Senin, 20 Agustus 2018

Azyumardi: Agama Sebagai Realitas Historis (1)


Agama Sebagai Realitas Historis (1)
Oleh: Azyumardi Azra

Agama—khususnya yang bersumber dari wahyu (revealed religions atau samawi, agama langit) dalam kenyataannya lebih dari sebagai doktrin yang ada dalam kitab suci. Tetapi, agama wahyu hidup tidak hanya dalam kitab suci; dia juga menjadi realitas historis, sosiologis, antropologis, politis, dan sebagainya ketika dia dianut dan menyebar di lingkungan masyarakat manusia.

Oleh karena itu, kitab suci agama wahyu sekalipun eksis tidak dalam lingkungan yang vakum dari realitas historis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan seterusnya. Pertemuan dan interaksi antara wahyu dan realitas ini mengakibatkan adanya beberapa kitab suci yang dipercayai sebagai wahyu mengalami perubahan, sehingga memunculkan berbagai macam versi kitab suci seperti bisa terlihat dalam pengalaman Kristianitas.

Dalam pada itu, Alquran yang diyakini kaum Muslimin sebagai wahyu dari Allah SWT yang disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Muhammad SAW tidak mengalami perubahan. Kaum Muslim meyakini keseluruhan ayat Alquran sebagai salah satu mukjizat Nabi Muhammad, yang tidak berubah karena dilindungi Allah SWT sampai akhir zaman.

Alquran yang dikodifikasi dalam Mushaf Utsmani menjadi versi tunggal satu-satunya sampai sekarang; tidak ada Alquran versi Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunnah), juga tidak ada mushaf Alquran versi Syi’ah atau aliran lain. Juga tidak ada perubahan dalam ayat-ayatnya karena tidak boleh mengedit Alquran.

Kitab Suci Alquran mengandung banyak aspek substansi sejak dari soal akidah, ibadah, muamalah, alam, dan ilmu pengetahuan sampai kisah-kisah dan sejarah lain. Banyak substansi ini bersifat garis besar (mujmal); sebagian lagi sudah jelas (mubayyan).

Semua substansi ini ada ayat-ayat yang mengandung ketentuan eksplisit (hukm/ahkam), tapi juga ada yang berisikan informasi untuk diambil pelajaran dan hikmahnya; dalam istilah para mufassir, ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas ketentuan hukumnya) dan ghayr muhkamat (tidak jelas ketetapan hukumnya) atau qat’i dilalah dan zhanni dilalah.

Lebih jauh, meski Alquran mengandung banyak ayat tentang akidah—misalnya tentang tauhid—dia bukanlah kitab kalam (teologi), atau kitab tauhid yang perinci seperti dikenal sekarang. Misalnya lagi, meski Alquran mengandung banyak ayat terkait ibadah dan muamalah, dia bukan kitab fiqh. Meski mengandung banyak ayat terkait sejarah, Alquran bukan buku sejarah sesuai prinsip dan metodologi ilmu sejarah sejak zaman Tarikh al-Tabari sampai sekarang.

Dengan sifat mujmal-nya, ayat-ayat dalam bidang tertentu, seperti kalam, ibadah, muamalah, dan seterusnya dengan tetap berpegang pada prinsip dasar ajarannya, juga dapat ditafsirkan terus-menerus untuk menjawab tantangan dunia yang terus berubah. Di sinilah terletak universalitas Alquran, yang berlaku untuk sepanjang zaman dan tempat.

Namun, ajaran-ajaran universal Alquran perlu perincian dan elaborasi yang bersifat partikular. Hal ini terkait dengan akidah, ibadah, dan muamalah yang diimani dan dilaksanakan penganut Islam. Perincian dan elaborasi itu bersifat teknis, yang dalam kajian dan ilmu Islam disebut ‘fiqh’ yang juga berarti ‘ketentuan hukum-hukum syariah praktis yang digali dari dalil-dalilnya secara perinci’.

Dalam bahasa birokrasi pemerintahan dan swasta sekarang, fiqh dapat disebut semacam ‘protap’ (prosedur tetap) atau SOP (standard operating procedure) atau ‘petunjuk pelaksanaan’ (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Bila ayat Alquran (atau syariah) sebagai dalil dasar fiqh bersifat tetap atau tidak berubah, fiqh dapat berkembang guna menjawab masalah baru yang memerlukan juklak dan juknis.

Dengan demikian, ‘syariah’ (ayat-ayat Alquran) tidak berubah, sebaliknya fiqh berkembang sesuai kebutuhan. Salah satu contoh paling jelas sekarang adalah mengenai ekonomi Islam atau perbankan Islam. Ayat-ayat Alquran mengenai ekonomi, bisnis, dan perdagangan hanya berbicara mujmal; berbagai ketentuan perinci tentang perbankan Islam atau takaful adalah fiqh sebagai hasil ijtihad ulama.

Pada tahap dan proses ini, Islam sebagaimana termaktub dalam Alquran bersentuhan dengan realitas historis—dalam contoh di atas terkait ekonomi, bisnis, atau perdagangan yang menghasilkan fiqh perbankan Islam atau takaful. Realitas historis, sosiologis, dan ekonomi menjadi pertimbangan penting untuk menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat Alquran.

Namun, dalam merumuskan fiqh sering terjadi perbedaan makna di kalangan ulama tentang kata atau istilah tertentu dalam ayat Alquran. Perbedaan itu terjadi karena latar belakang ilmu yang berbeda; kecenderungan intelektual berbeda; ranah sosialisasi berbeda; lingkungan sosial-kultural yang berbeda; bahkan juga realitas politik berbeda. Perbedaan-perbedaan ini menghasilkan mazhab fiqh yang berbeda. Dalam prinsip-prinsip dasar mereka sepakat, tetapi dalam perincian (furu’) masing-masing mazhab fiqh itu mengandung perbedaan (khilafiyah) tertentu.

Di sini Islam itu satu hanya dalam ayat-ayat Alquran sebelum ditafsirkan para ulama, misalnya dengan menggunakan ayat-ayat lain yang relevan. Atau menggunakan hadis, yang juga berbeda-beda tingkatan untuk bisa digunakan sebagai dalil hukum. Maka secara historis, adanya berbagai mazhab dan aliran dalam fiqh, kalam, tasawuf, dan bahkan ekonomi merupakan keniscayaan. []

REPUBLIKA, 09 Agustus 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar