Jumat, 26 Januari 2018

Azyumardi: Populisme Islam (5)



Populisme Islam (5)
Oleh: Azyumardi Azra

Dilihat dari perspektif historis dan pembentukan tradisi Islam Indonesia, populisme Islam vis-a-vis kekuasaan—khususnya sejak masa kemerdekaan—hanya memiliki ruang sempit untuk berkembang. Realitas Islam Indonesia yang bersifat wasathiyah tidak cocok dengan pemikiran dan praksis politik yang mengandalkan kekuatan massa yang cenderung konfrontatif.

Meski ada elemen ormas arus utama yang simpati dan pro pemikiran dan gerakan populisme Islam, arus utama dalam ormas-ormas tetap memegang Islam wasathiyah. Di sini ormas wasathiyah terlalu besar untuk bisa terbawa arus populisme Islam. Sebaliknya, ada ketegangan dan kontestasi apakah terbuka atau tersimpan di bawah permukaan antara ormas-ormas washatiyah di satu pihak dan gerakan populisme Islam di pihak lain.

Lebih jauh, ormas-ormas arus utama umumnya memiliki hubungan baik dan kedekatan dengan kekuasaan. Meski ada elemen-elemen kritis terhadap rezim penguasa, mayoritas terbesar arus utama ormas-ormas bersifat nonpolitik; tidak terlibat dalam agenda politik kekuasaan dan day-to-day politics.

Selain itu, ormas-ormas arus utama memiliki banyak kepentingan yang dipertaruhkan dengan pemerintah. Selain cukup banyak pimpinan dan anggota mereka berada dalam pemerintahan, kepentingan lain, khususnya terkait dengan banyaknya lembaga yang mereka miliki sejak dari pesantren, madrasah, sekolah Islam sampai perguruan tinggi, rumah sakit atau klinik, lembaga penyantunan sosial dan ekonomi.

Dengan begitu, ormas-ormas arus utama memerlukan kerja sama baik dan dukungan pemerintah. Ini berlaku sejak dari tingkat tertinggi (presiden dan wakil presiden), sampai ke level pemerintahan provinsi, kota/kabupaten, hingga ke tingkat kecamatan dan desa sekalipun.

Pada pihak lain, meski populisme Islam di Indonesia memiliki agenda dan tujuan politik vis-a-vis kekuasaan yang ada, dia bukan parpol. Sebab itu, secara hukum populisme Islam tidak bisa menjalankan agenda dan praksis politiknya sendirian.

Karena itu, populisme Islam berkolaborasi dengan pihak-pihak yang berbeda ideologi—bisa aktivis, politisi, dan purnawirawan militer dan polisi. Kolaborasi semacam ini—lazim juga di banyak negara mayoritas Muslim di Asia Barat dan Asia Selatan—dalam terminologi ilmu politik sering disebut sebagai "marriage for convenience" (kawin untuk kesenangan alias "kawin mut’ah") atau "strange bed-fellows" (teman seketiduran yang asing).

Akan tetapi, marriage for convenience biasanya tidak berlangsung lama. Pertama, karena kecanggungan di antara berbagai pihak berbeda ideologi yang akhirnya berujung "perceraian". Pada saat yang sama, rezim penguasa lazimnya juga melakukan tindakan tertentu yang membuat terjadinya perceraian di antara mereka.

Lebih jauh, populisme Islam di Indonesia juga secara tidak resmi bekerja sama dengan parpol tidak pro-pemerintah—untuk tidak menyebut parpol oposisi. Parpol-parpol tertentu mendukung gerakan populisme Islam karena terkait kepentingan politik masing-masing—menunjukkan simpati dan dukungan pada populisme Islam untuk mendapat tambahan suara dalam pilkada, pileg, dan pilpres.

Oleh karena itu, dukungan parpol tertentu pada gerakan populisme Islam bisa dikatakan tidak "genuine". Tetapi, sekali lagi, karena kepentingan mereka dalam bersaing dengan parpol lain pro-pemerintah dan sekaligus dengan rezim penguasa.

Lebih jauh, setiap parpol yang bisa berkoalisi dengan parpol lain memiliki agenda dan target masing-masing. Karena itulah, misalnya, dalam penetapan calon-calon yang maju dalam Pilkada 2018, parpol berjalan sendiri berdasarkan pertimbangan pragmatis atau oportunis tanpa mempertimbangkan apalagi mengikutkan populisme Islam.

Kenyataan inilah yang membuat para pimpinan populisme Islam di Indonesia sangat kecewa dan membentuk unit atau sayap yang bertujuan menampung para aspiran dan kandidat yang berniat maju dalam kontestasi politik. Tetapi, sekali lagi, unit ini bukanlah lembaga politik resmi atau parpol sehingga secara hukum tidak dapat mengajukan calon-calon untuk bertarung dalam pilkada, pileg, dan pilpres.

Dengan begitu, proses politik pilkada gagal memberi momentum pada populisme Islam. Momentum itu juga tidak muncul karena tak ada faktor pemersatu dan pemicu—seperti ada dalam Pilkada DKI Jakarta.

Melihat fenomena ini, menjadi tanda tanya besar pula apakah populisme Islam dapat bangkit kembali pada Pileg dan Pilpres 2019. Tetapi, sekali lagi, mempertimbangkan berbagai faktor dan dinamika politik yang ada, orang tidak perlu terlalu khawatir  dengan populisme Islam; dapat dipandang sebagai gejala religio-politik biasa. []

REPUBLIKA, 25 Januari 2018
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar