Cara Mbah Kiai Umar
Solo Menambatkan Hatinya di Masjid
Dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda bahwa kelak
pada Hari Kiamat ada tujuh golongan orang yang akan mendapatkan perlindungan
dari Allah SWT. Pada hari itu tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya.
Di antara ketujuh golongan itu adalah seseorang yang hatinya senantiasa
bergantung atau tertambat di masjid.
Mbah KH Umar Abdul
Manan atau biasa disapa Kiai Umar Solo adalah sosok yang sangat mungkin
termasuk salah seorang yang dimaksudkan Rasulullah SAW dalam hadits tersebut
karena beliau secara istiqamah banyak menghabiskan waktunya di masjid. Cara
Mbah Umar menambatkan hatinya di rumah Allah ini adalah dengan
kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. Berjamaah Shalat
Lima Wakktu
Mbah Umar secara
istiqamah melaksanakan kewajiban shalat lima waktu di masjid dengan berjamaah.
Mbah Umar tidak selalu menjadi imam. Ada saatnya beliau menjadi makmum. Siang
hari yang meliputi Dzuhur dan Ashar, Mbah Umar bertindak selaku imam di masjid
kecuali shalat Jumat. Secara tetap Mbah Kiai Daris Ahmad Musthofa menjadi imam
shalat Jumat, Maghrib, Isyak, dan Subuh di Masjid Al-Muayyad. Dalam hal khatib
atau imam shalat Jumat mendadak berhalangan, Mbah umar menggantikan.
Ketika suatu saat
Mbah Umar tidak bisa berjamaah di masjid karena masih berada di jalan, Mbah
Umar tetap berusaha shalat berjamaah di masjid begitu sampai di Mangkuyudan
dengan cara mencari santri yang belum shalat. Jika ternyata tidak menemukan
santri yang belum shalat, Mbah Umar menawarkan kepada santri yang sudah shalat
untuk mau melakukan i’adah (shalat ulang) dengan berjamaah bersama
beliau.
2. Mengajarkan
Al-Qur’an
Waktu kegiatan Mbah
Umar mengajar ngaji Al-Qur’an di masjid adalah ba’da Maghrib, ba’da Isyak, dan
ba’da Shubuh bertempat di serambi selatan. Para santri yang mengaji adalah
santri putra yang terdiri dari tiga kelompok, yakni: (1) kelompok juz ‘amma,
(2) kelompok bin-nadzor, dan (3) kelompok bil-ghaib. Meski hanya ada tiga
kelompok, namun terdapat lima lajur orang yang mengaji di sisi-sisi meja persegi
panjang.
Pagi hari mulai
sekitar jam 08.00 Mbah Umar mengajar di ruang dalam masjid khusus untuk
santri-santri bil-ghaib putri. Bisa jadi saat mengajar pada jam ini, Mbah Umar
masih agak sayah karena kegiatan mengajar ngaji ba’da shubuh terkadang baru
selesai pada jam 07.00 yang kemudian langsung dilanjutkan dengan shalat Dhuha 8
rekaat di dalam masjid. Selesai mengajar santri-santri bil-ghaib putri
kira-kira jam 09.00, Mbah Umar kemudian mengajar santri-santri bil-ghaib putra
hingga kira-kira jam 10.30.
3. Mencocokkan Jam
Istiwak dengan Bencet di Masjid
Sehabis mengajar
Al-Quran di masjid di pagi hari hingga menjelang siang, Mbah Umar tidak selalu
langsung kundur ndalem (pulang ke rumah). Hal ini sangat bergantung apakah
waktu menjelang Dzuhur sudah dekat atau belum. Apabila ternyata sudah cukup
dekat, Mbah Umar memilih beristirahat di sebuah ruang kecil di sebelah kiri
mighrab.
Hal tersebut beliau
maksudkan untuk menghemat waktu dan memudahkan beliau dalam mengamati bencet
yang berada di dalam masjid. Bencet adalah sarana atau alat tradisional yang
digunakan untuk menunjukkan waktu istiwa’ dengan mengandalkan pergerakan semu
sinar matahari. Mbah Umar menaruh perhatian besar agar jam bandul yang berada
di dalam masjid yang dijadikan pedoman waktu terutama untuk shalat selalu
sesuai dengan waktu istiwa’ sebagaimana ditunjukjkan bencet dengan cara
mencocokkannya hampir setiap hari.
4. Menerapkan Jam
Masjid
Jam masjid atau yang
lebih dikenal dengan jam istiwa’ adalah penunjuk waktu yang umumnya digunakan
di masjid untuk pedoman waktu shalat. Jam ini didasarkan pada waktu istiwa’,
yakni saat posisi matahati berada di titik tertinggi di langit atau yang dalam
astronomi (ilmu falaq) disebut zenith. Di saat itu ditetapkan sebagai jam 12.00
Istiwak. Beberapa menit setelah itu tibalah saat zawal dan masuklah waktu
Shalat Dzuhur.
Mbah Umar menetapkan
seluruh kegiatan di lingkungan Pondok Pesantren Al-Muayyad, khususnya shalat
lima waktu, mengaji Al-Qur’an dan kegiatan belajar mengajar di madrasah atau
sekolah, menggunakan standar jam masjid dan bukan jam WIB. Hal ini menunjukkan orientasi
Mbah Umar terhadap masjid sangat besar.
Sebagai penutup dapat
disimpulkan bahwa sulit memisahkan Mbah Umar dari masjid karena tempat yang
paling dicintai Allah ini merupakan pusat kegiatan dan orientasi perhatian
beliau sepanjang hari. Hingga wafat dan dimakamkan Mbah Umar tetap berada di
dekat masjid karena makam beliau berada persis di belakang masjid. Secara fisik
Mbah Umar sewaktu-waktu bisa berada di luar masjid, namun hati beliau
senantiasa tertambat di dalamnya—tempat beliau secara istiqamah mengajarkan
Al-Qur’an, bersujud lima waktu sehari dengan berjamaah, dan menyambut tibanya
waktu Dzhur di tempat suci ini. Mbah Kiai Umar teladan sejati. []
Muhammad Ishom, dosen
Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar