Di Balik Sikap Imam Syafi’i Keluar dari
Kaidah Madzhabnya
Ketika masih berada di Baghdad, suatu ketika
Imam Syafi’i berziarah ke maqbarah Abu Hanifah Ra di daerah Khaizaran. Di dekat
maqbarah Abu Hanifah, Imam Syafi’i sempat melakukan shalat dua rakaat dan tidak
mengangkat kedua tangannya.
Cukup mengherankan, karena beliau justru
melakukan ritual ibadah yang bertentangan dengan madzhabnya. Imam Syafi’i
ditanya, “Kenapa engkau keluar dari kaidah-kaidah madzhabmu?” Beliau menjawab,
“Karena menjaga adab kepada Imam Abu Hanifah dengan tidak menampakan perbedaan
di hadapannya.”
Dalam riwayat lain disebutkan Imam Syafi’i
meninggalkan bacaan qunut subuh saat shalat di sekitar maqbarah Abu Hanifah.
Ada lagi yang menyebutkan beliau tidak membaca basmalah dengan keras saat
shalat di tempat yang sama.
Jawabannya sama, Imam Syafi’i mengatakan
dengan singkat nan padat, "Karena menjaga adab kepada pemilik maqbarah ini
(Abu Hanifah)."
Dalam kajian fiqih, madzhab Syafi’i
menyunahkan mengangkat kedua tangan, membaca doa qunut dan membaca keras
bismillah, berbeda dengan pendapat madzhab Hanafi.
Mengapa Imam Syafi’i bersikap sekontroversial
itu? Apakah beliau tidak konsisten dengan pendapatnya sendiri?
Syekh KH. Mahfuzh Termas dalam kitabnya
Hâsyiyah al-Tarmâsi ‘alal Minhâj al-Qawîm menjelaskan bahwa sikap Imam
Syafi’i tersebut, meskipun terlihat aneh, namun mengandung beberapa pelajaran
besar di dalamnya. Bukannya tidak konsisten, namun beliau mengambil sikap yang
justru menunjukan keluasan pandangan dan kebijaksanaan beliau. Bila diteliti
lebih dalam lagi, sebenarnya tidak ada yang aneh dari sikap Imam Syafi’i.
Sikap Imam Syafi’i yang bertentangan dengan
kaidah madzhabnya, mengajarkan kepada kita beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, pentingnya menjaga adab kepada
ulama, terlebih kepada yang lebih senior meskipun sudah meninggal. Kedua,
perkara sunah terkadang lebih baik ditinggalkan untuk tujuan yang lebih
penting. Seperti menjaga adab, mengajarkan orang awam, dan lain-lain. Hal
tersebut tidak mengherankan, sebab Nabi shallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak
menjalankan anjuran merekontruksi bangunan Ka’bah karena menjaga perasaan orang
Quraisy yang masih baru mengenal Islam.
Ketiga, pentingnya menjaga marwah dan
kewibawaan ulama. Imam Syafii bermaksud menjaga kehormatan dan kemuliaan Abu
Hanifah yang pada waktu itu banyak dicaci maki oleh para pembencinya. Fitnah
dan cacian kepada Abu Hanifah tidak hanya terjadi saat beliau masih hidup,
namun juga terjadi setelah beliau wafat. Imam Syafi’i memanfaatkan kebesaran
namanya dengan membuat langkah yang cerdik untuk meredam fitnah tersebut.
Keempat, pentingnya menunjukan derajat
keagungan ulama di hadapan khalayak. Kelima, perbuatan yang manfaatnya juga
dirasakan orang lain lebih utama dari pada amaliyah yang manfaatnya terbatas
untuk diri sendiri. Keenam, penjelasan dengan perbuatan lebih mengena dari pada
terbatas dengan ucapan.
Imam Syafii menjelaskan tentang keagungan Abu
Hanifah sekaligus pentingnya menjaga adab kepada para senior yang tidak
sependapat. Beliau menyampaikan maksud dakwahnya tersebut dengan perilaku
beliau secara langsung. Dengan segenap kebesaran dan kerendahan hatinya, Imam
Syafi’i bahkan rela meninggalkan pendapatnya sendiri yang beliau yakini
kebenarannya.
Penjelasan di atas disampaikan Syekh Mahfuzh
Tarmasi mengutip dari kitab al-Khairat al-Hisan karya Syekh Ibnu Hajar
al-Haitami. Di bagian akhir kutipannya, salah satu ulama nusantara ini
menyampaikan bahwa keterangan tersebut merupakan ilmu yang sangat penting untuk
diketahui, meski cukup panjang. Tidak biasanya beliau mengutip pendapat ulama
lain sepanjang itu.
Demikian hikmah di balik Imam Syafi’i yang
bersikap menyalahi kaidah madzhabnya. Semoga kita bisa mengambil manfaatnya.
Semoga kita diberi hati yang lapang untuk menghargai pendapat orang lain serta
tidak mudah memvonis salah perbuatan seorang tokoh yang dikenal kealimannya. []
Uraian di atas bersumber dari Syekh Mahfuzh
al-Tarmasi, Hâsyiyah al-Tarmâsi ‘alal Minhâj al-Qawîm, (Jedah: Dar al-Minhaj),
cetakan pertama tahun 2011, juz.3, hal. 456-457; dan Ahmad Abdul ‘Ali
al-Thahtawi, 250 Qishah min Hayâtil Aimmah al-Arba’ah (Kairo: Dar al-Ghad
al-Jadid), cetakan pertama tahun 2008, hal.36.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar