Senin, 15 Januari 2018

(Buku of the Day) Melampaui Formalisme Fiqh: Konstruksi Fiqh Etik Al-Ghazali



Konstruksi Fiqih Etik Imam Al-Ghazali


Judul                : Melampaui Formalisme Fiqh: Konstruksi Fiqh Etik Al-Ghazali
Penulis             : Abu Hapsin
Penerbit            : eLSA Press
Halaman           : xvi + 144
ISBN                 : 978-602-6418-08-1
Peresensi          : Muhamad Zainal Mawahib, Alumni Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.

Pertarungan wacana antara fuqahâ` dengan shûfîyah sudah berlangsung sejak pertengahan abad ke 3 H. Bagi fuqahâ`, praktik keagamaan ahli tasawuf hanya mementingkan “kebatinan” dan melupakan ritual yang menjadi ajaran syari’at Islam. Sebaliknya, shûfîyah mengkritik ahli fiqih yang hanya berkutat dalam persoalan lahiriah yang terkadang melupakan tujuan dari syari’at Islam itu sendiri.

Perbedaan pandangan antara fuqahâ` dengan shûfîyah  terus berlanjut hingga masa Abû Hâmid al-Ghazâlî (w. 505 H.). Menghadapi kenyataan yang demikian, al-Ghazali melalui karya magnum opus-nya, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, mengambil jalan tengah bahwa tasawuf dan fiqih sama-sama penting bagi umat Islam.

Apabila dalam tasawuf lebih cenderung menekankan kejernihan hati dan peningkatan spiritual seorang muslim, maka fiqih hadir sebagai pemandu untuk menggapainya melalui ritual-ritual dalam syari’at Islam. Bagi Imâm al-Ghazâlî, keduanya tidak bisa dipisahkan ataupun dipertentangkan, melainkan harus dikompromikan menjadi satu kesatuan. Dari sinilah Imâm al-Ghazâlî mengeksplorasi rumusan fiqih etik dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn.

Buku karya Abu Hapsin ini berusaha menginterpretasi dan mengurai gagasan fiqih etik Imâm al-Ghazâlî yang termuat dalam Ihyâ’ –sebutan familiar kitab Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn di kalangan pesantren. Uraian ini diharapkan dapat memperjelaskan produk fiqih Imâm al-Ghazâlî yang berbeda dengan karya-karya fiqih pada umumnya. Apabila fiqih dikalangan fuqahâ` terkesan formalistik, fiqih Imâm al-Ghazâlî lebih bernuansa etik-substantifik.

Dalam sejarah, bangunan medotologi fiqih sejak awal berdirinya relatif lebih mapan dan lebih jelas dari pada disiplin ilmu-ilmu yang lain. Di tangan para pencetus metodologi fiqih ini yang telah membawa fiqih menjadi suatu disiplin ilmu yang paling formal. Tarikan formalisme ini tidak hanya terasakan dalam bidang mu’âmalah, tetapi juga memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap bidang ubûdiyah. Masuknya pengaruh formalisme ke bidang ubûdiyah ini yang membuat fiqih terkesan lebih memandang ibadah dari sisi formalnya, dari pada sisi esensialnya.

Dalam memahami kontruksi fiqih etik Imâm al-Ghazâlî, karya Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Jawa Tengah (PWNU) Jawa Tengah ini menemukan bahwa gagasan fiqih etik Imâm al-Ghazâlî dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi perumusan teori-teori fiqih dan sisi manfaat fiqih sebagai sebuah ilmu yang mengurusi perbuatan lahir manusia.

Dari sisi perumusan teori fiqih, Imâm al-Ghazâlî memasukan pendekatan etik dalam fiqih terlihat ketika mambahas tentang teori masâlik al-‘illah (penetapan ‘illat hukum), khususnya ketika membahas teori munâsabah. Teori munâsabah ini dibicarakan secara panjang lebar oleh Imâm al-Ghazâlî dalam kitab al-Mustashfâ. Dalam menetapkan ‘illat hukum inilah Imâm al-Ghazâlî sangat menekankan pada aspek pentingnya mengetahui maqâsid asy-syarî’ah. Penggunaan teori ini dalam menetapkan hukum jelas akan membawa konsekuensi penetapan hukum yang bersifat etik substantifistik, (hlm. 44).

Meskipun Imâm al-Ghazâlî telah membuka pintu menuju ke arah perumusan teori fiqih yang diwarnai dengan pendekatan etik, namun sepertinya Imâm al-Ghazâlî lebih menggunakan pendekatan formalistik. Hal ini terlihat ketika Imâm al-Ghazâlî mengkritik pendepat Imâm Hanafî yang membolehkan membayar zakat Kambing. 

Imâm al-Ghazâlî tidak sepakat dengan Imâm Hanafî yang membolehkan mengganti kambing dengan benda apa saja yang seharga dengan Kambing. Alasannya karena pengertian yang tersurat dalam nâsh harus lebih didahulukan. Sedangkan Imâm Hanafî lebih melihat ‘illat yang bermuara pada maslahat, yaitu keadilan ekonomi. Keadilan ekonomi ini untuk menghindari monopoli dan tumbuhnya pemerataan ekonomi. Dalam kasus ini, Imâm Hanafî lebih etik dari pada kesimpulan Imâm al-Ghazâlî.

Memperhatikan contoh di atas, dalam dataran perumusan teori, Imâm al-Ghazâlî masih tergolong formalistik. Meskipun demikian, Imâm al-Ghazâlî telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam membuka jalan menuju ke arah pendekatan hukum yang lebih bersifat etik, (hlm. 53).

Sedangkan dari sisi pemanfaatan fiqih, Imâm al-Ghazâlî sangat menekan agar fiqih tidak hanya dilihat dari sisi formal pelaksanaannya saja, tetapi juga dari sisi manfaat fiqih itu sendiri. Agar fiqih ini bermanfaat secara duniawi dan ukhrawi, maka fiqih –sebagai bangunan ilmu yang sudah jadi– harus diberi muatan-muatan etik (hlm. 69).

Aspek etik pada sisi pemanfaat fiqih ini sangat terlihat dalam pemaparan Imâm al-Ghazâlî tentang ibadah-ibadah yang bersifat wajib, yakni bersuci (thahârah), salat, zakat, puasa dan haji. Misalnya ketika Imâm al-Ghazâlî memaparkan tentang puasa. Puasa yang dilakukan tidak sekadar memenuhi persyaratan formal fiqih semata (shaum al-‘umûm). Paling tidak harus bisa mencapai tingkatan khusus (shaum al-khushûsh). Untuk bisa sampai pada tingkatan ini, maka seseorang harus bisa memenuhi enam persyaratan. Pertama, orang yang puasa hendaknya memejamkan mata dari memandang segala sesuatu yang tercela dan dibenci serta segala sesuatu yang dapat melalaikan kepada Allah.

Kedua, memelihara lidah dari berbicara tanpa tujuan, berdusta, menggunjing, mengumpat, berkata buruk, permusuhan dan pertengkaran. Orang yang puasa hendaknya membiasakan diri untuk diam dan hanya sibuk mengingat Allah dan membaca al-Qur’an. Ketiga, menahan pendengaran dari segala sesuatu yang makruh. Keempat, menahan anggota badan dari dosa-dosa dan hal-hal yang dihukumi makruh, serta menahan perut dari makanan syubhât.

Kelima, menahan makan yang terlalu banyak meskipun dengan barang yang halal pada saat buka puasa. Dan keenam, setelah buka puasa hendaklah hati seseorang tergantung dan goncang antara takut dan harapan, karena ia tidak tahu puasanya itu diterima atau tidak. Keenam pernyaratan batiniyah di atas menurut Imâm al-Ghazâlî lebih penting dari persyaratan lahiriyah yang biasanya dijelaskan oleh fuqahâ`, (hlm. 115-116).

Melalui karya ini Abu Hapsin secara lugas dan apik memberikan pengantar yang cukup komprehensif dalam memahami bagaimana dialektika antara fiqih dan etika yang diintrodusir oleh Imâm al-Ghazâlî dalam kitab Ihyâ`. Karya ini dengan cukup cermat membawa fiqih keluar dari dimensi formalismenya. Dengan menghadirkan aspek etika sebagai alat ukur dalam menilai perilaku keberagamaan, terutama yang berkaitan dengan bidang hukum. Karena hukum itu bersifat formalistik, hitam putih, maka perlu sentuhan etika di dalamnya. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar