS yang saat ini mengalami kelesuan usaha mereka, lebih senang mempekerjakan para pekerja asing, khususnya dari Indonesia, yang mau digaji separuh dari karyawan warga AS dengan mutu kerja yang tidak kalah dengan mereka.

Para pekerja asal Indonesia juga merasa senang karena walaupun dibayar separuh dari gaji warga AS, tetapi masih jauh lebih baik daripada gaji yang diterimanya di tempat lain, termasuk di Indonesia sendiri. Fenomena yang mirip juga terjadi di sejumlah negara di Eropa dan Australia. []

MEDIA INDONESIA, 12 Januari 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar