Senin, 13 Agustus 2018

(Ngaji of the Day) Mengenal Akad Tawarruq dalam Hukum Islam, Halal atau Haram?


Mengenal Akad Tawarruq dalam Hukum Islam, Halal atau Haram?

Terkadang dalam kehidupan, ada orang yang kepepet. Di satu sisi ia membutuhkan keuangan, namun di sisi yang lain, orang tersebut tidak memiliki orang dekat untuk dipinjami dan mau meminjami uang. Mau berhutang kepada orang lain yang belum dikenal, dia tidak berani. Akhirnya ia mengambil siasat (hilah). Ia mendatangi seorang penjual elektronik, kemudian membeli secara kredit suatu barang elektronik. Setelah mendapatkan barang tersebut, segera ia berangkat ke pasar, lalu menjual barang tersebut dengan harga kontan. 

Agar mudah memahami konsep di atas, berikut ini adalah contoh ilustrasinya. Suatu ketika Pak Abdul membutuhkan uang untuk biaya pendidikan anaknya. Kemudian ia mendatangi toko elektroniknya Pak Ahmad, dengan niat ia mahu membeli sebuah komputer kepadanya seharga Rp4.500.000 secara kredit dengan jangka waktu cicilan selama 12 bulan. Pak Ahmad menyanggupinya, lalu memberikan komputer sebagaimana yang dipesan oleh Pak Abdul tersebut. Setelah Pak Abdul mendapatkan komputer pesanannya, lalu komputer tersebut ia jual ke pasar dengan harga Rp3.000.000 secara kontan.

Akad transaksi semacam ini di dalam fiqih disebut sebagai akad tawarruq. Pertanyaannya adalah, apakah akad tawarruq ini diperbolehkan secara fiqih? Berikut ini adalah penjelasannya.

Para ulama salaf memiliki pandangan yang berbeda-beda terkait dengan kebolehan akad ini. Ada yang membolehkan, dan ada pula yang tidak membolehkan.

Pandangan Ulama Salaf yang Tak Membolehkan Tawarruq

Ulama yang tidak membolehkan umumnya menyamakan konsep tawarruq ini sama dengan bai’u al-‘inah. Bai’u al-‘inah adalah menjual suatu barang secara kredit (muajjalan) dengan harga tertentu, kemudian membelinya kembali secara kontan (hâlan) dengan harga yang tentunya lebih murah dari harga kredit, yang mana waktu antara menjual dan membeli tadi dilakukan dalam waktu yang bersamaan atau tempo. Kesamaan konsep tawarruq dan bai’u al-‘inah ini terletak pada “motif utama pelaku” adalah agar ia mendapatkan hutangan uang.

Dengan memahami “motif utama” transaksi ini, maka para ulama yang melarang tawarruq berpandangan bahwa ini hanyalah sebuah siasat (hilah) untuk menghindari bunga (riba). Pelaku mendapatkan hajatnya berupa mendapatkan hutangan, akan tetapi hutang yang didapat, merupakan hutang yang di salah satu pihak menerima surplus (berkelebihan), sementara di pihak yang lain mendapatkan defisit (kekurangan). Selisih antara surplus dan defisit ini menyerupai riba. 

Pandangan Ulama Salaf yang Membolehkan Tawarruq

Pandangan ulama yang membolehkan tawarruq ini didasarkan pada penelitian terhadap QS Al-Baqarah: 275, yaitu:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ،  ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا، وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا، فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ، وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ، هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

Dalam ayat di atas secara jelas Allah SWT membolehkan akad jual beli, dan melarang riba. Dalam kitab Ahkâmul Qur’ân, dijelaskan terkait dengan pengertian kehalalan jual beli sebagaimana yang dikandung dalam ayat di atas, yaitu menyangkut dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ أَحَلَّ كُلَّ بَيْعٍ تَبَايَعَهُ الْمُتَبَايِعَانِ -: جَائِزِي الْأَمْرِ فِيمَا تَبَايَعَاهُ.- عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا. وَهَذَا أَظْهَرُ مَعَانِيه. وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ أَحَلَّ الْبَيْعَ: إذَا كَانَ مِمَّا لَمْ يَنْهَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Pertama, halalnya jual beli atas suatu barang/perkara antara dua orang yang saling bertransaksi adalah bila dari kedua belah pihak saling ridla antara satu sama lain. Kedua, jika barang yang menjadi objek transaksi bukan termasuk perkara yang dilarang melalui lisan Rasulullah SAW. 

Berangkat dari sini, maka kita bisa melakukan penelitian terhadap konsep tawarruq sebagaimana contoh kasus di atas. 

Pertama, transaksi antara Pak Abdul dan Pak Ahmad, adalah transaksi jual beli tersendiri. Pak Abdul selaku pembeli, sementara Pak Ahmad selaku penjual. Barang yang dipesan Pak Abdul adalah jelas berupa komputer, dan Pak Ahmad menyerahkan barang kepada Pak Abdul sebagaimana yang ia pesan. Pak Abdul menerima barang dan Pak Ahmad ridla dengan ketentuan pembelian secara kredit tersebut. Sampai di sini, akad transaksi antara Pak Abdul dan Pak Ahmad tidak ada masalah secara hukum. Harga ditentukan dalam majelis dan dipandang sah karena salah satu pihak sudah sepakat dengan harga. Barang yang dibeli berupa barang yang nyata (‘ain) dan langsung yadan bi yadin (diterima melalui serah terima). Dengan demikian, tidak ada masalah dalam fiqihnya.

Setelah Pak Abdul menerima barang, ia pergi ke pasar untuk menjual barang yang baru dibeli secara kredit tersebut kepada pihak lain. Sahkah jual beli Pak Abdul dengan pihak lain tersebut? 

Jika melihat subyek transaksinya, maka hal tersebutadalah dipandang sah. Karena pihak yang membeli adalah seorang pihak lain, bukan ditempat asal Pak Abdul mendapatkan komputer. 

Mungkin ada yang berkilah, lho harganya kan lebih rendah dari harga sebelumnya!? Terkait dengan persoalan ini, kita bisa memakai sebuah qaidah: الخراج بالضمان (untung rugi merupakan resiko yang harus ditanggung). Dengan kata lain, bahwa pada penjualan komputernya Pak Abdul ke pasar tersebut, Pak Abdul adalah seorang pihak yang tengah mengalami kerugian (muflis). Namun, transaksinya tetap sah, karena ada barang yang maujud yang dijual, serta bentuk transaksinya yang jelas. 

Kesimpulan akhir dari kasusnya Pak Abdul di atas, mulai dari ia mendapatkan barang, sampai ia mendapatkan uang kembali, adalah dipandang sah secara fiqih karena masing-masing tahapan dilakukan secara sah. 

Lantas, apa yang menyebabkan perbedaan di kalangan ulama dalam memandang konsep tawarruq ini?

Pada dasarnya, meskipun secara dhahir tampak berbeda, namun pada dasarnya para ulama salaf adalah sepakat bahwa konsep tawarruq ini adalah boleh. Akan tetapi, ada catatan yang membuat bahwa konsep tawarruq ini menjadi boleh, yaitu:

1. Ada kebutuhan riil untuk bertransaksi. Maksudnya adalah, bahwasannya orang yang melakukan tawarruq benar-benar sedang memerlukan uang, sementara ia tidak mampu mendapatkan pinjaman hutang dari siapa pun. Pendapat ini merupakan pendapat untuk motif kehati-hatian (ihtiyath). Dengan kata lain: jika pihak pelaku transaksi (Pak Abdul) ternyata bisa mendapatkan pinjaman di luar cara tawarruq, maka sebaiknya ia tidak melakukan tawarruq. Tawarruq menjadi alternatif terakhir dari usaha mendapatkan uang tersebut.

2. Kontrak tawarruq harus berbeda dengan kontrak ribawi. Maksudnya adalah, langkah untuk mendapatkan barang dengan langkah menjualnya kembali, dilakukan tidak pada subyek transaksi yang sama. Sebagaimana dalam kasus, Pak Abdul mendapatkan barang dari Pak Ahmad. Kemudian Pak Abdul menjual barang tersebut ke pasar. Hukum ini akan berbeda, bila Pak Abdul kemudian menjual kembali barang tersebut kepada Pak Ahmad dalam waktu yang sama. Mengapa? Karena cara yang seperti ini disebut sebagai bai’u al-inah yang dilarang oleh mayoritas ulama sebagaimana hal tersebut dipandang hanya sebagai siasat menghindari riba saja, namun pada dasarnya tetap riba. Ada juga ulama yang memberi ilah untuk hukum semacam ini sebagai sekilas bentuk pertukaran uang saja. Konsep seperti inilah yang dimaksud sebagai riba. 

3. Si pembeli harus benar-benar sudah menerima barang yang dibelinya, sebelum ia menjual kepada konsumen lain.

Nah, sampai di sini maka jelas bahwa pada dasarnya ulama dari kedua pihak sepakat. Kesimpulan akhirnya adalah, konsep tawarruq sebagaimana yang dicontohkan dalam kasus di atas adalah Boleh. Masalahnya kemudian, bagaimana dengan tawarruq dilaksanakan dalam sistem perbankan syari’ah? Apakah sama hukumnya dengan konsep tawarruq sebagaimana contoh kasus di atas? Simak tulisan berikutnya!

Wallahu a’lam bis shawab!

[]

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri Pulau Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar