Peran
Indonesia untuk Palestina
Oleh:
Hasibullah Satrawi
Kebijakan
Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota
Israel dan akan memindahkan kedutaan AS ke kota suci tersebut, terasa sangat
menohok.
Di satu
sisi kebijakan ini secara terang-terangan mengabaikan sejumlah ketentuan dunia,
seperti Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 181 (1947) yang menetapkan
Jerusalem sebagai kota Internasional, Resolusi 252 PBB (1968) yang meminta
Israel menghentikan semua aktivitasnya di Jerusalem, Resolusi 298 PBB (1971)
yang menyatakan segala tindakan Israel untuk mengubah status Jerusalem adalah
melanggar hukum, dan sejumlah ketentuan lainnya.
Adalah
benar kebijakan Trump di atas sesuai dengan UU yang telah disahkan di AS pada
1995 terkait kedutaan Jerusalem (sebagaimana dimuat dalam pidato Trump). Adalah
benar bahwa Trump dan pendukungnya meyakini bahwa kebijakan itu demi kepentingan
nasional AS. Dan mungkin benar kebijakan tersebut menguntungkan Trump secara
politik domestik AS, khususnya saat Trump mulai terdesak secara politik akibat
dugaan skandal pemenangan dirinya dalam pilpres lalu.
Namun,
sebagai presiden negeri adidaya, sejatinya Trump tidak hanya berpegangan pada
UU yang berlaku di negaranya, tetapi juga pada sejumlah ketentuan yang berlaku
di dunia, khususnya melalui resolusi PBB. Trump juga harus memikirkan
kepentingan, kedamaian. dan ketertiban dunia. Apalagi AS selama ini banyak
memprakarsai sejumlah inisiatif perdamaian, termasuk menjadi salah satu
mediator upaya penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Perang
saudara
Di sisi
lain, kebijakan Trump itu diumumkan di tengah terjadi pelbagai macam perang
saudara dan persoalan pelik yang melanda sejumlah negara di Timur Tengah
(Timteng), khususnya pasca-Musim Semi Arab. Padahal, negara-negara itu selama
ini menjadi sandaran sekaligus ”keluarga besar” bagi Palestina. Ini menjadikan
Palestina tak ubahnya anak yatim piatu.
Mesir
yang selama ini selalu berada di garda terdepan dalam membela Palestina
belakangan dilanda persoalan ekonomi dan keamanan yang sangat serius. Suriah
porak-poranda akibat perang saudara berkepanjangan. Begitu juga Libya dan
Yaman. Situasi lebih kurang sama dialami Irak setelah serangan AS pada 2003
hingga bagian cukup besar wilayahnya sempat dikuasai kelompok militan Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS) meski Irak berhasil merebut wilayahnya kembali
dan mengumumkan kemenangan atas NIIS.
Sementara
Arab Saudi, Qatar, Turki, dan Iran berada dalam posisi saling kunci, khususnya
terkait dengan persoalan perang di Suriah dan perang di Yaman. Dalam perang di
Suriah, negara-negara ini (terkecuali Iran) sempat berada dalam satu barisan
mendukung kelompok revolusi anti-Bashar al-Assad bersama sejumlah negara Barat,
termasuk AS. Namun, karena satu dan lain hal, Turki melakukan manuver politik
zig-zag dan belakangan merapat ke Iran, Rusia, dan pihak-pihak lain yang
mendukung Bashar al-Assad sejak konflik terjadi.
Arab
Saudi terus konsisten melawan rezim Al-Assad yang dianggap sebagai perpanjangan
tangan Iran di kawasan (walaupun intensitasnya menurun). Bahkan, sampai hari
ini Arab Saudi memimpin koalisi sejumlah negara Arab yang melakukan serangan
secara langsung di Yaman untuk menghadapi kelompok Houthi yang juga didukung
Iran. Semua ini dilakukan Arab Saudi untuk menumpas tangan-tangan Iran di dunia
Arab.
Sentimen
anti-Iran yang sedemikian kuat di Arab Saudi membawa negara kaya minyak itu
bersama sejumlah negara Arab lain (Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir)
mengisolasi negara Teluk lain yang juga kaya minyak, yaitu Qatar. Selain karena
tuduhan mendukung dan mendanai kelompok teroris, Qatar dianggap tak mau terlalu
ketat terhadap Iran. Belakangan hubungan Arab Saudi-Turki juga memburuk karena
Turki justru bekerja sama dan mendukung Qatar.
Dukungan
kosong
Dalam
kondisi seperti itu, apa yang bisa diberikan kepada Palestina? Tak ada, kecuali
hanya sebatas kecaman dan kutukan terhadap AS di atas mimbar ataupun
konferensi-konferensi darurat. Apa yang dilakukan negara-negara itu terhadap
Palestina berbanding terbalik dengan apa yang telah mereka lakukan di Suriah
dan di Yaman. Menurut beberapa sumber, negara-negara itu sampai pada tahap
mengirim ahli-ahli militer terbaiknya ke medan tempur untuk memenangi
peperangan yang ada.
Peran
Indonesia
Dalam
konteks negara-negara Timteng dan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim
lain seperti sekarang, Indonesia bisa mengambil peran penting bagi Palestina
mengingat Indonesia tak terlalu memiliki persoalan internal. Yang paling
penting adalah karena Indonesia memiliki hubungan sangat baik dan strategis
dengan negara-negara yang bisa berperan optimal dalam upaya menyelesaikan
konflik Israel-Palestina: Indonesia berhubungan baik dengan Arab Saudi, Turki,
Iran, Qatar, Mesir, Jordania, dan yang lainnya. Bahkan, Indonesia juga
berhubungan sangat baik dengan AS, Eropa, Rusia, dan China sebagai pihak-pihak
yang selama ini berperan penting di pentas politik global, termasuk dalam
persoalan konflik Israel-Palestina.
Karena
itu, melalui modal besar yang ada di atas, dalam hemat penulis, Indonesia bisa
mendorong penyelesaian konflik Israel-Palestina melalui tiga ranah sekaligus,
yaitu ranah internal Palestina, ranah Timteng ataupun ranah negara-negara
berpenduduk mayoritas beragama Islam, dan ranah global.
Dalam
konteks ranah nasional Palestina, rekonsiliasi di antara faksi-faksi di
internal Palestina harus diperkuat, khususnya di antara faksi Fatah yang selama
ini cenderung memilih perjuangan dengan cara-cara damai dengan faksi Hamas yang
cenderung pada perjuangan bersenjata. Rekonsiliasi ini sangat dibutuhkan untuk
menyongsong Palestina yang satu sekaligus bersatu.
Dari
rekonsiliasi yang ada, Palestina bisa melakukan penguatan internal, khususnya
di kalangan aparat negara. Hingga Palestina mempunyai aparat yang siap untuk
menjalankan pemerintahan yang kuat, bersih, dan dipercaya oleh segenap rakyat.
Pada
ranah Timteng ataupun negara-negara berpenduduk mayoritas beragama Islam,
Indonesia bisa mengajak semua negara terkait untuk bersatu dan mengurangi perselisihan
yang bersifat sektarian dan kekuasaan politik. Visi Islam rahmatan lil ’alamin
(rahmat bagi semesta alam) bisa dijadikan sebagai salah satu payung besar
menyatupadukan negara-negara itu dalam mendukung perjuangan Palestina.
Sementara
dalam ranah global, Indonesia bisa mendorong negara-negara adidaya untuk
memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini dengan menjadi mediator yang
adil terhadap kedua belah pihak dan tepercaya. Hal ini menjadi sangat penting
karena, walaupun konflik Israel-Palestina merupakan persoalan politik murni,
konflik ini berdampak secara langsung terhadap hal-hal keagamaan. Itu mengingat
wilayah yang diperebutkan terhadap tempat-tempat suci yang diimani oleh pemeluk
tiga agama besar: Yahudi, Kristen, dan Islam.
Menyelesaikan
persoalan ini secara damai dan abadi sama halnya dengan membendung
potensi-potensi konflik secara global. Sebaliknya, menangani persoalan ini
tidak secara adil sama halnya dengan membuka potensi-potensi konflik secara
global. []
KOMPAS,
29 Desember 2017
Hasibullah
Satrawi ; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah
dan Dunia Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar