Kamis, 09 Agustus 2018

Nasaruddin Umar: Zuhud Politik dan Politik Zuhud


Zuhud Politik dan Politik Zuhud
Oleh: Nasaruddin Umar

Dalam perspektif tasawuf, zuhud (ascetism) biasa diartikan dengan berpalingnya jiwa dari segenap urusan dunia, lalu mengedepankan urusan dan kepentingan akhirat. Urusan dunia dilaksanakan sekadar untuk memenuhi standar hidup yang wajar untuk diri dan keluarganya.

Zuhud juga sering diartikan dengan pengosongan jiwa dan pikirannya dari cinta dunia dengan segala keindahannya, lalu mengisinya dengan makrifah dan kesadaran spiritual. Zuhud sejati seperti ini sudah terbebas dari syahwat popularitas dan ambisi politik. Orang seperti ini bukan saja dicintai umat manusia, tetapi juga alam raya makrokosmos.

Namun, tidak sedikit orang yang menampilkan perilaku zuhud, tetapi sesungguhnya hanya sebagai strategi untuk meraih simpati publik. Ia menampilkan berbagai kamuflase menyerupai orang yang sunyi dari syahwat duniawi, tetapi di dalam jiwanya bergejolak syahwat popularitas dan ambisi politik. Ia sering mencitrakan dirinya sebagai orang yang sama sekali tidak tertarik memasuki wilayah politik sambil menampilkan dandanan perilaku menyerupai zahid (pengamal zuhud). Akhirnya simpati pun berdatangan dari berbagai kalangan masyarakat kepadanya.

Membohongi publik

Pencitraan diri sebagai zahid, tetapi sesungguhnya bukan zahid, maka inilah derajat kebohongan publik paling tinggi. Ia bisa mengecoh publik akar rumput dengan menggunakan bahasa agama untuk meraih tujuan politik. Pembohongan terhadap publik seperti ini terjadi di setiap agama. Dalam Islam, inilah sesungguhnya disebut dengan munafik (hypocrite), yang dilukiskan sebagai ”penghuni neraka paling sadis” (QS al-Nisa’/4:145).

Setiap kali mendekati pemilihan umum sering kali muncul zahid-zahid baru di dalam masyarakat. Orang-orang sering terheran-heran, begitu pulang haji atau umrah tiba-tiba segalanya berubah. Mulai dari aksesori tubuh, seperti memelihara jenggot, baju koko yang diserasikan dengan peci, dengan tasbih melingkar di tangan, ziarah ke makam wali, membangun mushala, bersahabat dengan kiai pondok pesantren atau tokoh ormas Islam, lalu sesekali memberanikan diri ceramah yang diawali dengan menghafal sejumlah ayat dan hadis pendek.

Ia pun rajin dan aktif menghadiri undangan pengajian dan tablig akbar. Di rumahnya juga rajin mengumpulkan jemaah untuk melakukan pengajian, mengundang aktivis, artis, dan wartawan. Akhirnya, dalam waktu singkat namanya tersohor. Seolah-olah masyarakat begitu cepat melupakan dan memaafkan masa lalunya yang kelam. Sikap permisivisme masyarakat kita banyak menguntungkan kaum munafik seperti ini. Memang, kita tidak boleh berburuk sangka kepada setiap orang yang tobat. Tidak sedikit ”orang yang kembali ke jalan benar” (ta’ibin) benar-benar hidayah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Bahkan, sampai akhir hayatnya konsisten mempertahankan pilihan hidup barunya sebagai orang yang hijrah dari jalan setan ke jalan malaikat.

Tidak sedikit jumlah tokoh selebritas, seperti dari kalangan artis, atlet, pejabat, konglomerat, dan profesional, mendapat hidayah Tuhan dalam keadaan mengesankan. Dalam penilaian mata manusia, seolah-olah mereka happy ending (husnul khatimah). Kita tentu berharap semoga semua orang yang kembali memilih jalan hidup yang benar dipermanenkan pilihannya hingga akhir hayat. Mereka tidak lagi tergoda oleh hiruk-pikuknya persaingan bebas yang begitu ketat. Mereka juga tampil sebagai figur pencerah di dalam masyarakat, menebarkan energi positif, tampil sebagai ikon-ikon kemanusiaan yang menjunjung tinggi semangat kebersamaan dan toleransi.

Politik zuhud tidak pernah sepi dalam lintasan sejarah anak manusia. Dalam lintasan sejarah Islam pun pernah terjadi, mulai pada zaman Rasulullah SAW mungkin hingga akhir zaman.

Kasus Abdullah ibn Ubai ibn Abi Salul adalah seorang tokoh munafik Madinah yang amat terkenal. Ia aktif hadir di majelis Rasulullah SAW, bahkan membangun masjid pencitraan yang terkenal dengan nama Masjid Dhirar Zu Awan, lebih kurang perjalanan satu jam dari kota Madinah. Rasulullah kemudian memerintahkan untuk membongkar masjid itu karena terbukti sebagai masjid provokatif, memecah belah umat. Peristiwanya diabadikan di dalam Al Quran (QS al-Taubah/9:108).

Siapa sangka Ibn Salul ternyata seorang germo yang mempekerjakan sejumlah perempuan, termasuk Musaikhah, salah seorang budak piaraannya yang berakhir dengan tragis ketika menolak melayani tamunya setelah ia bertobat. Peristiwa ini juga diabadikan dalam  QS al-Nur/24:33. Politik zuhud juga terjadi pada sejumlah tokoh dalam pemerintahan Dinasti Mu’awiyah dan Dinasti Abbasiyah.

Mencari pemimpin

Zuhud politik digambarkan pada masa awal Islam. Meskipun urusan politik sangat penting di dalam masyarakat, Nabi Muhammad SAW tidak pernah menyinggung urusan suksesi politik. Nabi sangat hati-hati berbicara tentang suksesi politik karena khawatir dinilai memiliki ambisi politik untuk mewariskan takhta kepemimpinan kepada kaum Muhajirin atau keluarganya.

Hal yang sama terjadi pada Abu Bakar. Ia tidak menyinggung bakal penggantinya hingga akhir hayatnya.

Ketika ia didaulat menjadi khalifah pengganti Nabi memimpin dunia Islam, dalam pidato pengukuhannya, ia mengatakan: ”Saya sadar bukan orang yang terbaik untuk mengganti Nabi Muhhammad SAW. Tetapi, karena kalian sepakat mengamanahkan hal ini kepadaku, saya terima dengan catatan kalian semua akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam mengemban amanah besar ini….” Umar juga dengan tegas mengatakan, ”cukup hanya satu Umar yang menjadi pemimpin (khalifah)” meskipun ada keinginan para sahabat untuk mengorbitkan putranya, Abdullah ibn Umar, salah seorang tim tujuh formatur yang dibentuknya untuk menggantikan dirinya sebagai khalifah setelah Umar wafat.

Para tabi’in, generasi setelah sahabat, tidak sedikit jumlahnya disiksa secara fisik oleh raja karena menolak menjadi kadi (qadhi), jabatan kedua terpenting setelah raja. Di antara nama-nama besar itu ialah Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’, Imam Ahmad ibn Hanbal, dan lain-lain.

Pemimpin ideal sesungguhnya ialah pemimpin yang pernah disampaikan oleh Abu Bakar dan Imam Syafi’, yaitu jangan mencari pemimpin yang terlalu mau dan terlalu tidak mau dengan segala risikonya masing-masing.

Carilah pemimpin yang muru’ah, yakni menjunjung tinggi rasa kesetiakawanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Jika kriteria paling ideal tidak bisa ditemukan, carilah yang paling minim keburukannya di antara semua yang buruk. Inilah yang mendasari asas politik Sunni yang dirumuskan kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyyah: ”Lebih baik dipimpin 100 tahun pemimpin zalim daripada kosong kepemimpinan sehari” karena bahaya kekosongan kepemimpinan lebih dahsyat dampaknya daripada dipimpin orang zalim.

Zahid yang sejati dan yang palsu dapat diuji melalui ketulusan dan keikhlasan yang bersangkutan dalam merespons lingkungan sosialnya. Jika yang bersangkutan terbukti ke-zuhud-annya bergeming ketika melewati momen-momen penting yang terkait dengan dirinya, misalnya dengan tegas menolak tawaran calon legislatif dan pemimpin politik yang bisa mengganggu perjalanan spiritualnya, mungkin orang seperti ini dapat dikategorikan sebagai zuhud politik.

Sebaliknya, jika terbukti momen penting itu membelokkan haluan perjalanan hidupnya, maka ia bisa dikategorikan zuhud politik. Masyarakat disarankan untuk tidak gampang tertipu dengan politik zuhud atau politisi yang menggunakan dandanan agama sebagai upaya meraih simpati dan dukungan masyarakat. []

KOMPAS, 3 Agustus 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta Dalam perspektif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar