Al-Qur'an, Tafsir
Bung Karno dan Pancasila
Judul
: Bung Karno “Menerjemahkan” Al-Quran
Penulis
: Muchamad
Nur Arifin
Penerbit
: Mizan
Terbit
: Juni, 2017
Peresensi
: Husen Ja'far, peneliti dan esais, mengeloka komunitas @SejarahRI.
Bulan Juni adalah
bulannya Bung Karno. Sang Proklamator lahir di tanggal 6 Juni dan wafat 21
Juni. 1 Juni juga menjadi Hari Lahir Pancasila, yang ditandai dengan pidato
bersejarah Bung Karno di depan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang isinya menjadi cikal-bakal Pancasila.
Di samping itu, bulan
Juni 2017 ini bertepatan dengan bulan Ramadhan, di mana merupakan bulan suci
Islam yang pada tanggal 17 Ramadhan menjadi hari diturunkannya Al-Quran
(Nuzulul Qur’an). Dalam kalender hijriyah, di bulan Ramadhan ini pula
Kemerdekaan RI tercapai, yakni tepatnya 9 Ramadhan 1364 H.
Momentum istimewa
bagi Indonesia dan Islam ini dimanfaatkan tokoh muda nahdliyin yang sekaligus
Wakil Bupati Trenggalek, Muchamad Nur Arifin untuk me-launching buku baru
sekaligus buku perdananya yang berjudul “Bung Karno “Menerjemahkan” Al-Quran”
diterbitkan oleh Penerbit Mizan. Arifin merupakan Pengurus Lesbumi PBNU dan
Ketua Bidang Kominfo Ansor Jawa Timur.
Dalam bukunya ini,
Arifin mengupas tuntas pemikiran Bung Karno tentang nilai-nilai dasar ideologi
keindonesiaan. Namun berbeda dengan buku tentang Bung Karno yang lainnya, buku
ini menggunakan perspektif tafsir Al Quran. Secara khusus buku ini memotret
pemikiran Bung Karno tentang kebangsaan dan keislaman dalam bingkai ayat-ayat
Al Quran. Ini kekhasan yang jarang kita temukan dalam buku-buku tentang
pemikiran Bung Karno yang lainnya.
Buku ini dengan tegas
menampilkan sosok Bung Karno yang nasionalis sekaligus religius. Pada diri dan
pemikiran Bung Karno terkonvergensi keindonesiaan sekaligus keislaman. Bagi
Bung Karno, bertuhan itu sekaligus berindonesia, dan berindonesia itu sekaligus
berislam. Jadi, tak ada pengkotak-kotakan atas semua itu. Semuanya bersinergi
membentuk sebuah filosofi, visi, dan nilai-nilai bersama. Semua nilai itu
tercakup dalam Pancasila.
Oleh karena itu,
menurut Prof. Mahfud M.D, buku ini penting untuk menjelaskan kepada publik
tentang keislaman gagasan-gagasan Bung Karno. “Sebab masih banyak yang salah
paham seakan-akan Bung Karno adalah tokoh yang sangat sekular yang tak peduli
pada agama. Padahal, pandangan dan langkah-langkahnya sangat agamis,” tuturnya.
Buku ini hadir pada
saat yang tepat: saat keislaman dan keindonesiaan dipertentangkan, Pancasila
versus Khilafah. Di tengah maraknya kalangan hingga ormas muslim radikal yang
mempertentangkan Pancasila dan Islam sembari menawarkan gagasan khilafah atau
syariat Islam bagi negeri ini.
Buku ini menyuntikkan
kembali kesadaran tentang betapa berharganya nilai-nilai kebangsaan dan
keislaman kita. Bahwa semua itu sudah tuntas dirumuskan oleh para founding
fathers kita. Tak ada lagi dikotomi antara Indonesia dan Islam. Keduanya lebur,
sinergis, sekaligus beyond, seperti yang bisa kita lihat pada figur Bung Karno.
Oleh karena itu,
komentar Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj, “buku ini lahir pada waktu yang
tepat untuk menjelaskan kepada rakyat Indonesia bahwa asas-asas bangsa ini,
terutama Pancasila selaras dan koheren dengan pesan-pesan Al-Quran dan
nilai-nilai Islam.”
Dalam satu subbab
khusus, buku ini juga mengupas tentang titik temu Bung Karno dan Nahdlatul
Ulama (NU): ijtihad kebangsaan Bung Karno bertemu dengan ijtihad keislaman NU
di “terminal” bernama Pancasila. Sesuatu yang disebut oleh penulis buku ini
sebagai sinergi yang apik: tokoh besar nasionalis bertemu dengan ormas besar
religius dalam sebuah gagasan yang menyatukan kedua latar belakangnya tersebut,
yakni nasionalisme-religius. Perpaduan yang memberikan kontribusi tak ternilai
bagi Indonesia. []

Tidak ada komentar:
Posting Komentar