Negeri Ramah terhadap Koruptor
Oleh: Salahuddin Wahid
Jajak pendapat harian Kompas (7-9 Juni 2017) mengungkap bahwa
masalah terbesar bangsa Indonesia ialah korupsi (42,8 persen), penegakan hukum
(17,7 persen), kemiskinan (12,9 persen), dan masalah SARA (10 persen). Yang
membuat Indonesia mundur ialah korupsi makin meningkat (26,9 persen), ekonomi
memburuk (22,7 persen), hukum tebang pilih (12,6 persen), sumber daya alam
dikuasai luar negeri (8,4 persen), dan konflik SARA meningkat (8,4 persen).
Sebaliknya jajak pendapat Transparency Indonesia terhadap
pengusaha mengungkap bahwa 60 persen responden menganggap korupsi bukanlah
masalah penting.
Pendapat masyarakat bahwa korupsi adalah masalah terbesar bangsa
Indonesia dan bahwa yang membuat Indonesia mundur ialah korupsi yang semakin
meningkat ternyata tidak membuat pejabat jera melakukan korupsi. Operasi
tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menangkap
ratusan pejabat negara, baik di kalangan eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif.
Kasus KTP elektronik yang merugikan negara lebih dari Rp 2 triliun
dan melibatkan banyak pejabat negara yang masih menjabat membuat masyarakat
bertanya-tanya, kok semudah itu para pejabat eksekutif dan legislatif mengeruk
uang negara dalam jumlah yang amat besar.
Selama ini disebutkan bahwa koruptor adalah orang yang diduga
korupsi dan tertangkap atau dibuktikan telah melakukan tindak pidana korupsi.
Yang melakukan korupsi, tetapi tidak tertangkap atau tidak terbukti
melakukan tindak pidana korupsi bukan koruptor. Wajar kalau banyak yang menduga
bahwa yang tertangkap adalah puncak dari gunung es pelaku tindak korupsi yang
tidak tertangkap. Yang tidak tertangkap jauh lebih banyak daripada yang
tertangkap.
Mengapa para pejabat negara tidak jera melakukan korupsi? Menurut
saya, para pejabat yang melakukan korupsi (dan juga pengusaha yang terlibat)
sudah tidak merasa malu, tidak merasa bersalah, dan tidak merasa takut kepada
Tuhan. Tidak ada tersangka yang ditangkap KPK yang terlihat merasa malu saat
muncul di depan jurnalis televisi.
Setya Novanto tidak merasa malu dan merasa bersalah melakukan
tindakan menghindar dari panggilan KPK sehingga mengalami kecelakaan. Yang
mereka takuti hanya dimiskinkan. Kalau hanya dihukum ringan dan tidak
dimiskinkan, setelah bebas mereka masih bisa menikmati harta haram mereka.
Penyebab lain ialah karena bangsa Indonesia ramah terhadap
koruptor. Tidak ada sanksi sosial terhadap para koruptor atau mereka yang layak
diduga korupsi atau pejabat yang sudah disebutkan mempunyai rekening
gendut. Mereka masih dihormati masyarakat. Kita juga tidak berhasil
menyelesaikan banyak kasus dugaan korupsi sejumlah pemimpin tertinggi di negeri
kita pada masa lalu.
Pengalaman negara lain
Di Korea Selatan, Presiden Syngman Rhee didesak untuk mundur dari
melarikan diri ke Hawaii pada 1960. Chun Doo- hwan yang memimpin tahun
1979-1988 dijatuhi hukuman mati. Penggantinya, Roh Tae-woo, dijatuhi hukuman
lebih dari 20 tahun karena korupsi dan pengkhianatan. Kedua pemimpin itu
diampuni pada 1997. Kim Yong- sam yang memerintah pada 1993-1998 dituduh
membawa Korea Selatan ke dalam krisis keuangan Asia, tapi juga menyaksikan
putranya dipenjara karena memperdagangkan kekuasaan.
Kim Dae-jung yang memerintah pada 1998-2003 menerima Hadiah Nobel
pada 2000 karena pendekatan lunak terhadap Korea Utara, tetapi putranya merusak
reputasi itu karena menerima suap dari kalangan pengusaha. Roh Moo-hyun yang
memerintah pada 2003-2008 bunuh diri pada 2009 di tengah dugaan anggota keluarganya
menerima suap dan kakaknya dijatuhi hukuman pada tahun yang sama.
Lee Myung-bak yang memerintah pada 2008-2013 dipermalukan oleh
anak tunggal dan dua saudara lelakinya yang korupsi dana untuk kaum miskin.
Tahun ini Presiden Park Geun-hye, putri Presiden Park Chung-hee,
dimakzulkan dan menghadapi hukuman seumur hidup. Dia mengulangi tragedi ayahnya
pada 1979 yang ditembak mati oleh kepala intelijennya sendiri dalam sebuah
pesta karena Park Chung-hee dianggap sebagai diktator.
Pada awal November 2017, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran
Mohammad bin Salman menangkap sejumlah besar pangeran dalam keluarga besar Ibnu
Saud. Pangeran Abdel Aziz bin Abdullah, salah satu putra mendiang Raja Abdullah
bin Abdul Aziz al-Saud, dilaporkan meminta suaka ke Perancis. Kakak kandungnya,
yaitu Pangeran Miteb bin Abdullah, yang menjabat sebagai komandan pasukan elite
Garda Nasional, ikut ditangkap pada awal November karena tuduhan korupsi.
Selanjutnya diberitakan bahwa Pangeran Miteb dilepaskan setelah bersedia
mengembalikan sekitar 1 miliar dolar AS ke kas negara.
Kejaksaan Agung Arab Saudi menyatakan telah membekukan rekening
bank milik 367 orang. Pemerintah juga melarang pesawat pribadi ke luar negeri.
Kebanyakan dari 320 pangeran, menteri, dan mantan menteri yang ditangkap
memilih kompromi dan bersedia mengembalikan harta dan aset mereka kepada
pemerintah. Diperkirakan Pemerintah Arab Saudi akan memperoleh dana 50 miliar
dollar AS hingga 100 miliar dollar AS dari pengembalian harta itu.
Masih adakah harapan?
Jajak pendapat lain dari harian Kompas (10-13 Oktober 2017)
mengungkap bahwa 50,7 persen responden menganggap bahwa perilaku plagiat,
korupsi, dan suap di dalam masyarakat amat parah dan 43,1 persen menganggap hal
itu parah. Terhadap pernyataan bahwa kasus korupsi dan plagiat sering terjadi
karena tak adanya sanksi yang berat dan membuat jera, 88 persen responden
setuju.
Pertanyaan lain ialah ”apakah tindakan menyuap dan korupsi dipicu
kebiasaan berbohong di masyarakat?” Yang setuju 74,9 persen dan yang tak setuju
23,9 persen. Pertanyaan lain ialah tentang tingkat kebohongan di beberapa
kalangan. Di kalangan aparat penyelenggara negara: yang selalu dan yang sering
jujur sebanyak 10,5 persen, yang selalu dan sering bohong sebanyak 38,9 persen,
yang kadang jujur sebanyak 45,5 persen.
Di kalangan penegak hukum: yang selalu dan yang sering jujur
sebanyak 7,5 persen, yang selalu dan yang sering bohong mencapai 43,7 persen,
yang kadang jujur 45,3 persen. Di kalangan agamawan: yang selalu dan sering
jujur sebanyak 45,7 persen, yang selalu dan sering bohong 9,3 persen, yang
kadang jujur sebanyak 38,7 persen.
KPK dibentuk karena dianggap bahwa kepolisian dan kejaksaan tidak
cukup mampu untuk memerangi korupsi. Anggapan itu tampaknya sesuai dengan hasil
jajak pendapat di atas yang mengungkap bahwa di kalangan aparat penegak hukum,
yang sering dan selalu jujur hanya mencapai 7,5 persen. Kini ada gagasan untuk
membentuk Densus Tipikor.
Apakah dalam waktu belasan tahun terakhir telah terjadi perbaikan
yang amat berarti dalam lingkungan aparat penegak hukum sehingga kita yakin
kepolisian dapat menjalankan tugas di dalam Densus Tipikor dengan baik?
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian tidak terlalu tinggi. Apakah
Densus Tipikor dapat bersikap independen dan profesional kalau harus menangani
korupsi di dalam kalangan kepolisian?
Dalam jajak pendapat tentang kejujuran di atas, di kalangan
pelajar/mahasiswa yang selalu dan sering jujur mencapai 9,8 persen, yang selalu
dan sering bohong sebanyak 36,6 persen, yang kadang jujur sebanyak 50,5 persen.
Kita juga harus berusaha menaikkan tingkat kejujuran pelajar/ mahasiswa jauh
lebih rendah dibandingkan dengan yang selalu dan sering bohong. []
KOMPAS, 30 Desember 2017
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar