Diskusi Orang-orang Zuhud
Dalam kitab Qishash al-Shahabah wa
al-Shalihin, Syeikh Mutawalli Sya’rawi menceritakan obrolan orang-orang zuhud
dari daerah yang berbeda. Diceritakan:
يسأل
أحد هؤلاء المتمكنين صاحبه: كيف حال الزهاد في بلادكم؟ فقال: إن أصابنا خير شكرنا,
وإن أصابنا شرّ صبرنا. فضحك الشيخ وقال: وما في ذلك؟! إنه حال الكلاب في بلخ, أما
عندنا: فإن أصابنا خير آثرنا, وإن أصابنا شرّ شكرنا.
Salah satu guru sufi bertanya pada sahabatnya
(murid): “Bagaimana keadaan orang-orang zuhud di negerimu?”
Dia menjawab: “Ketika kebaikan mengenai kami,
kami bersyukur. Ketika keburukan menimpa kami, kami bersabar.”
Guru sufi itu tertawa dan berkata: “Apa itu?!
Itu perilaku anjing-anjing di Balkh. Zuhud bagi kami adalah, ketika kebaikan
mengenai kami, kami memuliakannya (dengan meninggalkan jejak manfaat). Ketika
keburukan menimpa kami, kami bersyukur.” (Syeikh Mutawalli Sya’rawi, Qishash
al-Shahabah wa al-Shalikhin, Kairo: Maktabah Taufiqiyyah, tt, hlm 332)
Sebelum mendalami hikmahnya, kita harus memahami
terlebih dahulu bahwa para sufi sangat kaya akan canda, sering menertawakan
diri sendiri,dan menertawakan keadaan di sekitarnya. Terkadang terlihat seperti
apatis, padahal tidak. Itu adalah cara mereka memandang realitas. Misalnya
kisah seorang sufi yang menjawab, “lâ—tidak,” ketika ditanya oleh temannya,
“alâ tasytâq ila Allah?—apa kau tidak merindukan Allah?” Temannya kaget
mendengar jawaban tersebut, dia bertanya lagi, “kaifa dzalik?—kenapa begitu?”
Sufi itu menjawab:
إنما
تشتاق لغائب, ومتي غاب عني حتي أشتاق إليه؟
“Kerinduan itu hanya untuk ketidak-hadiran,
kapan Tuhan tidak hadir untukku sehingga aku harus merindukanNya?”(Syeikh
Mutawalli Sya’rawi, hlm 332).
Begitulah cara berpikir sufi, masuk akal dan
benar, tapi sering luput dari pikiran manusia pada umumnya. Jawaban sufi di
atas berasal dari keimanannya yang kokoh. Tuhan selalu hadir dengannya,
memberinya udara untuk bernafas, ladang untuk menghasilkan makan, hujan untuk
melestarikan kehidupan, dan akal untuk memahaminya. Bagi para sufi, Tuhan selalu
hadir, kita saja yang tidak mampu merasakan kehadiranNya atau lalai akan
keberadaanNya.
Mereka sering memberi kritik dengan cara
berbeda-beda, sesuai kadar manusianya, bi qadri ‘uqulihim. Dengan tertawa dan
menyamakan perilaku zuhud dengan anjing di Kota Balkh, guru sufi itu sedang
memberikan pelajaran pada muridnya.
Bahwa zuhud, ketika mendapatkan nikmat harus
teraplikasikan secara nyata, yaitu memuliakannya dengan meninggalkan jejak
manfaat pada dirinya dan lingkungan sekitarnya. Ketika dalam kesusahan, di
situlah seorang zahid (orang zuhud) harus bersyukur. Sedangkan sabar dijadikan
sebagai payung istiqamah agar mampu meninggalkan jejak dan bersyukur
terus-menerus. Tanpa kesabaran, daya tahan istiqamah manusia akan sangat
rentan.
Canda yang serius juga sering digunakan para
sufi untuk menggambarkan realitas. Contohnya kisah seorang sufi yang menaiki
perahu. Tiba-tiba badai besar muncul, perahu kecil itu terombang-ambing sangat
keras. Tukang dayung perahu dengan gaya meyakinkan berkata: “Tenang saja tuan,
Allah Maha Besar.” Sufi itu, dengan air muka serius menjawab: “Aku tahu Allah
itu Maha Besar. Tapi perahu ini maha kecil.” Itulah beberapa keunikan cara
berpikir yang digunakan para sufi, meski belum mewakili semua kekayaan
khazanahnya.
Dalam Islam, zuhud memiliki posisi penting,
terutama dalam tradisi tasawuf. Para ulama mendefinisikan zuhud dengan cara
berbeda-beda. Hal ini wajar karena zuhud adalah pengalaman jiwa, sehingga
menghasilkan banyak persepsi, sesuai dengan pengalamannya masing-masing.Imam
Ibnu ‘Ajibah memandang zuhud sebagai, “khuluwwu al-qalb min al-ta’alluq bi
ghair al-rabb—terbebasnya hati dari ketergantungan selain kepada Allah.” (Ibnu
‘Ajibah, Mi’raj al-Tasyawwuf ‘ala Haqa’il al-Tashawwuf, Maghrib: Darul Baidha,
tt, hlm 30).
Imam Junaid al-Baghdadi memahaminya sebagai,
“khuluwwu al-yad min al-milki wa al-qalb min al-tatabbu’—lepasnya tangan dari
keinginan memiliki dan hati dari keinginan memperoleh sesuatu.” (Abdul Karim
Hawazin al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyyah, Kairo: Darul Sya’b, tt, hlm 221).
Yang lebih menarik lagi adalah pandangan Imam
Yahya bin Mu’adz yang mempersembahkan zuhud tidak dalam bentuk ta’rif
(definisi), tapi bagaimana cara seseorang bisa mencapai kezuhudan. Ia
mengatakan:
لَا
يَبْلُغُ أَحَدٌ حَقِيْقَةَ الزُّهْدِ حَتَّي يَكُوْنَ فِيْه ثَلَاثُ خِصَالٍ:
عَمَلٌ بِلَا عَلَاقَةٍ, وَقَوْلٌ بِلَا طَمْعٍ, وَعِزٌّ بِلَا رِبَاسَةٍ
“Seseorang tidak akan sampai pada hakikat
zuhud hingga orang tersebut berhasil mendapatkan tiga hal: 1). Beramal tanpa
pamrih, 2). Berbicara tanpa rakus, dan 3). Kekuatan tanpa melemahkan.”(Abdul
Karim Hawazin al-Qusyairi, hlm 221).
Tiga hal tersebut adalah ciri yang harus
dicapai manusia agar dapat menghadirkan zuhud di hatinya. Persoalan hati itu
benar-benar bersih atau tidak dari pamrih, rakus dan keinginan menindas yang
lemah merupakah hal yang tidak bisa kita hindari. Karena itu,Allah menghendaki
hambaNya untuk tetap istiqamah dalam berbagai hal. Tujuannya untuk menahan hawa
nafsu kita tidak lepas kendali. Pantas saja jika ulama kita mengatakan,
“istiqamah lebih baik dari seribu karamah.”
Dari uraian dan kisah di atas, kita bisa
mengambil beberapa kesimpulan. Pertama, zuhud tidak melulu berarti meninggalkan
dunia secara menyeluruh. Kedua, zuhud sebaiknya berdampak langsung pada diri dan
lingkungan sekitar (meninggalkan jejak).
Ketiga, zuhud memiliki sisi sosial yang
tinggi, melahirkan kedermawanan dan kerendahan hati. Keempat, zuhud adalah
lepas dari keterikatan dunia. Jika kaya, dia tidak akan kecewa kehilangan semua
hartanya. Jika miskin, dia tidak akan kecewa tidak memiliki harta.Kelima,
mensyukuri kehidupan. Jikapun terkena musibah, kita masih bisa bersyukur karena
diberi kehidupan untuk melewati dan menyelesaikannya.
Semoga kita memiliki keinginan menjadi
manusia yang lebih baik dan meningkatkan ibadah kita setiap harinya. Wallahu
a’lam. []
Muhammad Afiq Zahara, pernah Nyantri di
Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar