Mengenal Akad Tawarruq
dalam Hukum Islam, Halal atau Haram?
Terkadang dalam kehidupan, ada orang yang kepepet.
Di satu sisi ia membutuhkan keuangan, namun di sisi yang lain, orang tersebut
tidak memiliki orang dekat untuk dipinjami dan mau meminjami uang. Mau
berhutang kepada orang lain yang belum dikenal, dia tidak berani. Akhirnya ia
mengambil siasat (hilah). Ia mendatangi seorang penjual elektronik,
kemudian membeli secara kredit suatu barang elektronik. Setelah mendapatkan
barang tersebut, segera ia berangkat ke pasar, lalu menjual barang tersebut
dengan harga kontan.
Agar mudah memahami konsep di atas, berikut
ini adalah contoh ilustrasinya. Suatu ketika Pak Abdul membutuhkan uang untuk
biaya pendidikan anaknya. Kemudian ia mendatangi toko elektroniknya Pak Ahmad,
dengan niat ia mahu membeli sebuah komputer kepadanya seharga Rp4.500.000
secara kredit dengan jangka waktu cicilan selama 12 bulan. Pak Ahmad
menyanggupinya, lalu memberikan komputer sebagaimana yang dipesan oleh Pak
Abdul tersebut. Setelah Pak Abdul mendapatkan komputer pesanannya, lalu
komputer tersebut ia jual ke pasar dengan harga Rp3.000.000 secara kontan.
Akad transaksi semacam ini di dalam fiqih
disebut sebagai akad tawarruq. Pertanyaannya adalah, apakah akad tawarruq ini
diperbolehkan secara fiqih? Berikut ini adalah penjelasannya.
Para ulama salaf memiliki pandangan yang
berbeda-beda terkait dengan kebolehan akad ini. Ada yang membolehkan, dan ada
pula yang tidak membolehkan.
Pandangan Ulama Salaf yang Tak Membolehkan
Tawarruq
Ulama yang tidak membolehkan umumnya
menyamakan konsep tawarruq ini sama dengan bai’u al-‘inah. Bai’u al-‘inah
adalah menjual suatu barang secara kredit (muajjalan) dengan harga
tertentu, kemudian membelinya kembali secara kontan (hâlan) dengan harga
yang tentunya lebih murah dari harga kredit, yang mana waktu antara menjual dan
membeli tadi dilakukan dalam waktu yang bersamaan atau tempo. Kesamaan konsep
tawarruq dan bai’u al-‘inah ini terletak pada “motif utama pelaku” adalah agar
ia mendapatkan hutangan uang.
Dengan memahami “motif utama” transaksi ini,
maka para ulama yang melarang tawarruq berpandangan bahwa ini hanyalah sebuah
siasat (hilah) untuk menghindari bunga (riba). Pelaku mendapatkan
hajatnya berupa mendapatkan hutangan, akan tetapi hutang yang didapat,
merupakan hutang yang di salah satu pihak menerima surplus (berkelebihan),
sementara di pihak yang lain mendapatkan defisit (kekurangan). Selisih antara
surplus dan defisit ini menyerupai riba.
Pandangan Ulama Salaf yang Membolehkan
Tawarruq
Pandangan ulama yang membolehkan tawarruq ini
didasarkan pada penelitian terhadap QS Al-Baqarah: 275, yaitu:
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ، ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا
الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا، وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا،
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ
إِلَى اللَّهِ، وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ، هُمْ فِيهَا
خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.”
Dalam ayat di atas secara jelas Allah SWT
membolehkan akad jual beli, dan melarang riba. Dalam kitab Ahkâmul Qur’ân,
dijelaskan terkait dengan pengertian kehalalan jual beli sebagaimana yang
dikandung dalam ayat di atas, yaitu menyangkut dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ أَحَلَّ كُلَّ بَيْعٍ تَبَايَعَهُ
الْمُتَبَايِعَانِ -: جَائِزِي
الْأَمْرِ فِيمَا تَبَايَعَاهُ.- عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا. وَهَذَا أَظْهَرُ
مَعَانِيه. وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ أَحَلَّ الْبَيْعَ: إذَا كَانَ
مِمَّا لَمْ يَنْهَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Pertama, halalnya jual beli
atas suatu barang/perkara antara dua orang yang saling bertransaksi adalah bila
dari kedua belah pihak saling ridla antara satu sama lain. Kedua, jika
barang yang menjadi objek transaksi bukan termasuk perkara yang dilarang melalui
lisan Rasulullah SAW.
Berangkat dari sini, maka kita bisa melakukan
penelitian terhadap konsep tawarruq sebagaimana contoh kasus di atas.
Pertama, transaksi antara Pak Abdul dan Pak
Ahmad, adalah transaksi jual beli tersendiri. Pak Abdul selaku pembeli,
sementara Pak Ahmad selaku penjual. Barang yang dipesan Pak Abdul adalah jelas
berupa komputer, dan Pak Ahmad menyerahkan barang kepada Pak Abdul sebagaimana
yang ia pesan. Pak Abdul menerima barang dan Pak Ahmad ridla dengan ketentuan
pembelian secara kredit tersebut. Sampai di sini, akad transaksi antara Pak
Abdul dan Pak Ahmad tidak ada masalah secara hukum. Harga ditentukan dalam
majelis dan dipandang sah karena salah satu pihak sudah sepakat dengan harga.
Barang yang dibeli berupa barang yang nyata (‘ain) dan langsung yadan
bi yadin (diterima melalui serah terima). Dengan demikian, tidak ada
masalah dalam fiqihnya.
Setelah Pak Abdul menerima barang, ia pergi
ke pasar untuk menjual barang yang baru dibeli secara kredit tersebut kepada
pihak lain. Sahkah jual beli Pak Abdul dengan pihak lain tersebut?
Jika melihat subyek transaksinya, maka hal
tersebutadalah dipandang sah. Karena pihak yang membeli adalah seorang pihak
lain, bukan ditempat asal Pak Abdul mendapatkan komputer.
Mungkin ada yang berkilah, lho harganya kan
lebih rendah dari harga sebelumnya!? Terkait dengan persoalan ini, kita bisa
memakai sebuah qaidah: الخراج بالضمان (untung rugi merupakan resiko yang harus
ditanggung). Dengan kata lain, bahwa pada penjualan komputernya Pak Abdul ke
pasar tersebut, Pak Abdul adalah seorang pihak yang tengah mengalami kerugian
(muflis). Namun, transaksinya tetap sah, karena ada barang yang maujud yang
dijual, serta bentuk transaksinya yang jelas.
Kesimpulan akhir dari kasusnya Pak Abdul di
atas, mulai dari ia mendapatkan barang, sampai ia mendapatkan uang kembali,
adalah dipandang sah secara fiqih karena masing-masing tahapan dilakukan secara
sah.
Lantas, apa yang menyebabkan perbedaan
di kalangan ulama dalam memandang konsep tawarruq ini?
Pada dasarnya, meskipun secara dhahir tampak
berbeda, namun pada dasarnya para ulama salaf adalah sepakat bahwa konsep
tawarruq ini adalah boleh. Akan tetapi, ada catatan yang membuat bahwa konsep
tawarruq ini menjadi boleh, yaitu:
1. Ada kebutuhan riil untuk bertransaksi.
Maksudnya adalah, bahwasannya orang yang melakukan tawarruq benar-benar sedang
memerlukan uang, sementara ia tidak mampu mendapatkan pinjaman hutang dari
siapa pun. Pendapat ini merupakan pendapat untuk motif kehati-hatian (ihtiyath).
Dengan kata lain: jika pihak pelaku transaksi (Pak Abdul) ternyata bisa
mendapatkan pinjaman di luar cara tawarruq, maka sebaiknya ia tidak melakukan
tawarruq. Tawarruq menjadi alternatif terakhir dari usaha mendapatkan uang
tersebut.
2. Kontrak tawarruq harus berbeda dengan
kontrak ribawi. Maksudnya adalah, langkah untuk mendapatkan barang dengan
langkah menjualnya kembali, dilakukan tidak pada subyek transaksi yang sama.
Sebagaimana dalam kasus, Pak Abdul mendapatkan barang dari Pak Ahmad. Kemudian
Pak Abdul menjual barang tersebut ke pasar. Hukum ini akan berbeda, bila Pak
Abdul kemudian menjual kembali barang tersebut kepada Pak Ahmad dalam waktu
yang sama. Mengapa? Karena cara yang seperti ini disebut sebagai bai’u al-inah
yang dilarang oleh mayoritas ulama sebagaimana hal tersebut dipandang hanya
sebagai siasat menghindari riba saja, namun pada dasarnya tetap riba. Ada juga
ulama yang memberi ilah untuk hukum semacam ini sebagai sekilas bentuk
pertukaran uang saja. Konsep seperti inilah yang dimaksud sebagai riba.
3. Si pembeli harus benar-benar sudah
menerima barang yang dibelinya, sebelum ia menjual kepada konsumen lain.
Nah, sampai di sini maka jelas bahwa pada
dasarnya ulama dari kedua pihak sepakat. Kesimpulan akhirnya adalah, konsep
tawarruq sebagaimana yang dicontohkan dalam kasus di atas adalah Boleh.
Masalahnya kemudian, bagaimana dengan tawarruq dilaksanakan dalam sistem
perbankan syari’ah? Apakah sama hukumnya dengan konsep tawarruq sebagaimana
contoh kasus di atas? Simak tulisan berikutnya!
Wallahu a’lam bis shawab!
[]
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri Pulau Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar