Kekuatan
Tawaf
Oleh:
Nasaruddin Umar
SEBAGAIMANA
disinggung dalam tulisan terdahulu bahwa tawaf adalah ibadah formal tertua bagi
para makhluk. Tawaf juga menirukan apa yang pernah dilakukan nenek moyang kita
Adam dan Hawa. Ini semua membuktikan manusia sebagai makhluk mikrokosmos, harus
tunduk dan pasrah (Islam) dan konsisten (istikamah) kepada ketentuan
Khalik-nya.
Muslim
sejati, selain menyatakan kepasrahan total kepada Tuhan, ia juga harus
memancarkan nilai-nilai pencerahan dan vibrasi kasih dalam kehidupan bermasyarakat.
Bukannya menebarkan fitnah dan keresahan yang pada gilirannya akan menyulut
konflik dan memperlemah sendi-sendi keutuhan dan kesatuan. Sehebat apa pun
seseorang pasti tidak pernah bebas dari kekeliruan dan kesalahan. Boleh jadi 24
jam tidak cukup bagi kita untuk membicarakan kelemahan seseorang, tetapi 24 jam
juga tidak cukup untuk membicarakan kelebihan orang yang sama. Ini bukti bahwa
manusia tidak ada yang luput dari kekeliruan.
Harapan
dan tuntutan orang-orang yang selalu mengidealisasikan figur manusia tanpa
kelemahan dan kekurangan adalah harapan yang tidak realistis, bahkan absurd.
Namun, jargon ‘kelemahan manusia’ tidak bisa dijadikan alasan untuk
melegitimasi apalagi melanggengkan kesalahan.
Dalam
siklus kehidupan sehari-hari, manusia senantiasa menjalankan fungsi-fungsi
tawaf. Orang-orang yang bertawaf di atas rel yang benar, mereka itulah disebut
orang-orang yang berjalan di atas jalan yang lurus, jalan yang penuh
kenikmatan, “Ihdina al-shirath al-mustaqim, shirath al-ladzina an’amta ‘alaihim.”
(QS Al-Fatihah/1:7).
Kaum
musyrikin yang melakukan loyalitas dan penghambaan ganda kepada lebih dari satu
objek yang seharusnya disembah, sesungguhnya mereka telah menempuh rel
menyimpang dalam kehidupan. Mereka inilah yang digambarkan Tuhan dalam Surah
al-Hajj, “Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia
seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan
angin ke tempat yang jauh.” (QS al-Hajj/22: 31). Semakin kuat tinggi perjalanan
spiritual seorang hamba, semakin kuat pula upaya iblis untuk menghadangnya.
Tidak ada yang bisa menyelamatkan hamba selain Sang Mahakuasa.
Orang-orang
yang menyimpang dari sistem global Tuhan dan menyalahi tata krama kemanusiaan,
mereka itu termasuk orang-orang yang menyimpang dari rel. Nurani (cahaya) dalam
hati mereka berangsur-angsur padam digantikan dengan hati zhulmani, yang
gelap-gulita. Cermin batin mereka buram sehingga tidak mampu lagi menangkap
nur, cahaya Ilahi.
Mereka
teralienasi gemerlapnya kehidupan dunia. Hati mereka tidak lagi tergetar
menyaksikan penderitaan kaum duafa yang semakin dha`if, karena paham
individualisme sedemikian merasuk ke dalam pikiran mereka. Orang-orang seperti
ini sulit merasakan ketenangan dan ketenteraman hakiki lantaran jiwanya dipadati
nafsu penaklukan (power struggle), dan pada akhirnya mereka merasa kelelahan
karena tersedot oleh energinya sendiri.
Dalam
bahasa Alquran dikatakan: Barang siapa yang Allah kehendaki akan diberikan
petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (berpasrah diri) Islam. Dan
barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah
Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (QS al-An`am/6:125).
Kekuatan
tawaf yang dilakukan pada setiap kita menyelenggarakan sejumlah ibadah,
memiliki makna dan fungsi ganda. Tawaf berfungsi sebagai rukun ibadah haji dan
umrah, tetapi yang tak kalah penting, bagaimana menghayati makna simbolik tawaf
sebagai bagian dari penyucian diri dari dosa dan kekhilafan masa lampau. Semoga
orang-orang yang menjalani tawaf bisa digugurkan seluruh dosa masa lampau yang
membebani dirinya untuk mendaki langit. Allahu a’lam. []
MEDIA
INDONESIA, 15 Agustus 2018
Nasaruddin
Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar