Agama Sebagai Realitas Historis (1)
Oleh: Azyumardi Azra
Agama—khususnya yang bersumber dari wahyu (revealed religions atau
samawi, agama langit) dalam kenyataannya lebih dari sebagai doktrin yang ada
dalam kitab suci. Tetapi, agama wahyu hidup tidak hanya dalam kitab suci; dia
juga menjadi realitas historis, sosiologis, antropologis, politis, dan sebagainya
ketika dia dianut dan menyebar di lingkungan masyarakat manusia.
Oleh karena itu, kitab suci agama wahyu sekalipun eksis tidak
dalam lingkungan yang vakum dari realitas historis, sosial, budaya, politik,
ekonomi, dan seterusnya. Pertemuan dan interaksi antara wahyu dan realitas ini
mengakibatkan adanya beberapa kitab suci yang dipercayai sebagai wahyu
mengalami perubahan, sehingga memunculkan berbagai macam versi kitab suci
seperti bisa terlihat dalam pengalaman Kristianitas.
Dalam pada itu, Alquran yang diyakini kaum Muslimin sebagai wahyu
dari Allah SWT yang disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Muhammad SAW
tidak mengalami perubahan. Kaum Muslim meyakini keseluruhan ayat Alquran
sebagai salah satu mukjizat Nabi Muhammad, yang tidak berubah karena dilindungi
Allah SWT sampai akhir zaman.
Alquran yang dikodifikasi dalam Mushaf Utsmani menjadi versi
tunggal satu-satunya sampai sekarang; tidak ada Alquran versi Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Sunnah), juga tidak ada mushaf Alquran versi Syi’ah atau aliran lain.
Juga tidak ada perubahan dalam ayat-ayatnya karena tidak boleh mengedit
Alquran.
Kitab Suci Alquran mengandung banyak aspek substansi sejak dari
soal akidah, ibadah, muamalah, alam, dan ilmu pengetahuan sampai kisah-kisah
dan sejarah lain. Banyak substansi ini bersifat garis besar (mujmal); sebagian lagi
sudah jelas (mubayyan).
Semua substansi ini ada ayat-ayat yang mengandung ketentuan
eksplisit (hukm/ahkam),
tapi juga ada yang berisikan informasi untuk diambil pelajaran dan hikmahnya;
dalam istilah para mufassir,
ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas
ketentuan hukumnya) dan ghayr
muhkamat (tidak jelas ketetapan hukumnya) atau qat’i dilalah dan zhanni dilalah.
Lebih jauh, meski Alquran mengandung banyak ayat tentang
akidah—misalnya tentang tauhid—dia bukanlah kitab kalam (teologi), atau kitab
tauhid yang perinci seperti dikenal sekarang. Misalnya lagi, meski Alquran
mengandung banyak ayat terkait ibadah dan muamalah, dia bukan kitab fiqh. Meski mengandung
banyak ayat terkait sejarah, Alquran bukan buku sejarah sesuai prinsip dan
metodologi ilmu sejarah sejak zaman Tarikh al-Tabari sampai sekarang.
Dengan sifat mujmal-nya,
ayat-ayat dalam bidang tertentu, seperti kalam, ibadah, muamalah, dan
seterusnya dengan tetap berpegang pada prinsip dasar ajarannya, juga dapat
ditafsirkan terus-menerus untuk menjawab tantangan dunia yang terus berubah. Di
sinilah terletak universalitas Alquran, yang berlaku untuk sepanjang zaman dan
tempat.
Namun, ajaran-ajaran universal Alquran perlu perincian dan elaborasi
yang bersifat partikular. Hal ini terkait dengan akidah, ibadah, dan muamalah
yang diimani dan dilaksanakan penganut Islam. Perincian dan elaborasi itu
bersifat teknis, yang dalam kajian dan ilmu Islam disebut ‘fiqh’ yang juga
berarti ‘ketentuan hukum-hukum syariah praktis yang digali dari dalil-dalilnya
secara perinci’.
Dalam bahasa birokrasi pemerintahan dan swasta sekarang, fiqh dapat disebut semacam
‘protap’ (prosedur tetap) atau SOP (standard
operating procedure) atau ‘petunjuk pelaksanaan’ (juklak) dan
petunjuk teknis (juknis). Bila ayat Alquran (atau syariah) sebagai dalil dasar fiqh bersifat tetap atau
tidak berubah, fiqh
dapat berkembang guna menjawab masalah baru yang memerlukan juklak dan juknis.
Dengan demikian, ‘syariah’ (ayat-ayat Alquran) tidak berubah,
sebaliknya fiqh
berkembang sesuai kebutuhan. Salah satu contoh paling jelas sekarang adalah
mengenai ekonomi Islam atau perbankan Islam. Ayat-ayat Alquran mengenai
ekonomi, bisnis, dan perdagangan hanya berbicara mujmal; berbagai ketentuan perinci tentang
perbankan Islam atau takaful adalah fiqh
sebagai hasil ijtihad ulama.
Pada tahap dan proses ini, Islam sebagaimana termaktub dalam
Alquran bersentuhan dengan realitas historis—dalam contoh di atas terkait
ekonomi, bisnis, atau perdagangan yang menghasilkan fiqh perbankan Islam atau takaful. Realitas
historis, sosiologis, dan ekonomi menjadi pertimbangan penting untuk
menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat Alquran.
Namun, dalam merumuskan fiqh
sering terjadi perbedaan makna di kalangan ulama tentang kata atau istilah
tertentu dalam ayat Alquran. Perbedaan itu terjadi karena latar belakang ilmu
yang berbeda; kecenderungan intelektual berbeda; ranah sosialisasi berbeda;
lingkungan sosial-kultural yang berbeda; bahkan juga realitas politik berbeda.
Perbedaan-perbedaan ini menghasilkan mazhab fiqh
yang berbeda. Dalam prinsip-prinsip dasar mereka sepakat, tetapi dalam
perincian (furu’)
masing-masing mazhab fiqh
itu mengandung perbedaan (khilafiyah)
tertentu.
Di sini Islam itu satu hanya dalam ayat-ayat Alquran sebelum
ditafsirkan para ulama, misalnya dengan menggunakan ayat-ayat lain yang
relevan. Atau menggunakan hadis, yang juga berbeda-beda tingkatan untuk bisa
digunakan sebagai dalil hukum. Maka secara historis, adanya berbagai mazhab dan
aliran dalam fiqh,
kalam, tasawuf, dan bahkan ekonomi merupakan keniscayaan. []
REPUBLIKA, 09 Agustus 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar