Konstruksi Fiqih Etik Imam Al-Ghazali
Judul
: Melampaui Formalisme Fiqh: Konstruksi Fiqh Etik Al-Ghazali
Penulis
: Abu Hapsin
Penerbit
: eLSA Press
Halaman
: xvi + 144
ISBN
: 978-602-6418-08-1
Peresensi
: Muhamad Zainal Mawahib, Alumni Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo
Semarang.
Pertarungan wacana antara fuqahâ` dengan
shûfîyah sudah berlangsung sejak pertengahan abad ke 3 H. Bagi fuqahâ`, praktik
keagamaan ahli tasawuf hanya mementingkan “kebatinan” dan melupakan ritual yang
menjadi ajaran syari’at Islam. Sebaliknya, shûfîyah mengkritik ahli fiqih yang
hanya berkutat dalam persoalan lahiriah yang terkadang melupakan tujuan dari
syari’at Islam itu sendiri.
Perbedaan pandangan antara fuqahâ` dengan
shûfîyah terus berlanjut hingga masa Abû Hâmid al-Ghazâlî (w. 505 H.).
Menghadapi kenyataan yang demikian, al-Ghazali melalui karya magnum opus-nya,
Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, mengambil jalan tengah bahwa tasawuf dan fiqih sama-sama penting
bagi umat Islam.
Apabila dalam tasawuf lebih cenderung
menekankan kejernihan hati dan peningkatan spiritual seorang muslim, maka fiqih
hadir sebagai pemandu untuk menggapainya melalui ritual-ritual dalam syari’at
Islam. Bagi Imâm al-Ghazâlî, keduanya tidak bisa dipisahkan ataupun
dipertentangkan, melainkan harus dikompromikan menjadi satu kesatuan. Dari
sinilah Imâm al-Ghazâlî mengeksplorasi rumusan fiqih etik dalam kitab Ihyâ’
‘Ulûm ad-Dîn.
Buku karya Abu Hapsin ini berusaha
menginterpretasi dan mengurai gagasan fiqih etik Imâm al-Ghazâlî yang termuat
dalam Ihyâ’ –sebutan familiar kitab Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn di kalangan pesantren.
Uraian ini diharapkan dapat memperjelaskan produk fiqih Imâm al-Ghazâlî yang
berbeda dengan karya-karya fiqih pada umumnya. Apabila fiqih dikalangan fuqahâ`
terkesan formalistik, fiqih Imâm al-Ghazâlî lebih bernuansa etik-substantifik.
Dalam sejarah, bangunan medotologi fiqih
sejak awal berdirinya relatif lebih mapan dan lebih jelas dari pada disiplin
ilmu-ilmu yang lain. Di tangan para pencetus metodologi fiqih ini yang telah
membawa fiqih menjadi suatu disiplin ilmu yang paling formal. Tarikan
formalisme ini tidak hanya terasakan dalam bidang mu’âmalah, tetapi juga
memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap bidang ubûdiyah. Masuknya pengaruh
formalisme ke bidang ubûdiyah ini yang membuat fiqih terkesan lebih memandang
ibadah dari sisi formalnya, dari pada sisi esensialnya.
Dalam memahami kontruksi fiqih etik Imâm
al-Ghazâlî, karya Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Jawa Tengah (PWNU) Jawa
Tengah ini menemukan bahwa gagasan fiqih etik Imâm al-Ghazâlî dapat dilihat
dari dua sisi, yaitu sisi perumusan teori-teori fiqih dan sisi manfaat fiqih
sebagai sebuah ilmu yang mengurusi perbuatan lahir manusia.
Dari sisi perumusan teori fiqih, Imâm
al-Ghazâlî memasukan pendekatan etik dalam fiqih terlihat ketika mambahas
tentang teori masâlik al-‘illah (penetapan ‘illat hukum), khususnya ketika
membahas teori munâsabah. Teori munâsabah ini dibicarakan secara panjang lebar
oleh Imâm al-Ghazâlî dalam kitab al-Mustashfâ. Dalam menetapkan ‘illat hukum
inilah Imâm al-Ghazâlî sangat menekankan pada aspek pentingnya mengetahui
maqâsid asy-syarî’ah. Penggunaan teori ini dalam menetapkan hukum jelas akan
membawa konsekuensi penetapan hukum yang bersifat etik substantifistik, (hlm.
44).
Meskipun Imâm al-Ghazâlî telah membuka pintu
menuju ke arah perumusan teori fiqih yang diwarnai dengan pendekatan etik,
namun sepertinya Imâm al-Ghazâlî lebih menggunakan pendekatan formalistik. Hal
ini terlihat ketika Imâm al-Ghazâlî mengkritik pendepat Imâm Hanafî yang
membolehkan membayar zakat Kambing.
Imâm al-Ghazâlî tidak sepakat dengan Imâm
Hanafî yang membolehkan mengganti kambing dengan benda apa saja yang seharga
dengan Kambing. Alasannya karena pengertian yang tersurat dalam nâsh harus
lebih didahulukan. Sedangkan Imâm Hanafî lebih melihat ‘illat yang bermuara
pada maslahat, yaitu keadilan ekonomi. Keadilan ekonomi ini untuk menghindari
monopoli dan tumbuhnya pemerataan ekonomi. Dalam kasus ini, Imâm Hanafî lebih
etik dari pada kesimpulan Imâm al-Ghazâlî.
Memperhatikan contoh di atas, dalam dataran
perumusan teori, Imâm al-Ghazâlî masih tergolong formalistik. Meskipun
demikian, Imâm al-Ghazâlî telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam
membuka jalan menuju ke arah pendekatan hukum yang lebih bersifat etik, (hlm.
53).
Sedangkan dari sisi pemanfaatan fiqih, Imâm
al-Ghazâlî sangat menekan agar fiqih tidak hanya dilihat dari sisi formal
pelaksanaannya saja, tetapi juga dari sisi manfaat fiqih itu sendiri. Agar
fiqih ini bermanfaat secara duniawi dan ukhrawi, maka fiqih –sebagai bangunan
ilmu yang sudah jadi– harus diberi muatan-muatan etik (hlm. 69).
Aspek etik pada sisi pemanfaat fiqih ini
sangat terlihat dalam pemaparan Imâm al-Ghazâlî tentang ibadah-ibadah yang
bersifat wajib, yakni bersuci (thahârah), salat, zakat, puasa dan haji.
Misalnya ketika Imâm al-Ghazâlî memaparkan tentang puasa. Puasa yang dilakukan
tidak sekadar memenuhi persyaratan formal fiqih semata (shaum al-‘umûm). Paling
tidak harus bisa mencapai tingkatan khusus (shaum al-khushûsh). Untuk bisa
sampai pada tingkatan ini, maka seseorang harus bisa memenuhi enam persyaratan.
Pertama, orang yang puasa hendaknya memejamkan mata dari memandang segala
sesuatu yang tercela dan dibenci serta segala sesuatu yang dapat melalaikan
kepada Allah.
Kedua, memelihara lidah dari berbicara tanpa
tujuan, berdusta, menggunjing, mengumpat, berkata buruk, permusuhan dan
pertengkaran. Orang yang puasa hendaknya membiasakan diri untuk diam dan hanya
sibuk mengingat Allah dan membaca al-Qur’an. Ketiga, menahan pendengaran dari
segala sesuatu yang makruh. Keempat, menahan anggota badan dari dosa-dosa dan
hal-hal yang dihukumi makruh, serta menahan perut dari makanan syubhât.
Kelima, menahan makan yang terlalu banyak
meskipun dengan barang yang halal pada saat buka puasa. Dan keenam, setelah
buka puasa hendaklah hati seseorang tergantung dan goncang antara takut dan
harapan, karena ia tidak tahu puasanya itu diterima atau tidak. Keenam
pernyaratan batiniyah di atas menurut Imâm al-Ghazâlî lebih penting dari
persyaratan lahiriyah yang biasanya dijelaskan oleh fuqahâ`, (hlm. 115-116).
Melalui karya ini Abu Hapsin secara lugas dan
apik memberikan pengantar yang cukup komprehensif dalam memahami bagaimana
dialektika antara fiqih dan etika yang diintrodusir oleh Imâm al-Ghazâlî dalam
kitab Ihyâ`. Karya ini dengan cukup cermat membawa fiqih keluar dari dimensi
formalismenya. Dengan menghadirkan aspek etika sebagai alat ukur dalam menilai
perilaku keberagamaan, terutama yang berkaitan dengan bidang hukum. Karena
hukum itu bersifat formalistik, hitam putih, maka perlu sentuhan etika di
dalamnya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar