Selasa, 07 Agustus 2018

Zuhairi: Iran Menantang Amerika Serikat


Iran Menantang Amerika Serikat
Oleh: Zuhairi Misrawi

Era Donald Trump merupakan titik-nadir hubungan Amerika Serikat dengan Iran. Pasalnya, Trump akan mengambil langkah yang tidak lazim terhadap Iran dengan mengakhiri kesepakatan nuklir pada era Obama sekaligus mencabut embargo terhadap Iran. Padahal keputusan Obama tersebut merupakan tonggak sejarah baru hubungan AS-Iran sejak revolusi 1979.

Maknanya, Trump ingin menerapkan kembali embargo dan mengancam akan memberikan sanksi seberat-beratnya terhadap Iran. Trump akan mencabut kesepakatan nuklir dengan Iran, termasuk menghentikan pasokan minyak Iran ke sejumlah negara. Trump sudah meminta kepada Arab Saudi untuk menaikkan produksi minyaknya. Hubungan antara AS dan Iran terus memburuk akibat retorika monolog yang diperankan AS, dan balasan yang tidak kalah menantang dari Iran.

Hasan Rouhani, Presiden Iran menanggapi kebijakan dan ancaman AS tidak kalah kerasnya. Ia menyatakan, perang dengan Iran merupakan induk dari segala perang. Sebaliknya, perdamaian dengan Iran adalah induk dari segala perdamaian. Iran selalu siap dengan berbagai ancaman dari AS.
Secara implisit, Rouhani hendak menyatakan, kesepakatan nuklir dengan AS pada masa Obama merupakan tonggak dari perdamaian dunia. AS dan Iran pada masa itu telah menorehkan sejarah emas untuk menormalisasi hubungan kedua negara yang memanas dalam beberapa dekade tahun terakhir. Obama telah berhasil memposisikan AS sebagai negara yang beradab dalam hubungan luar negeri, termasuk dengan negara-negara yang selama ini dianggap sebagai musuh dan ancaman.

Saat Obama terpilih pertama kali sebagai Presiden AS, dalam pidato pelantikan langsung secara eksplisit berjanji akan membentangkan tangan bagi Iran. Normalisasi hubungan dengan Iran akan dilakukan selama kepemimpinannya sejauh dibangun di atas prinsip diplomasi: saling menguntungkan (mutual interest) dan saling menghormati (mutual respect).

Pada 2015, Obama berhasil memenuhi janjinya mewujudkan kesepakatan bersejarah dengan Iran sekaligus mencabut embargo terhadap negeri itu. Tidak hanya itu, kesepakatan tersebut juga melibatkan 5 negara lainnya, yakni Rusia, China, Jerman, Prancis, Inggris.

Namun, sayang seribu sayang Trump akan membawa AS pada zaman kegelapan dengan rencananya mengakhiri kesepakatan tersebut. Akibatnya, kedua negara terlibat dalam perang urat syaraf yang menjadikan dinamika politik di kawasan Timur-Tengah semakin memanas. Timur-Tengah akan terus membara dalam beberapa tahun ke depan, karena pemantiknya adalah AS yang memosisikan diri memihak terhadap negara-negara yang selama ini memusuhi Iran, khususnya Arab Saudi dan Israel.

Sikap Trump yang keras tersebut mempunyai makna yang lebih luas, bahwa Timur-Tengah akan mengalami instabilitas politik di masa mendatang. Trump hakikatnya hanya menjadi "juru bicara" Israel dan Arab Saudi. Kedua negara yang selama ini menjadi "kaki-tangan" AS di Timur-Tengah akan bekerja sama untuk mengisolasi Iran dari mitra strategisnya di Timur-Tengah.

Namun, langkah yang diambil Trump tidak semudah membalikkan telapak tangan. Trump tidak mudah mendikte Iran. Selain karena Trump sendiri tidak mempunyai dukungan yang kuat di dalam negeri AS, tetapi Iran zaman now berbeda dengan Iran zaman old. Karenanya, Presiden Rouhani membalas rencana kebijakan Trump dengan tantangan yang tidak kalah kerasnya. Intinya, Iran siap meladeni tantangan AS. Iran menantang AS untuk mengambil langkah apapun, dan Iran siap untuk menghadapi AS.

Langkah Iran menantang AS bukan isapan jempol, karena didasarkan pada tiga hal. Pertama, kebijakan AS tidak didukung oleh negara-negara yang selama ini ikut menandatangani kesepakatan nuklir. Rusia, China, Inggris, Prancis, dan Jerman tidak mau tunduk pada Trump. Mereka memilih untuk melanjutkan kesepakatan nuklir tersebut. Karena itu, sikap yang diambil Trump tidak mempunyai legitimasi politik yang kuat, karena negara-negara besar lainnya memandang kesepakatan nuklir masih relevan untuk saat ini dan masa yang akan datang.

Negara-negara tersebut memilih dan mengambil sikap untuk tidak mengikuti langkah AS dan akan melanjutkan kesepakatan nuklir dengan Iran. Artinya, mereka akan terus menjalin kerja sama ekonomi dan politik dengan Iran. Mereka siap membeli gas dan minyak Iran. Skenario AS untuk mengisolasi Iran sepertinya akan gagal, karena negara-negara lain tidak mau didikte oleh Donald Trump.

Kedua, Presiden Rouhani mendapat dukungan penuh dari Imam Ali Khomenei. Artinya, pernyataan Presiden Rouhani akan didukung oleh sebagian warga Iran. Sentimen anti-AS di Iran sangat tinggi sejak Revolusi 1979 hingga sekarang ini. Apalagi kubu konservatif yang di dalam manifestonya memang tidak ingin berdamai dengan AS. Hampir bisa dipastikan kubu reformis dan kubu konservatif di Iran akan bersatu untuk menghadapi ancaman dan sanksi dari AS.

Ketiga, Iran saat ini bukanlah Iran di masa lalu yang dengan mudah bisa digertak oleh AS. Iran mempunyai mitra strategis, seperti Rusia, Turki, dan Qatar. Iran tidak sendirian. Di samping Iran juga mempunyai persenjataan yang canggih, karena belanja persenjataan yang lumayan besar dalam APBN mereka. Apalagi Iran semakin memperluas pengaruhnya di Irak, Yaman, Suriah, dan Libanon.

Israel dan Arab Saudi yang selama ini dianggap sebagai kaki-tangan AS di Timur-Tengah tidak akan mudah bermanuver, karena pengaruh mereka lama-kelamaan semakin menyusut. Apalagi citra Israel yang sangat buruk di Timur-Tengah, sehingga semakin kehilangan legitimasi politik. Arab Saudi tidak akan mudah mengendalikan negara-negara di kawasan, karena persoalan di internal Arab Saudi tidak kalah rumitnya daripada mengendalikan kawasan. Qatar dan Turki menjadi penyeimbang kekuatan di kawasan.

Maka dari itu, gertak sambal AS terhadap Iran dibalas dengan tantangan yang tidak kalah kerasnya. AS tidak akan mudah menerjemahkan ancamannya terhadap Iran pada tataran praksis. Bahkan yang terjadi bisa sebaliknya, justru Iran yang pada akhirnya mempermalukan AS. Karena gertak sambal Trump tidak mempunyai makna apa-apa, hanya sekadar omong besar dan omong kosong. []

DETIK, 02 Agustus 2018
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar