Belajar di Mesir
Setelah beres semuanya, pada September 1952, di usianya yang ke-21 tahun, KH Nahrawi Abdussalam berangkat ke Mesir bersama empat sahabat dekatnya tersebut. Saat daftar di Universitas Al-Azhar, Zainuddin, Usman, Qadir dan Mukmin tidak mengalami kesulitan karena sudah mengantongi ijazah persamaan.
Mereka berempat langsung masuk dan dapat izin tinggal (iqamah). Sementara dirinya tidak memiliki ijazah serupa dan belajarnya di STI sempat mandek. Oleh karena itu, ia harus melalui ujian yang relatif lebih sulit. Tapi, alhamdulillah, ia pun lulus ujian dan diterima di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar.
”Saya pilih belajar di Mesir karena ilmu keislamannya sangat tinggi, tidak seperti Arab Saudi yang sistemnya halaqah. Juga karena di sana ada Universitas Al-Azhar,” ujarnya.
Sambil kuliah, seperti di Makkah, ia juga aktif di organisasi Pemuda Indonesia Mesir (PIM), bahkan menjadi pengurusnya. PIM kemudian diganti menjadi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dan menjadi ketuanya sampai awal tahun 1960-an. Kemudian pada tahun 1970, ia mendirikan PPI di Damaskus, Syiria, sekaligus menjadi ketuanya dalam beberapa tahun kepengurusan.
Perjalanan Karir
PIM mempunyai asrama sendiri hasil sumbangan Pemerintah Indonesia. Ia bersama kawan-kawannya tinggal di asrama PIM. Di PIM inilah ia bersahabat dengan Tujimah dan Baroroh. Namun, suatu ketika, asrama PIM pernah kemasukkan pencuri, dan isinya dijarah habis oleh pencuri tersebut, tak terkecuali barang-barang miliknya. Karena seluruh barang-barangnya dicuri, ia tidak punya lagi apa-apa, terlebih ia kuliah dengan biaya sendiri.
Namun, alhamdulillah setelah peristiwa pencurian tersebut, selama beberapa tahun, datanglah bertubi-tubi berbagai tawaran pekerjaan kepadanya. Dari sinilah perjalanan karirnya dimulai dengan menjadi penyiar dan penerjemah pada Radio Mesir seksi siaran Bahasa Indonesia (1953-1970 M). Latar belakangnya, ketika itu Radio Mesir membutuhkan penerjemah dan penyiar untuk siaran bahasa Indonesia.
Atas ajakan kawannya, Sawabi Ihsan, ia ikut melamar bersama Tujimah dan Baroroh. Hasilnya, hanya ia dan Sawabi Ihsan yang lulus. Pekerjaannya ini ia lakukan sampai tahun 1970. ”Tugas penyiar itu berat sekali. Kalau perang, walau malam, kami dijemput juga. Tidak bisa tidak, karena tugas,” kenangnya.
Selain itu, suatu hari Universitas ’Ainus-Syams juga membuka mata kuliah bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia. Pihak universitas mengirim surat ke Radio Mesir untuk minta tenaga pengajar. Akhirnya, ia dan Zakiah Darajat yang terpilih.
Begitu pula pada tahun 1958 sampai tahun 1968, ia menjadi guru bahasa Indonesia pada Akademi Bimbingan dan Kader Al-Azhar Cabang Universitas Al-Azhar untuk luar negeri, yaitu ke Indonesia.
”Saya betul-betul sibuk dan hampir kewalahan. Pukul 06.00 pagi harus bangun. Kuliah di Al-Azhar sebentar, lalu ke `Ainus Syams. Pukul 13.30 sudah harus ada di studio. Habis Maghrib sampai Isya ngajar di Al-Azhar. Walaupun duit banyak, tapi waktu habis. Paling-paling di rumah hanya dua jam,” ucapnya.
Pada tahun 1970 sampai tahun 1974, ia menjadi staf KBRI Damaskus dan memegang jabatan sebagai Wakil Pimpinan Redaksi Majalah Indonesia dalam bahasa Arab yang diterbitkan oleh KBRI. Seperti di Arab Saudi dan Mesir, ia juga aktif di berbagai kegiatan Perkumpulan Pelajar Indonesia (PPI), termasuk menjadi guide dan penerjemah. Misalnya, dia pernah ditugaskan mendampingi Wakil Presiden RI, Adam Malik, dalam suatu kunjungan kenegaraannya ke Damaskus. Ia juga pernah menjadi penyiar dan penerjemah Radio Saudi Arabia seksi Bahasa Indonesia di Jeddah dari tahun 1974 sampai tahun 1988 M.
Walau sibuk bekerja, dia tetap rajin dan serius kuliah serta meraih sejumlah gelar kesarjanaan. Gelar Lc. (B.A.) diraihnya pada tahun 1956 dari Fakultas Syari’ah Universitas AI-Azhar, Kairo. Kemudian dua gelar M.A. diraihnya pada universitas yang sama, yakni M.A jurusan kehakiman (1958) dan M.A jurusan Pengajaran dan Pendidikan (1960).
Pada tahun 1961, ia mendapat gelar Diploma I jurusan Hukum, selanjutnya Diploma II diraihnya pada tahun 1962, keduanya diperoleh di Akademi Tinggi Liga Arab, Kairo. Kedua Diploma tersebut setara dengan M.A. Perjalanan studinya terus berlanjut. Pada tahun 1966, ia mendapat M.A Personal Statute dan Perbandingan Mazhab dati Universitas AI-Azhar, Kairo.
Minatnya yang tinggi terhadap disiplin ilmu tersebut diteruskan dengan meraih gelar Doktor dalam bidang Perbandingan Mazhab dari Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas AI-Azhar, Kairo dengan nilai kelulusan yang tertinggi: Sangat memuaskan atau Summa Cum Laude.
Bahkan pembimbing disertasinya, Syekh Abdul Khaliq, sempat memuji disertasinya itu dengan perkataan, ”Menurut saya, kitab ini adalah kitab yang terbaik mengenai Imam Syafi`i pada masa sekarang.”
Berbagai pekerjaan dan aktivitas serta prestasi akademik membuatnya semakin terkenal tidak saja di kalangan para pelajar Indonesia, pejabat kedutaan RI, juga kawan dan gurunya di Universitas Al-Azhar. Tidak heran jika dalam beberapa kesempatan tertentu, ia kerap terpilih sebagai mahasiswa Indonesia yang ikut ambil peran dalam acara-acara penting yang bersifat internasional.
Ia menjadi penerjemah kitab dan makalah untuk acara Muktamar Majelis Islam yang dibuka oleh Presiden Mesir, Gamal Abdul Naser. Namun yang paling berkesan baginya adalah menjadi penerjemah Presiden RI, Ir Soekarno, saat mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar.
”Untuk ada kamu, Wi!” ujarnya mengutip perkataan Bung Karno kepadanya.
Setelah empat tahun bekerja di Syiria, suatu hari, ia menerima tawaran pekerjaan: menjadi dosen di Universitas Malaya (Malaysia) dan menjadi penyiar radio siaran bahasa Indonesia di Radio Kerajaan Arab Saudi Jeddah. Saat itu keadaan di Damaskus, Syiria memang tengah tegang karena perang.
Ia bahkan pernah mengalami suatu ketika terjadi peledakan bom di tempat yang tidak jauh, sekitar 30 meter dari KBRI. Ia akhirnya memilih untuk menjadi penyiar radio di Arab Saudi, Jeddah, yang saat itu dikelola oleh temannya, Abbas Syato. Ia mengirim surat ke temannya itu dengan kalimat, ”Kalau ada kerjaan, kalau bisa ambil saya.”
Abbas Syato tentu senang dengan surat dari sahabatnya, Awi ( panggilan akrab dirinya)., karena sudah kenal dengan dirinya dan telah berpengalaman menjadi penyiar radio di Mesir. Abbas Syato langsung menjawab suratnya, ”Kalau saudara mau bekerja, kirim keterangan lengkap. Segera kabarkan kami.”
Dengan adanya jawaban surat dari Abbas Syato, ia kemudian bersiap-siap untuk meninggalkan pekerjaannya di Damaskus. Ia berpamitan kepada atasannya di KBRI Syiria, waktu itu dijabat oleh Pak Ubani.
”Saya sebenarnya masih ingin saudara di sini. Tapi saudara tentu lebih tahu kepentingan saudara. Jadi saya izinkan. Tapi kalau ada apa-apa, saudara bisa kembali ke sini,” begitu pesan Pak Ubani kepadanya.
Menikah dan Bekerja di Arab Saudi
Sambil mempersiapkan diri kerja di Arab Saudi, pada tahun 1975, ia kembali ke Mesir untuk menikahi Laila Abdurrahman, gadis Mesir, yang waktu itu usianya masih muda, 16 tahun. Sedangkan dirinya berusia 44 tahun. Bagi dirinya, Laila bukanlah sosok asing. Ia adalah adik tiri dari tiga anak asuhnya, yang bernama Mona, Fatma dan Mahmud.
Ia mengasuh ketiga anak itu karena ibunya mengalami kesulitan ekonomi setelah ditinggal wafat suaminya yang asli orang Medan, Sumatera Utara. Karena merasa iba, ia mengasuh ketiga anak itu dari rezeki sebagai dosen dan penyiar radio di Mesir. Laila, istrinya, adalah anak hasil pernikahan ibu ketiga anak asuhnya tersebut dengan H Abdurrahman.
Setelah menikah, ia dan istrinya berangkat untuk bekerja dan bermukim di Jeddah, Arab Saudi. Di Jeddah, ia bekerja sebagai penyiar dan penerjemah siaran bahasa Indonesia di Radio Kerajaan Arab Saudi. Pada tahun 1976, ia dan istri sempat ke Indonesia walau sebentar dan kembali lagi ke Arab Saudi.
Selama di Arab Saudi, tidak banyak yang penting yang dikerjakannya selain sebagai penyiar dan penerjemah. Paling-paling hanya melaksanakan ibadah haji hampir setiap tahunnya, juga terutama membina rumah tangga. Tiga putrinya berturut-turut lahir: Amirah (1977), Du’a (1980), dan Manar (1984). Dikarenakan masalah teknis, Amirah dan Du’a dilahirkan di Mesir, walau hamilnya di Jeddah. Sedangkan Manar lahir di Jeddah.
Hingga pada suatu ketika, pada tahun 1988, terbetik keinginan pada dirinya untuk kembali ke Indonesia. Ia ingin mudik ke kampung halamannya, Betawi, karena ia merasa telah mencapai cita-citanya dan meraih kesuksesan di Timur Tengah.
”Kalau saya hanya melihat materi, maka nggak ada habisnya. Maka saya putuskan untuk berhenti saja jadi penyiar dan kembali ke Tanah Air. Tawakkal `alallāh!” ujarnya. (bersambung...)
[]
(Rakhmad Zailani Kiki)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar