Egalitarianisme
Kabah
Oleh:
Nasaruddin Umar
KABAH
mengajarkan egalitarianisme. Di depan Kabah kita semua sama, seperti satu
keluarga besar. Semuanya merasa kembali ke kampung halaman rohani
masing-masing. Di depan Kabah tidak ada lagi kotak etnik, gender, umur,
kewarganegaraan, pimpinan-bawahan, jenderal-prajurit, tuan/nyonya-majikan,
Arab-nonArab, Timur-Barat, hitam-putih, pendosa-ahli ibadah, dan lain-lain.
Di
halaman Kabah tidak ada lagi atribut sosial, politik, kelas, intelektual, dan
jenis kelamin. Bahkan, tidak ada lagi atribut spiritual-psikologis. Semuanya
merasa sama sebagai "Keluarga Allah", umat Nabi Muhammad, dan tidak
ada lagi atribut "orang lain". Kita "Bagaikan satu anggota
badan, jika satu bagian sakit, yang lain ikut sakit", sebagaimana
disabdakan Nabi besar kita.
Pelaksanaan
ibadah haji atau umrah diharapkan menyimpan memori simbolis, berupa suasana
batin, yaitu bagaimana rasanya kita hadir dan tersungkur di Baitullah, di depan
Kabah. Seolah-olah kita berada di sebuah alam yang amat lain dengan alam
syahadah yang selama ini menyelimuti diri kita.
Sungguhpun
kita berdesak-desakan karena begitu padatnya umat Islam di sana, tetapi pada
saat yang bersamaan, kita juga merasakan kelapangan dada untuk mengerti
sekaligus memaafkan semuanya. Sungguhpun ada di antara mereka yang betul-betul
menyenggol dan menyakiti badan, tetapi terasa tidak ada dendam dan amarah. Ini
menggambarkan saat orang sedang bertawajuh dengan Tuhannya, semuanya terasa
lapang, tidak ada ganjalan, dan sumbatan.
Karena
itu, sebelum kita menuju ke hadapan Baitullah, terlebih dahulu kita
menanggalkan simbol-simbol keduniaan dan alam syahadah kita, berupa pakaian dan
atribut sosial-budaya kita. Yang tersisa hanya uniform ihram yang melekat di
badan, berupa kain putih polos. Ini juga melambangkan bahwa siapapun yang ingin
mencapai puncak tawajuh, ia juga harus menanggalkan atribut keduniawian yang
menghijab dirinya selama ini.
Inilah
makna penting firman Allah SWT, "Dan dari mana saja kamu ke luar, maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu
benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu, dan Allah sekali-kali tidak lengah
dari apa yang kamu kerjakan". (Surah Al-Baqarah, ayat 149). Semoga hujaj
semuanya menggapai tujuan (al-hajj), yaitu Haji Mabrur, haji yang dijanjikan
dengan surga jannah al-na'im taman spiritual yang penuh kelezatan).
Haji
sebagai arena muktamar umat Islam terbesar di dunia, berkumpul di depan sebuah
bangunan hitam bersegi empat, betul-betul menjadi muara dan sekaligus pusat
gravitasi spiritual yang mengikis habis ego-ego individu dan sosial. Betapa
tidak, semua umat Islam di mana pun berada dan apa pun status sosialnya,
sama-sama harus menghadap ke Kiblat di dalam beribadah, terutama salat.
Bahkan,
tidak sah salat atau penyembahan seseorang jika tidak mengetahui dan meyakini
kiblatnya. Doa iftitah yang diikrarkan saat memulai salat, kita berikrar dengan
menyebut ayat, "Inni wajahtu wajhiya lillati fatharas samawati wal ardha
hanifan musliman wa ma ana minal musyrikin". Sesungguhnya aku menghadapkan
wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada
agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Tuhan. (Surah Al-anam, ayat 79).
Doa
iftitah dan penegasan ayat ini menekankan pentingnya segenap diri kita yang
berlapis-lapis ini menghadap (tawajuh) kepada Allah SWT yang kualitasnya
disimbolkan kepada Kabah atau Baitullah. Wallahualam. []
MEDIA
INDONESIA, 07 Agustus 2018
Nasaruddin
Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar