Imam Abu Hanifah dan Tuduhan Kebaikan
Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya,
Fariruddin Attar mencatat sebuah kisah menarik tentang kemuliaan hati Imam
al-A’dham, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (699-767 M) rahimahu Allah.
Diceritakan:
أنه
كان يصلّي كلّ ليلة ثلاث مئة ركعة وكان في بعض الأيام يمرّ في شغله, قالت امرأة
لأخري: هذا الرجل يصلّي كلّ ليلة خمس مئة ركعة, سمع كلاهما ونوي أن يصلّي خمس مئة
ركعة ليصحّ ظنّ المرأة في حقّه, وكان يصلّي كذلك حتي اتفق له مرور علي صبيان
يلعبون, قال بعضهم لبعض: هذا الرجل يصلّي كلّ ليلة ألف ركعة, سمع وقال: أصلّي إن
شاء الله تعالي كلّ ليلة ألف ركعة, لئلا يكون ظن الصبي خطأ في حقّي, مضي علي ذلك
زمان ثمّ قال له بعض تلاميذه: يظنّ النّاس أنك لا تنام بالليل, قال: عهدت أن لا
أنام وترك النوم كلّا. قال التلميذ"
لِمَ
يا شيخ؟ قال: لئلا أكون من الذين قال الله تعالي في حقهم: (وَيُحِبُّوْنَ أَنْ يحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوْا)
Imam Abu Hanifah memiliki kebiasaan shalat
tiga ratus rakaat setiap malam. Suatu hari ada orang melintas ketika ia sedang
melaksanakan shalat. Seorang wanita berkata pada wanita lainnya: “Orang ini
(Imam Hanafi) shalat setiap malam lima ratus rakaat.”
Imam Abu Hanifah mendengar perkataan itu dan
berniat shalat lima ratus rakaat untuk membenarkan persangkaan wanita tersebut.
Setelah itu ia shalat lima ratus rakaat setiap malam sampai sekumpulan
anak-anak yang tengah bermain melintas dan berkata satu sama lainnya: “Orang
ini shalat setiap malam seribu rakaat.”
Imam Abu Hanifah mendengarnya dan berkata:
“Aku akan shalat, insya Allah, setiap malam seribu rakaat, agar persangkaan
anak-anak itu tidak salah.”
Imam Abu Hanifah melaksanakan shalat seribu
rakaat setiap malam cukup lama, kemudian sebagian dari murid-muridnya berkata
kepadanya: “Orang-orang meyangka bahwa guru tidak tidur di malam hari.”
Imam Abu Hanifah berkata: “Aku berjanji tidak
akan tidur.” Setelah itu, ia meninggalkan tidur malam sama sekali.
(Mendengar itu) murid-muridnya bertanya:
“Kenapa wahai guru?”
Imam Abu Hanifah menjawab: “Agar aku tidak
termasuk ke dalam orang-orang yang digambarkan Allah SWT (Q.S. Ali Imran [3]:
188), yaitu,“Orang-orang yang suka dipuji atas perbuatan yang belum mereka
kerjakan.” (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliyâ’, alih bahasa Arab
oleh Muhammad al-Ashîliy al-Wasthâni al-Syâfi’i (836 H), Damaskus: Darul
Maktabi, 2009 hlm 260-261)
****
Apa yang dilakukan Imam Abu Hanifah merupakan
tafsir terapan dari firman Allah di atas. Secara lengkap dikatakan (Q.S. Ali
Imran [3]: 188):
لَا
تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا
بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Jangan sekali-kali kamu menyangka
orang-orang yang gembira dengan apa yang mereka telah kerjakan dan orang-orang
yang senang dipuji atas perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu
menyangka bahwa mereka terlepas dari siska, bagi mereka siksa yang pedih.”
Di zaman sekarang ini, menemukan orang
seperti Imam Abu Hanifah bisa dibilang hampir mustahil. Ia tidak hanya takut
termasuk ke dalam golongan “orang yang suka dipuji atas perbuatan yang belum
dikerjakannya”, tapi juga takut persangkaan itu memberi dosa kepada orang-orang
yang menyangkanya terlalu shaleh. Untuk menghindari dua hal tersebut, ia selalu
melaksanakan apa yang dituduhkan orang-orang kepadanya. Tidak peduli hal itu
menyusahkan fisiknya atau tidak.
Sisi lainnya, Imam Abu Hanifah takut terjebak
pada perasaan riya. Pujian adalah pintu masuk paling lembut di hati
manusia, menjadi pupuk untuk berkembang biaknya sifat-sifat tidak terpuji itu.
Orang-orang yang shalat pun akan celaka ketika shalatnya ditujukan untuk pamer
(riya)—wailul lil-mushallîn, alladzîna hum yura’un. Imam Abu
Hanifah berusaha agar terhindar dari pesona jebakan “pujian” itu.
Dari pandangan tersebut, keadaan pamer (riya)
manusia bisa diawali dari beberapa hal. Pertama, diawali oleh hasrat ingin
dipuji. Orang-orang semacam ini biasanya akan memperbanyak ibadah di saat
ramai, dan menyedikitkan ibadah di saat sunyi. Tujuan ibadahnya untuk
mendapatkan pujian dari manusia.
Kedua, diawali dari niat ibadah yang tulus,
kemudian terjebak oleh pujian orang-orang yang melihat kekhusyuan ibadahnya.
Perlahan-lahan perasaan bangga dipuji muncul, meskipun pujian itu tidak sesuai
dengan ibadah yang dilakukannya, seperti pujian orang-orang kepada Imam Abu
Hanifah. Untuk menghindari keterjebakan tersebut, Imam Abu Hanifah berusaha
membenarkan sangkaan baik orang-orang kepadanya dengan melaksanakan semua sangkaan
itu.
Ketiga, diawali karena takut dipuji oleh
manusia. Riya semacam ini termasuk riya dengan tingkatan tinggi,
dalam arti baik. Tetapi, masih menyisakan ruang masuknya sifat-sifat buruk di
hati manusia. Sebab, ibadahnya bukan semata-mata karena Allah, tapi karena
takut dipuji manusia. Seseorang yang hatinya telah tenang, menjalankan semua
ibadah hanya karena Allah, bukan karena takut dipuji atau dibenci oleh manusia.
Namun, kita semua tahu, hati manusia itu
berubah-ubah. Iman sendiri dalam hadits Rasul, “yazid wa yanqush—bertambah dan
berkurang.” Semua orang pasti mengalami perasaan hati yang bergejolak. Apa yang
dilakukan Imam Abu Hanifah dalam kisah di atas, disebabkan pengetahuannya
tentang hati yang berubah-ubah. Ada banyak jebakan dalam kehidupan. Tindakannya
dalam menjalankan semua tuduhan kebaikan kepadanya, adalah usahanya untuk
menjaga hatinya dari jebakan kesenangan dipuji.
Dengan kata lain, kesenangan untuk dipuji (riya)
seharusnya dijadikan sebagai penjaga yang mengawal kesadaran kita.Karena tidak
mungkin riya itu hilang dari hati manusia.Allah telah menginstal di hati
kita berbagai sifat buruk. Tetapi, sifat buruk itu sebenarnya sifat baik jika
digunakan sebagai sensor kesadaran kita. Contohnya, ketika kita sedang
membenci, kita sadar akan kebencian kita, dan berusaha melembutkannya. Ketika
kita sedang sombong, kita sadar akan kesombongan kita, dan berusaha
menjinakkannya. Tanpa sifat-sifat buruk itu, perjuangan kita sebagai manusia
tidak akan berarti.
Manusia berbeda dengan malaikat. Malaikat
adalah makluk statis yang tidak memiliki sifat-sifat buruk. Karenanya wajar
jika malaikat tidak pernah berbuat jahat.Mereka ditakdirkan oleh Allah sebagai
makhluk yang tidak memiliki sifat-sifat buruk. Sedangkan manusia, di dalamnya
bercampur sifat baik dan sifat buruk, yang membuat manusia memiliki kemampuan
menjadi lebih mulia dari malaikat dan lebih hina dari binatang.
Maka dari itu, kita harus berhati-hati dalam
mengendalikan hawa nafsu. Kenali teriakan nurani yang mengatakan ini atau itu
salah. Jangan abaikan suara-suara itu. Semakin sering diabaikan, suara-suara
itu tidak akan terdengar lagi. Seperti orang yang pertama kali melakukan
kejahatan, dia gemetar, takut dan resah. Semakin sering dia melakukannya,
perasaan itu semakin lama memudar, dan kemudian tidak ada sama sekali.
Begitupun dalam hal ibadah, kita harus
berhati-hati dalam menjaga kesadaran kita, agar tidak mudah dikuasai oleh
kesenangan dipuji. Inilah alasan kenapa ada istilah husnul khatimah (akhir
yang baik) dan su’ul khatimah(akhir yang jelek)dalam kematian. Artinya, hati
itu sangat rentan dikuasai oleh sifat buruk yang tidak mengarah pada kesadaran
kita. Dengan adanya istilah tersebut dalam kematian, kita menjadi waspada agar
terus menjaga hati kita sampai Allah memanggil kita.Sebab, kita tidak tahu akan
mati dalam keadaan apa.
Imam Abu Hanifah, dalam kisah di atas,
memberikan contoh baik. Semoga kita dapat mengambil hikmah darinya. Sebagai
penutup, perkataan Imam Yahya bin Muadz (830-971 M)perlu kita renungkan:
ذنب
أفتقر به إليه أحب إلي من طاعة أفتخر بها عليه
“Dosa yang membuatku butuh ampunanNya lebih
kusenangi daripada ketaatan yang membuatku menyombongkan diri dengannya.”(Ibnu
Jauzi, Shifat al-Shafwah, Kairo: Darul Hadits, 2000, juz 2, 292). []
Muhammad Afiq Zahara, pernah Nyantri di
Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar