Populisme
Islam (5)
Oleh:
Azyumardi Azra
Dilihat
dari perspektif historis dan pembentukan tradisi Islam Indonesia, populisme
Islam vis-a-vis
kekuasaan—khususnya sejak masa kemerdekaan—hanya memiliki ruang sempit untuk
berkembang. Realitas Islam Indonesia yang bersifat wasathiyah tidak cocok
dengan pemikiran dan praksis politik yang mengandalkan kekuatan massa yang
cenderung konfrontatif.
Meski ada
elemen ormas arus utama yang simpati dan pro pemikiran dan gerakan populisme
Islam, arus utama dalam ormas-ormas tetap memegang Islam wasathiyah. Di sini
ormas wasathiyah terlalu besar untuk bisa terbawa arus populisme Islam.
Sebaliknya, ada ketegangan dan kontestasi apakah terbuka atau tersimpan di
bawah permukaan antara ormas-ormas washatiyah di satu pihak dan gerakan
populisme Islam di pihak lain.
Lebih
jauh, ormas-ormas arus utama umumnya memiliki hubungan baik dan kedekatan
dengan kekuasaan. Meski ada elemen-elemen kritis terhadap rezim penguasa,
mayoritas terbesar arus utama ormas-ormas bersifat nonpolitik; tidak terlibat
dalam agenda politik kekuasaan dan day-to-day
politics.
Selain
itu, ormas-ormas arus utama memiliki banyak kepentingan yang dipertaruhkan
dengan pemerintah. Selain cukup banyak pimpinan dan anggota mereka berada dalam
pemerintahan, kepentingan lain, khususnya terkait dengan banyaknya lembaga yang
mereka miliki sejak dari pesantren, madrasah, sekolah Islam sampai perguruan
tinggi, rumah sakit atau klinik, lembaga penyantunan sosial dan ekonomi.
Dengan
begitu, ormas-ormas arus utama memerlukan kerja sama baik dan dukungan
pemerintah. Ini berlaku sejak dari tingkat tertinggi (presiden dan wakil
presiden), sampai ke level pemerintahan provinsi, kota/kabupaten, hingga ke
tingkat kecamatan dan desa sekalipun.
Pada
pihak lain, meski populisme Islam di Indonesia memiliki agenda dan tujuan
politik vis-a-vis
kekuasaan yang ada, dia bukan parpol. Sebab itu, secara hukum populisme Islam
tidak bisa menjalankan agenda dan praksis politiknya sendirian.
Karena
itu, populisme Islam berkolaborasi dengan pihak-pihak yang berbeda
ideologi—bisa aktivis, politisi, dan purnawirawan militer dan polisi.
Kolaborasi semacam ini—lazim juga di banyak negara mayoritas Muslim di Asia
Barat dan Asia Selatan—dalam terminologi ilmu politik sering disebut sebagai
"marriage for convenience" (kawin untuk kesenangan alias "kawin
mut’ah") atau "strange bed-fellows" (teman seketiduran yang
asing).
Akan
tetapi, marriage for
convenience biasanya tidak berlangsung lama. Pertama, karena
kecanggungan di antara berbagai pihak berbeda ideologi yang akhirnya berujung
"perceraian". Pada saat yang sama, rezim penguasa lazimnya juga
melakukan tindakan tertentu yang membuat terjadinya perceraian di antara
mereka.
Lebih
jauh, populisme Islam di Indonesia juga secara tidak resmi bekerja sama dengan
parpol tidak pro-pemerintah—untuk tidak menyebut parpol oposisi. Parpol-parpol
tertentu mendukung gerakan populisme Islam karena terkait kepentingan politik
masing-masing—menunjukkan simpati dan dukungan pada populisme Islam untuk
mendapat tambahan suara dalam pilkada, pileg, dan pilpres.
Oleh
karena itu, dukungan parpol tertentu pada gerakan populisme Islam bisa
dikatakan tidak "genuine". Tetapi, sekali lagi, karena kepentingan
mereka dalam bersaing dengan parpol lain pro-pemerintah dan sekaligus dengan
rezim penguasa.
Lebih
jauh, setiap parpol yang bisa berkoalisi dengan parpol lain memiliki agenda dan
target masing-masing. Karena itulah, misalnya, dalam penetapan calon-calon yang
maju dalam Pilkada 2018, parpol berjalan sendiri berdasarkan pertimbangan
pragmatis atau oportunis tanpa mempertimbangkan apalagi mengikutkan populisme
Islam.
Kenyataan
inilah yang membuat para pimpinan populisme Islam di Indonesia sangat kecewa
dan membentuk unit atau sayap yang bertujuan menampung para aspiran dan
kandidat yang berniat maju dalam kontestasi politik. Tetapi, sekali lagi, unit
ini bukanlah lembaga politik resmi atau parpol sehingga secara hukum tidak
dapat mengajukan calon-calon untuk bertarung dalam pilkada, pileg, dan pilpres.
Dengan
begitu, proses politik pilkada gagal memberi momentum pada populisme Islam.
Momentum itu juga tidak muncul karena tak ada faktor pemersatu dan
pemicu—seperti ada dalam Pilkada DKI Jakarta.
Melihat
fenomena ini, menjadi tanda tanya besar pula apakah populisme Islam dapat
bangkit kembali pada Pileg dan Pilpres 2019. Tetapi, sekali lagi,
mempertimbangkan berbagai faktor dan dinamika politik yang ada, orang tidak
perlu terlalu khawatir dengan populisme Islam; dapat dipandang sebagai
gejala religio-politik biasa. []
REPUBLIKA,
25 Januari 2018
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan
Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar