Harapan Indonesia
Oleh: Azyumardi Azra
Menyaksikan perkembangan internasional sepanjang 2017, tidak
banyak harapan dan optimisme. Sebaliknya, pesimisme meningkat di kalangan
masyarakat dunia—termasuk Indonesia—karena banyak perkembangan yang tidak
kondusif di berbagai pelosok.
Menurut survei dari sejumlah lembaga yang dirilis sejak 2015
sampai 2017, sebagian besar warga di negara-negara Barat, Afrika, dan Asia
pesimistis akan terwujudnya masa depan lebih baik di negara mereka sendiri
ataupun di dunia internasional. Sebagai contoh, Yougov menyatakan, 81 persen
warga Perancis pesimistis dunia bisa lebih baik; hanya 3 persen yang
optimistis.
Bagaimana optimisme terwujudnya dunia lebih aman, damai, dan adil
bisa tumbuh, misalnya, jika Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara
sepihak menetapkan Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Tidak memedulikan
berbagai resolusi PBB, Trump mengabaikan hak sah Palestina atas kota suci tiga
agama (Islam, Kristen, dan Yahudi) sebagai ibu kotanya.
Keputusan Trump segera memicu ketegangan internasional. Di tengah
munculnya kembali intifadah (kebangkitan) warga Palestina di Tepi Barat dan
Gaza, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi
Luar Biasa di Istanbul (13 Desember), yang disusul Sidang Dewan Keamanan PBB
(18 Desember), dan sidang darurat Majelis Umum PBB (21 Desember). Ketiga sidang
itu menolak keputusan AS menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Namun,
AS menolak semua resolusi ketiga sidang itu.
Bagaimana pula optimisme bisa tumbuh jika di Yaman perang saudara
dengan intervensi koalisi militer Arab Saudi terus menewaskan warga dalam
jumlah besar. Penderitaan anak manusia di Yaman—salah satu negara termiskin di
dunia—menjadi kian sempurna dengan meruyaknya wabah kolera dan kelaparan.
Bagaimana dunia lebih damai, sementara kaum minoritas Rohingya
terus mengalami persekusi—yang disebut PBB sebagai genosida. Kecaman banyak
negara dan masyarakat internasional terhadap Pemerintah Myanmar belum mampu mengubahnya.
Daftar perkembangan yang tidak optimistis bisa panjang jika
mencakup ketegangan di Semenanjung Korea, atau kekerasan yang berlanjut di
Suriah, Irak, Mesir, dan wilayah Timur Tengah lain. Kekerasan dan terorisme
juga masih terjadi di sejumlah negara Eropa. Bisa dipastikan, berbagai
kecenderungan, gejala, dan fenomena yang tidak kondusif bakal berlanjut pada
2018 dan tahun selanjutnya.
Harapan Indonesia? Pada satu segi, Indonesia adalah harapan karena
ia adalah negara berwilayah luas yang stabil secara politik, keamanan, dan
ekonomi dalam beberapa dasawarsa terakhir. Karena itu, Indonesia dapat konstan
melakukan pembangunan yang memperkuat posisi, baik secara internal maupun
eksternal.
Indonesia juga memberikan optimisme dan harapan karena beberapa
alasan lain. Pertama, terkait posisi Indonesia sebagai salah satu negara besar
di dunia: negara berpopulasi keempat terbanyak di muka bumi dan sekaligus
berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Indonesia adalah negara demokrasi
terbesar ketiga di dunia; juga ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan nomor 9
atau 10 terbesar di dunia.
Berbagai proyeksi lembaga internasional juga menimbulkan
optimisme. Forum Ekonomi Dunia (WEF) Davos dan lembaga profesional
PricewaterhouseCoopers, misalnya, memprediksi antara tahun 2025 dan 2030,
Indonesia bakal menjadi negara terbesar/terkuat keempat atau kelima di dunia.
Prediksi optimistis itu terkait dengan stabilitas politik,
keamanan, dan ekonomi Indonesia dalam tiga atau empat dasawarsa terakhir. Meski
stabilitas politik dan ekonomi sempat guncang dalam tahun-tahun awal reformasi,
Indonesia segera pulih. Meskipun ada gejolak politik terkait transisi demokrasi
yang belum sepenuhnya terkonsolidasi, secara umum Indonesia berhasil mewujudkan
stabilitas politik, sekaligus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Kondisi ini membuat warga Indonesia memiliki optimisme tertinggi
di antara warga negara lain. Konteks internal, misalnya, dapat dirujuk survei
CSIS Jakarta (3/11). Survei di 34 provinsi itu menemukan 75,3 generasi milenial
dan 77,8 non-milenial optimistis pemerintah Jokowi-Kalla dapat meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Temuan CSIS selaras dengan hasil survei Nielsen Global
Consumer Confidence (2017). Nielsen menemukan Indonesia dengan indeks 121
menduduki ranking ketiga negara paling optimistis di dunia.
Konteks internasional, menurut Yougov (2016), 23 persen warga
Indonesia optimistis keadaan dunia bisa lebih baik. Posisi ini nomor dua
setelah China yang 41 persen warganya optimistis. Namun, pasca-kehebohan
Jerusalem, boleh jadi optimisme warga Indonesia menyurut.
Namun, perlu ditegaskan, untuk dapat memenuhi prediksi dan harapan
institusi internasional tersebut, ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi
pemerintah dan warga Indonesia. Tanpa pemenuhan prasyarat itu, harapan
tersebut, baik dalam konteks domestik maupun internasional, boleh jadi
angan-angan belaka. Prasyarat utama adalah pemeliharaan stabilitas politik dan
keamanan. Jika pemerintah dan masyarakat tidak mampu menjaga stabilitas politik
dan keamanan, dampaknya sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan.
Karena itu, memasuki tahun politik 2018 yang berlanjut pada 2019,
pertikaian politik yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan wajib
diminimalkan. Mengeksploitasi isu (SARA) dan tindakan (penggalangan aksi massa
dalam jumlah besar) yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan perlu
dihindari.
Sumber:
Harapan Indonesia
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
KOMPAS, 26 Desember 2017
Menyaksikan perkembangan internasional sepanjang 2017, tidak
banyak harapan dan optimisme. Sebaliknya, pesimisme meningkat di kalangan
masyarakat dunia—termasuk Indonesia—karena banyak perkembangan yang tidak
kondusif di berbagai pelosok.
Menurut survei dari sejumlah lembaga yang dirilis sejak 2015
sampai 2017, sebagian besar warga di negara-negara Barat, Afrika, dan Asia
pesimistis akan terwujudnya masa depan lebih baik di negara mereka sendiri
ataupun di dunia internasional. Sebagai contoh, Yougov menyatakan, 81 persen
warga Perancis pesimistis dunia bisa lebih baik; hanya 3 persen yang
optimistis.
Bagaimana optimisme terwujudnya dunia lebih aman, damai, dan adil
bisa tumbuh, misalnya, jika Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara
sepihak menetapkan Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Tidak memedulikan
berbagai resolusi PBB, Trump mengabaikan hak sah Palestina atas kota suci tiga
agama (Islam, Kristen, dan Yahudi) sebagai ibu kotanya.
Keputusan Trump segera memicu ketegangan internasional. Di tengah
munculnya kembali intifadah (kebangkitan) warga Palestina di Tepi Barat dan
Gaza, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi
Luar Biasa di Istanbul (13 Desember), yang disusul Sidang Dewan Keamanan PBB
(18 Desember), dan sidang darurat Majelis Umum PBB (21 Desember). Ketiga sidang
itu menolak keputusan AS menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Namun,
AS menolak semua resolusi ketiga sidang itu.
Bagaimana pula optimisme bisa tumbuh jika di Yaman perang saudara
dengan intervensi koalisi militer Arab Saudi terus menewaskan warga dalam
jumlah besar. Penderitaan anak manusia di Yaman—salah satu negara termiskin di
dunia—menjadi kian sempurna dengan meruyaknya wabah kolera dan kelaparan.
Bagaimana dunia lebih damai, sementara kaum minoritas Rohingya
terus mengalami persekusi—yang disebut PBB sebagai genosida. Kecaman banyak
negara dan masyarakat internasional terhadap Pemerintah Myanmar belum mampu
mengubahnya.
Daftar perkembangan yang tidak optimistis bisa panjang jika
mencakup ketegangan di Semenanjung Korea, atau kekerasan yang berlanjut di
Suriah, Irak, Mesir, dan wilayah Timur Tengah lain. Kekerasan dan terorisme
juga masih terjadi di sejumlah negara Eropa. Bisa dipastikan, berbagai
kecenderungan, gejala, dan fenomena yang tidak kondusif bakal berlanjut pada
2018 dan tahun selanjutnya.
Harapan Indonesia? Pada satu segi, Indonesia adalah harapan karena
ia adalah negara berwilayah luas yang stabil secara politik, keamanan, dan
ekonomi dalam beberapa dasawarsa terakhir. Karena itu, Indonesia dapat konstan
melakukan pembangunan yang memperkuat posisi, baik secara internal maupun
eksternal.
Indonesia juga memberikan optimisme dan harapan karena beberapa
alasan lain. Pertama, terkait posisi Indonesia sebagai salah satu negara besar
di dunia: negara berpopulasi keempat terbanyak di muka bumi dan sekaligus
berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Indonesia adalah negara demokrasi
terbesar ketiga di dunia; juga ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan nomor 9
atau 10 terbesar di dunia.
Berbagai proyeksi lembaga internasional juga menimbulkan
optimisme. Forum Ekonomi Dunia (WEF) Davos dan lembaga profesional
PricewaterhouseCoopers, misalnya, memprediksi antara tahun 2025 dan 2030,
Indonesia bakal menjadi negara terbesar/terkuat keempat atau kelima di dunia.
Prediksi optimistis itu terkait dengan stabilitas politik,
keamanan, dan ekonomi Indonesia dalam tiga atau empat dasawarsa terakhir. Meski
stabilitas politik dan ekonomi sempat guncang dalam tahun-tahun awal reformasi,
Indonesia segera pulih. Meskipun ada gejolak politik terkait transisi demokrasi
yang belum sepenuhnya terkonsolidasi, secara umum Indonesia berhasil mewujudkan
stabilitas politik, sekaligus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Kondisi ini membuat warga Indonesia memiliki optimisme tertinggi
di antara warga negara lain. Konteks internal, misalnya, dapat dirujuk survei
CSIS Jakarta (3/11). Survei di 34 provinsi itu menemukan 75,3 generasi milenial
dan 77,8 non-milenial optimistis pemerintah Jokowi-Kalla dapat meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Temuan CSIS selaras dengan hasil survei Nielsen Global
Consumer Confidence (2017). Nielsen menemukan Indonesia dengan indeks 121
menduduki ranking ketiga negara paling optimistis di dunia.
Konteks internasional, menurut Yougov (2016), 23 persen warga
Indonesia optimistis keadaan dunia bisa lebih baik. Posisi ini nomor dua
setelah China yang 41 persen warganya optimistis. Namun, pasca-kehebohan
Jerusalem, boleh jadi optimisme warga Indonesia menyurut.
Namun, perlu ditegaskan, untuk dapat memenuhi prediksi dan harapan
institusi internasional tersebut, ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi pemerintah
dan warga Indonesia. Tanpa pemenuhan prasyarat itu, harapan tersebut, baik
dalam konteks domestik maupun internasional, boleh jadi angan-angan belaka.
Prasyarat utama adalah pemeliharaan stabilitas politik dan keamanan. Jika
pemerintah dan masyarakat tidak mampu menjaga stabilitas politik dan keamanan,
dampaknya sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan.
Karena itu, memasuki tahun politik 2018 yang berlanjut pada 2019,
pertikaian politik yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan wajib
diminimalkan. Mengeksploitasi isu (SARA) dan tindakan (penggalangan aksi massa
dalam jumlah besar) yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan perlu
dihindari. []
KOMPAS, 26 Desember 2017
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar