Senin, 22 Januari 2018

(Ngaji of the Day) Bagaimana Status Syahadat Orang Bisu?



Bagaimana Status Syahadat Orang Bisu?

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami hormati, syarat orang yang masuk Islam adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Lantas bagaimana jika ada orang yang tidak bisa bicara atau bisu mau masuk Islam, apakah syahadat yang diucapkan melalui bahasa isyarat itu sudah dianggap sah sehingga orang tesebut dihukumi sebagai Muslim setelah mengucapkannya? Selanjutnya sebagai tambahan, apakah hukumnya belajar bahasa isyarat. Mohon penjelasannya, karena ada orang bisu yang non-Muslim hendak masuk Islam tetapi kebingungan bagaimana cara bersyahadatnya. Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Adi – Jakarta

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Ada dua pertanyaan yang diajukan kepada kami. Pertama mengenai syahadat orang yang bisu. Kedua mengenai hukum mempelajari bahasa isyarat. Dalam kesempatan ini kami akan menjawab pertanyaan yang pertama terlebih dahulu. Sedang untuk jawaban pertanyaan kedua insyaallah akan segera menyusul pada kesempatan berikutnya.

Seorang non-Muslim yang hendak masuk Islam maka harus membaca dua kalimat syahadat sebagai bukti bahwa ia masuk Islam. Sampai di sini tidak ada kendala berarti. Namun kendala akan muncul manakala orang yang mau masuk Islam memiliki keterbatasan dalam berbicara seperti orang bisu sehingga ia tidak serta merta bisa mengucapkan dua kalimat syahadat yang dapat dipahami oleh pihak lain.

Karena keterbatasan ini maka yang dilakukannya adalah membaca dua kalimat syahadat dengan bahasa isyarat. Dari sini kemudian muncul pertanyaan, apakah syahadat orang bisu dianggap absah sebagai bukti ia masuk Islam?

Para ulama telah sepakat bahwa Allah SWT tidak akan memberikan beban taklif kepada para hamba-Nya melebihi batas kemampuanya. Ini merupakan prinsip umum dalam hukum Islam dan merupakan bentuk karunia serta rahmat Allah SWT. Kesepakatan para ulama tersebut salah satunya didasarkan kepada firman Allah dalam Surat Al-Baqarah.

لا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إلاَّ وُسْعَهَا

Artinya, “Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya,” (Surat Al-Baqarah ayat 286).

Salah satu contoh yang sudah maklum adalah kebolehan mengqashar, menjamak, dan tidak berpuasa bagi musafir dengan ketentuan yang telah ditetap oleh syara`. Seseorang yang sakit dan tidak bisa shalat dengan berdiri, maka diperbolehkan baginya shalat sambil duduk. Jika masih tidak bisa maka sambil tidur. Jika memang sudah tak sanggup dengan tidur, maka boleh dengan isyarat. Karena itu kemudian dikatakan dalam salah kaidah fikih bahwa “Al-masyaqqah tajlibut taysir,” (Kesulitan dapat menarik kemudahan).

Atas dasar ini, maka menurut hemat kami syahadat orang bisu adalah absah sebagai bukti bahwa ia masuk Islam sepanjang bahasa isyarat yang digunakan dapat dipahami. Kendatipun ada pendapat (qila) yang menyatakan bahwa syahadat orang bisu dengan bahasa isyarat tidak dianggap abasah sebagai bukti bahwa ia masuk Islam. Pandangan kedua ini merujuk pada pembacaan tekstual terhadap pendapat Imam Syafi’i (zhahiru nashshil Imam As-Syafi’i).

فَرْعٌ: يَصِحُّ إِسْلَامُ الْأَخْرَسِ بِالْإِشَارَةِ الْمُفْهَمَةِ وَقِيلَ لَا يُحْكَمُ بِإِسْلَامِهِ إِلَّا إِذَا صَلَّى بَعْدَ الْإِشَارَةِ وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّهِ فِي الْأُمِّ

Artinya, “Masalah cabang, keislaman orang bisu melalui bahasa isyarat yang dapat dimengerti dianggap sah. Tetapi dalam pendapat lain dikatakan, keislaman seseorang tidak diakui kecuali apabila setelah mengucapkan syahadat dengan bahasa isyarat ia menjalankan shalat. Ini adalah zhahir pendapat Imam Syafi’i yang terdapat dalam kitab Al-Umm,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Raudlatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftiyin, Beirut, Al-Maktab Al-Islami, juz VII, halaman 282).

Namun, menurut An-Nawawi, pendapat Imam Syafi’i ini harus dibaca dalam konteks ketika isyarat yang digunakan orang yang bisu tersebut tidak dapat dipahami. Lain halnya ketika bahasa isyarat tersebut dapat dipahami maka dianggap absah.

وَالصَّحِيحُ الْمَعْرُوفُ اَلْأَوَّلُ وَحَمْلُ النَّصِّ عَلَى مَا إِذَا لَمْ تَكُنِ الْإِشَارَةُ مُفْهَمَةً

Artinya, “Pendapat yang benar dan dikenal adalah pendapat pertama. Sedangkan pendapat Imam Syafi’i itu mesti dipahami dalam konteks ketika (syahadat) dengan bahasa isyarat tidak bisa dimengerti,” (Lihat An-Nawawi, Raudlatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftiyin, juz VII, halaman 282).

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Mahbub Maafi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar