Senin, 20 Agustus 2018

Nasaruddin Umar: Egalitarianisme Kabah


Egalitarianisme Kabah
Oleh: Nasaruddin Umar

KABAH mengajarkan egalitarianisme. Di depan Kabah kita semua sama, seperti satu keluarga besar. Semuanya merasa kembali ke kampung halaman rohani masing-masing. Di depan Kabah tidak ada lagi kotak etnik, gender, umur, kewarganegaraan, pimpinan-bawahan, jenderal-prajurit, tuan/nyonya-majikan, Arab-nonArab, Timur-Barat, hitam-putih, pendosa-ahli ibadah, dan lain-lain.

Di halaman Kabah tidak ada lagi atribut sosial, politik, kelas, intelektual, dan jenis kelamin. Bahkan, tidak ada lagi atribut spiritual-psikologis. Semuanya merasa sama sebagai "Keluarga Allah", umat Nabi Muhammad, dan tidak ada lagi atribut "orang lain". Kita "Bagaikan satu anggota badan, jika satu bagian sakit, yang lain ikut sakit", sebagaimana disabdakan Nabi besar kita.

Pelaksanaan ibadah haji atau umrah diharapkan menyimpan memori simbolis, berupa suasana batin, yaitu bagaimana rasanya kita hadir dan tersungkur di Baitullah, di depan Kabah. Seolah-olah kita berada di sebuah alam yang amat lain dengan alam syahadah yang selama ini menyelimuti diri kita.

Sungguhpun kita berdesak-desakan karena begitu padatnya umat Islam di sana, tetapi pada saat yang bersamaan, kita juga merasakan kelapangan dada untuk mengerti sekaligus memaafkan semuanya. Sungguhpun ada di antara mereka yang betul-betul menyenggol dan menyakiti badan, tetapi terasa tidak ada dendam dan amarah. Ini menggambarkan saat orang sedang bertawajuh dengan Tuhannya, semuanya terasa lapang, tidak ada ganjalan, dan sumbatan.

Karena itu, sebelum kita menuju ke hadapan Baitullah, terlebih dahulu kita menanggalkan simbol-simbol keduniaan dan alam syahadah kita, berupa pakaian dan atribut sosial-budaya kita. Yang tersisa hanya uniform ihram yang melekat di badan, berupa kain putih polos. Ini juga melambangkan bahwa siapapun yang ingin mencapai puncak tawajuh, ia juga harus menanggalkan atribut keduniawian yang menghijab dirinya selama ini.

Inilah makna penting firman Allah SWT, "Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan". (Surah Al-Baqarah, ayat 149). Semoga hujaj semuanya menggapai tujuan (al-hajj), yaitu Haji Mabrur, haji yang dijanjikan dengan surga jannah al-na'im taman spiritual yang penuh kelezatan).

Haji sebagai arena muktamar umat Islam terbesar di dunia, berkumpul di depan sebuah bangunan hitam bersegi empat, betul-betul menjadi muara dan sekaligus pusat gravitasi spiritual yang mengikis habis ego-ego individu dan sosial. Betapa tidak, semua umat Islam di mana pun berada dan apa pun status sosialnya, sama-sama harus menghadap ke Kiblat di dalam beribadah, terutama salat.

Bahkan, tidak sah salat atau penyembahan seseorang jika tidak mengetahui dan meyakini kiblatnya. Doa iftitah yang diikrarkan saat memulai salat, kita berikrar dengan menyebut ayat, "Inni wajahtu wajhiya lillati fatharas samawati wal ardha hanifan musliman wa ma ana minal musyrikin". Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Surah Al-anam, ayat 79).

Doa iftitah dan penegasan ayat ini menekankan pentingnya segenap diri kita yang berlapis-lapis ini menghadap (tawajuh) kepada Allah SWT yang kualitasnya disimbolkan kepada Kabah atau Baitullah. Wallahualam. []

MEDIA INDONESIA, 07 Agustus 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar