Zuhud Politik dan Politik Zuhud
Oleh: Nasaruddin Umar
Dalam perspektif tasawuf, zuhud (ascetism) biasa diartikan dengan
berpalingnya jiwa dari segenap urusan dunia, lalu mengedepankan urusan dan
kepentingan akhirat. Urusan dunia dilaksanakan sekadar untuk memenuhi standar
hidup yang wajar untuk diri dan keluarganya.
Zuhud juga sering diartikan dengan pengosongan jiwa dan pikirannya
dari cinta dunia dengan segala keindahannya, lalu mengisinya dengan makrifah
dan kesadaran spiritual. Zuhud sejati seperti ini sudah terbebas dari syahwat
popularitas dan ambisi politik. Orang seperti ini bukan saja dicintai umat
manusia, tetapi juga alam raya makrokosmos.
Namun, tidak sedikit orang yang menampilkan perilaku zuhud, tetapi
sesungguhnya hanya sebagai strategi untuk meraih simpati publik. Ia menampilkan
berbagai kamuflase menyerupai orang yang sunyi dari syahwat duniawi, tetapi di
dalam jiwanya bergejolak syahwat popularitas dan ambisi politik. Ia sering
mencitrakan dirinya sebagai orang yang sama sekali tidak tertarik memasuki
wilayah politik sambil menampilkan dandanan perilaku menyerupai zahid (pengamal zuhud).
Akhirnya simpati pun berdatangan dari berbagai kalangan masyarakat kepadanya.
Membohongi publik
Pencitraan diri sebagai zahid,
tetapi sesungguhnya bukan zahid, maka
inilah derajat kebohongan publik paling tinggi. Ia bisa mengecoh publik akar
rumput dengan menggunakan bahasa agama untuk meraih tujuan politik. Pembohongan
terhadap publik seperti ini terjadi di setiap agama. Dalam Islam, inilah
sesungguhnya disebut dengan munafik (hypocrite),
yang dilukiskan sebagai ”penghuni neraka paling sadis” (QS al-Nisa’/4:145).
Setiap kali mendekati pemilihan umum sering kali muncul zahid-zahid baru di
dalam masyarakat. Orang-orang sering terheran-heran, begitu pulang haji atau
umrah tiba-tiba segalanya berubah. Mulai dari aksesori tubuh, seperti
memelihara jenggot, baju koko yang diserasikan dengan peci, dengan tasbih
melingkar di tangan, ziarah ke makam wali, membangun mushala, bersahabat dengan
kiai pondok pesantren atau tokoh ormas Islam, lalu sesekali memberanikan diri
ceramah yang diawali dengan menghafal sejumlah ayat dan hadis pendek.
Ia pun rajin dan aktif menghadiri undangan pengajian dan tablig
akbar. Di rumahnya juga rajin mengumpulkan jemaah untuk melakukan pengajian,
mengundang aktivis, artis, dan wartawan. Akhirnya, dalam waktu singkat namanya
tersohor. Seolah-olah masyarakat begitu cepat melupakan dan memaafkan masa
lalunya yang kelam. Sikap permisivisme masyarakat kita banyak menguntungkan
kaum munafik seperti ini. Memang, kita tidak boleh berburuk sangka kepada
setiap orang yang tobat. Tidak sedikit ”orang yang kembali ke jalan benar” (ta’ibin) benar-benar
hidayah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Bahkan, sampai akhir hayatnya konsisten
mempertahankan pilihan hidup barunya sebagai orang yang hijrah dari jalan setan
ke jalan malaikat.
Tidak sedikit jumlah tokoh selebritas, seperti dari kalangan
artis, atlet, pejabat, konglomerat, dan profesional, mendapat hidayah Tuhan
dalam keadaan mengesankan. Dalam penilaian mata manusia, seolah-olah mereka happy ending (husnul khatimah). Kita
tentu berharap semoga semua orang yang kembali memilih jalan hidup yang benar
dipermanenkan pilihannya hingga akhir hayat. Mereka tidak lagi tergoda oleh
hiruk-pikuknya persaingan bebas yang begitu ketat. Mereka juga tampil sebagai
figur pencerah di dalam masyarakat, menebarkan energi positif, tampil sebagai
ikon-ikon kemanusiaan yang menjunjung tinggi semangat kebersamaan dan
toleransi.
Politik zuhud tidak pernah sepi dalam lintasan sejarah anak
manusia. Dalam lintasan sejarah Islam pun pernah terjadi, mulai pada zaman
Rasulullah SAW mungkin hingga akhir zaman.
Kasus Abdullah ibn Ubai ibn Abi Salul adalah seorang tokoh munafik
Madinah yang amat terkenal. Ia aktif hadir di majelis Rasulullah SAW, bahkan
membangun masjid pencitraan yang terkenal dengan nama Masjid Dhirar Zu Awan,
lebih kurang perjalanan satu jam dari kota Madinah. Rasulullah kemudian
memerintahkan untuk membongkar masjid itu karena terbukti sebagai masjid
provokatif, memecah belah umat. Peristiwanya diabadikan di dalam Al Quran (QS
al-Taubah/9:108).
Siapa sangka Ibn Salul ternyata seorang germo yang mempekerjakan
sejumlah perempuan, termasuk Musaikhah, salah seorang budak piaraannya yang
berakhir dengan tragis ketika menolak melayani tamunya setelah ia bertobat.
Peristiwa ini juga diabadikan dalam QS
al-Nur/24:33. Politik zuhud juga terjadi pada sejumlah tokoh dalam pemerintahan
Dinasti Mu’awiyah dan Dinasti Abbasiyah.
Mencari pemimpin
Zuhud politik digambarkan pada masa awal Islam. Meskipun urusan
politik sangat penting di dalam masyarakat, Nabi Muhammad SAW tidak pernah
menyinggung urusan suksesi politik. Nabi sangat hati-hati berbicara tentang
suksesi politik karena khawatir dinilai memiliki ambisi politik untuk
mewariskan takhta kepemimpinan kepada kaum Muhajirin atau keluarganya.
Hal yang sama terjadi pada Abu Bakar. Ia tidak menyinggung bakal
penggantinya hingga akhir hayatnya.
Ketika ia didaulat menjadi khalifah pengganti Nabi memimpin dunia
Islam, dalam pidato pengukuhannya, ia mengatakan: ”Saya sadar bukan orang yang
terbaik untuk mengganti Nabi Muhhammad SAW. Tetapi, karena kalian sepakat
mengamanahkan hal ini kepadaku, saya terima dengan catatan kalian semua akan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam mengemban amanah besar ini….” Umar
juga dengan tegas mengatakan, ”cukup hanya satu Umar yang menjadi pemimpin
(khalifah)” meskipun ada keinginan para sahabat untuk mengorbitkan putranya,
Abdullah ibn Umar, salah seorang tim tujuh formatur yang dibentuknya untuk
menggantikan dirinya sebagai khalifah setelah Umar wafat.
Para tabi’in,
generasi setelah sahabat, tidak sedikit jumlahnya disiksa secara fisik oleh
raja karena menolak menjadi kadi (qadhi),
jabatan kedua terpenting setelah raja. Di antara nama-nama besar itu ialah Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi’, Imam Ahmad ibn Hanbal, dan lain-lain.
Pemimpin ideal sesungguhnya ialah pemimpin yang pernah disampaikan
oleh Abu Bakar dan Imam Syafi’, yaitu jangan mencari pemimpin yang terlalu mau
dan terlalu tidak mau dengan segala risikonya masing-masing.
Carilah pemimpin yang muru’ah,
yakni menjunjung tinggi rasa kesetiakawanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Jika
kriteria paling ideal tidak bisa ditemukan, carilah yang paling minim keburukannya
di antara semua yang buruk. Inilah yang mendasari asas politik Sunni yang
dirumuskan kitab Al-Ahkam
al-Sulthaniyyah: ”Lebih baik dipimpin 100 tahun pemimpin zalim
daripada kosong kepemimpinan sehari” karena bahaya kekosongan kepemimpinan
lebih dahsyat dampaknya daripada dipimpin orang zalim.
Zahid yang sejati dan yang palsu dapat diuji melalui ketulusan dan
keikhlasan yang bersangkutan dalam merespons lingkungan sosialnya. Jika yang
bersangkutan terbukti ke-zuhud-annya bergeming ketika melewati momen-momen
penting yang terkait dengan dirinya, misalnya dengan tegas menolak tawaran
calon legislatif dan pemimpin politik yang bisa mengganggu perjalanan
spiritualnya, mungkin orang seperti ini dapat dikategorikan sebagai zuhud
politik.
Sebaliknya, jika terbukti momen penting itu membelokkan haluan
perjalanan hidupnya, maka ia bisa dikategorikan zuhud politik. Masyarakat
disarankan untuk tidak gampang tertipu dengan politik zuhud atau politisi yang
menggunakan dandanan agama sebagai upaya meraih simpati dan dukungan
masyarakat. []
KOMPAS, 3 Agustus 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta
Dalam perspektif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar