Rabu, 17 Januari 2018

Zuhairi: Bom Trump di Timur Tengah



Bom Trump di Timur Tengah
Oleh: Zuhairi Misrawi

Michael Wolff dalam buku Fire and Fury: Inside The Trump White House membuka topeng kepemimpinan Trump di Gedung Putih yang dapat membahayakan Amerika Serikat dan dunia. Intinya Trump tidak mempunyai kapasitas mental yang mumpuni sebagai orang nomor satu di negara adidaya itu. Di samping itu, banyak kebijakan Trump yang tidak masuk akal dan sembrono.

Salah satu masalah yang paling krusial mendapat sorotan publik, dan jika tidak dihadapi dengan hati-hati akan menciptakan instabilitas global, yaitu perspektif dan strategi Trump dalam mengatasi konflik dan kekacauan politik di Timur Tengah.

Strategi besar yang digariskan Trump akan menjadikan Amerika Serikat terpuruk, kehilangan wibawa, dan menjadikan ekstremisme tumbuh subur kembali. Pertama, sejak awal kepemimpinannya Trump menjadikan isu Yerusalem sebagai agenda prioritasnya. Menurut Banon, Trump sudah berencana memindahkan kedutaan Amerika Serikat di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem sejak hari pertama dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat. Langkah Trump menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel merupakan prioritas.

Celakanya, secara implisit Trump mempunyai mimpi besar untuk memuluskan solusi satu negara (one state solution), yaitu Israel tanpa Palestina. Mimpi ini benar-benar merupakan mimpi buruk bagi Palestina dan dunia Islam, serta dapat menguburkan hidup-hidup solusi dua negara (two states solution) yang selama ini diinisiasi oleh Presiden Amerika Serikat terdahulu dan sejumlah negara-negara Eropa plus Dunia Islam.

Sekali lagi, menurut Banon, Trump mempersilakan Yordania mengambil Tepi Barat, dan Mesir menguasai Gaza. Arab Saudi dan Mesir sedang menghadapi masalah serius di Sinai, Libya, dan Yaman. Mereka akan fokus ke Iran. Kunci untuk mewujudkan misi tersebut adalah Rusia.

Secara terang-benderang, Trump ingin menghapus dan memupuskan eksistensi Negara Palestina. Sebab jika Tepi Barat dan Gaza sudah dikuasai penuh oleh Yordania dan Mesir, maka secara faktual tidak ada lagi Negara Palestina. Untuk pertama kalinya, Amerika Serikat juga akan mencabut bantuan dana ke Palestina.

Maka dari itu, langkah Trump menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel merupakan skenario brutal yang akan mengubah secara fundamental masa depan Palestina. Hal ini berkait kelindan dengan keputusan parlemen Israel baru-baru ini yang berhasil mengeluarkan kebijakan politik untuk menguasai Tepi Barat sebagai upaya menghapus peta Palestina secara pelan-pelan, tapi sangat terencana dan terukur.

Trump telah melangkah terlalu jauh yang dapat menimbulkan instabilitas global. Pasalnya, baik dalam voting di Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB, dunia secara aklamasi menolak skenario Trump. Belakangan, negara-negara Liga Arab juga melakukan pertemuan secara maraton dalam rangka meredam ide gila Trump yang hendak menghapus Palestina dari muka bumi.

Bagi negara-negara Barat lainnya, khususnya Prancis, Jerman, dan Inggris langkah Trump tersebut dikhawatirkan dapat menyuburkan ekstremisme dan terorisme. Lebih-lebih bagi negara-negara Arab, langkah Trump akan menimbulkan gejolak politik yang jika tidak ditangani dengan baik akan berakibat fatal, yaitu goyangnya negara-negara monarki di Timur Tengah, khususnya negara-negara Teluk yang selama ini mempunyai hubungan mesra dengan Trump dan Amerika Serikat.

Bagaimana pun isu Palestina, khususnya Jerusalem merupakan isu sentral di dunia Islam. Maka dari itu, negara-negara Liga Arab mempunyai konsern yang serius terhadap ide gila Trump yang secara nyata hendak memaksakan solusi satu negara, yaitu hanya Negara Israel di bumi Palestina.

Kedua, cara pandang Trump terhadap kekuatan politik di Timur Tengah pun bermasalah. Trump hanya memetakan empat negara Timur Tengah yang menjadi pemain utama saat ini, yaitu Mesir, Israel, Saudi Arabia, dan Iran. Trump memandang Amerika Serikat harus mempersatukan Mesir, Israel, dan Saudi Arabia dalam rangka melawan Iran. Hal tersebut bukan hal yang mustahil karena Israel dan Arab Saudi mempunyai musuh yang sama. Mungkin hanya Mesir yang sebenarnya tidak secara langsung berhadap-hadapan dengan Iran.

Langkah yang diambil Trump ini akan menjadikan Timur Tengah semakin membara dan labil. Pasalnya Arab Saudi dan Iran akan diposisikan berseteru dengan dukungan penuh dari Israel. Padahal perseteruan antara Arab Saudi dan Iran akan menjadikan Timur Tengah dan dunia Islam semakin berdarah-darah, karena Arab Saudi biasanya menggunakan narasi konflik sektarian antara Sunni dan Syiah.

Trump secara jelas menutup mata terhadap peran penting Tunisia, Turki, dan Qatar yang sekarang menjadi pemain penting di Timur Tengah. Tunisia telah membuktikan diri sebagai negara paling demokratis di Timur Tengah. Turki kuat secara militer dan ekonomi. Sedangkan Qatar mempunyai kekuatan media dan ekonomi.

Langkah yang diambil Trump merupakan kemunduran luar biasa jika dibandingkan dengan Barack Obama. Dalam masa kepemimpinan Obama, Amerika Serikat terlihat lebih cerdas memahami perkembangan mutakhir di Timur Tengah dan jeli melihat aspirasi publik. Obama memilih untuk bersahabat dan menjaga keseimbangan di Timur Tengah. Sebaliknya, Trump terus berusaha menjadikan Timur Tengah dalam situasi kebatinan yang penuh konflik dan perseteruan. Bahkan, tidak henti-hentinya Amerika Serikat ingin menggoyang Iran dengan melakukan intervensi dalam gejolak politik di Negeri Para Mullah itu.

Langkah Trump yang tidak jitu itu dikarenakan ia dikelilingi oleh orang-orang yang tidak berkompeten membaca perkembangan mutakhir di Timur Tengah, sehingga narasi dan strategi politik yang ditonjolkan semakin menjadikan Amerika Serikat terisolasi dan bukan lagi sahabat bagi dunia Islam. Lebih-lebih setelah kebijakan Trump dalam larangan terhadap beberapa dunia Islam untuk masuk ke Amerika Serikat. Citra Amerika Serikat makin terpuruk.

Ketiga, soal hubungan mesra Trump dengan Arab Saudi. Berbeda dengan Barack Obama yang melihat Arab Saudi sebagai negara bermasalah karena menjadi penyokong proliferasi ideologi ekstremisme, yang mana Wahabisme dikenal sebagai ujung pangkal terorisme global, Trump justru menjadikan Arab Saudi sebagai mitra strategis di Timur Tengah.

Bahkan kunjungan pertama Trump ke Timur Tengah justru dilakukan ke Arab Saudi. Trump meminta secara khusus agar Arab Saudi menjadi tuan rumah pertemuan Trump dengan para pemimpin dari berbagai Dunia Islam dalam rangka menyampaikan komitmen Amerika Serikat dalam memerangi terorisme.
Hubungan mesra antara Trump dengan Arab Saudi dijadikan alat barter untuk mengukuhkan posisi Putera Mahkota Muhammad bin Salman (MBS). Sebagai balasannya, Trump akan membenarkan seluruh kebijakan kontroversial yang diambil oleh MBS. Padahal kebijakan tersebut bukan tanpa risiko, karena penangkapan terhadap para pangeran dan ulama terkemuka telah meninggalkan masalah internal di lingkaran Lembaga Baiat. MBS sangat membutuhkan dukungan dari para pangeran untuk mendapatkan legitimasi politik. Namun di lingkaran Lembaga Baiat saat ini telah timbul friksi yang dapat menjadi ancaman bagi MBS.

Dengan demikian, kebijakan dan strategi Trump di Timur Tengah akan menjadi bom yang sewaktu-waktu bisa meledak dan meruntuhkan wibawa Amerika Serikat. Pada akhirnya, Amerika Serikat akan semakin terisolisasi dan menjadi musuh bersama bagi dunia. Bagaimana pun memilih Israel dan Arab Saudi sebagai mitra strategis di Timur Tengah merupakan langkah yang tidak tepat, bahkan penuh risiko. []

DETIK, 11 Januari 2018
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar