Tertawa dan Menangis Bersama Al-Qur’an
Judul
: Tertawa Bersama Al-Qur’an, Menangis Bersama Al-Qur’an
Penulis
: Hasan Taşdelen
Penerbit
: Zaman
Cetakan
: Cetakan I, 2014
ISBN
: 978-602-1687-02-4
Tebal
: 293 halaman
Peresensi
: A Muchlishon Rochmat
“Sesungguhnya Dialah yang menjadikan manusia
tertawa dan menangis.” (Q.S. al-Najm: 43)
Al-Qur’an merupakan lautan hikmah tanpa tepi
bagi siapapun yang menyelaminya, obat bagi segala penyakit, dan pedoman dalam
menjalani hidup yang fana ini. Semua yang ada dalam Al-Qur’an adalah titah
ilahi. Siapapun yang mengamalkannya, pasti akan selamat dunia dan akhiratnya.
Selama berpegang teguh kepada Al-Qur’an, maka manusia tidak akan tersesat.
Bukan kah Nabi Muhammad sudah menyabdakannya; Aku tinggalkan untuk kalian
dua perkara [pusaka]. Kalian tidak akan tersesat selama-lamanya selagi kalian
berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitab Allah (Alquran) dan sunah Rasul.”
(HR. Malik, Muslim dan Ash-hab al-Sunan).
Akan tetapi, latar belakang wawasan,
pengetahuan, pengalaman, guru, dan kecenderungan seseorang akan suatu hal
menyebabkan perbedaan dalam memahami Al-Qur’an. Ada yang memaknai Al-Qur’an
secara tekstual, ada yang kontekstual, dan ada pula yang liberal. Masing-masing
meyakini pemaknaannya lah yang paling shahih. Naasnya, saat ini ada satu
kelompok yang memonopoli pemaknaan Al-Qur’an. Mereka menganggap yang lainnya
sesat dan tidak benar seolah-olah mereka lah yang paling mengetahui apa yang
dimaksudkan Tuhan.
Al-Qur’an menyinggung berbagai aspek
kehidupan. Mulai dari soal agama, etika, moral, seni, budaya, sosial, ekonomi,
politik, dan banyak hal lainnya. Di dalam Al-Qur’an juga ada cerita-cerita
tentang sejarah umat terdahulu, penciptaan langit dan bumi, dan kabar kehidupan
setelah di dunia ini. Di dalam sejarahnya, setiap ayat Al-Qur’an diturunkan
sebagai respon atas kejadian yang terjadi pada saat itu. Sehingga dengan
demikian, apa yang ada di dalam Al-Qur’an itu semestinya tidak jauh dari
sisi-sisi kemanusiaan.
Terkait hal itu, dalam buku ini Hasan
Taşdelen berupaya untuk menampilkan ‘sisi lain Al-Qur’an.’ Ia menulis kisah,
cerita, dan anekdot yang disesuaikan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Setidaknya
anekdot tersebut dikaitkan dengan budaya dan pemahaman pada saat itu atau
dikaitkan dengan tata bahasa Arab. Sehingga melahirkan cerita –interaksi
seseorang dengan ayat Al-Qur’an- yang bisa membuat orang tertawa dan menangis.
Buku ini terbagi menjadi dua bagian; bagian
pertama tentang anekdot yang bisa membuat kita tersenyum dan tertawa dan bagian
kedua memuat anekdot yang bisa membuat kita menangis. Anekdot-anekdot tersebut
memotret kisah dari zaman Nabi Muhammad hingga tabi'it tabi'in dan digali dari
karya-karya sastra klasik.
Salah satu kisah yang cukup mengocok perut
kita adalah kisah Si Mujrim yang Lugu. Suatu ketika Mujrim salat pada barisan
pertama. Kemudian imam membaca Surat Al-Mursalat ayat 16; Bukankah telah kami
binasakan orang-orang terdahulu? (alam nuhlikil awwalin). Mendengar hal itu
Mujrim langsung mundur ke barisan paling akhir. Ia mengira yang dimaksud dalam
Al-Qur’an yang dibaca imam salat tersebut adalah orang pada barisan
pertama.
Kemudian imam melanjutkan bacaannya; Lalu
Kami susulkan (azab Kami atas) orang-orang yang datang kemudian (tsumma
nutbi’uhumul akhirin). Merasa dirinya yang dituduh karena berada di barisan
paling belakang, lalu Mujrim bergerak maju dan pindah ke barisan tengah. Imam
melanjutkan lagi bacaannya; Demikianlah kami perlakukan para pendosa (kadzalika
naf’alu bil mujrimin). Mendengar hal itu, tanpa tengok kanan-kiri, Mujrim
langsung kabur meninggalkan masjid karena merasa dirinyalah yang dicari-cari
untuk dibunuh setelah namanya disebut mujrimin (para pendosa) di ayat terakhir.
Sementara, kisah tentang tangis bersama Al-Qur’an
diantara adalah tangisan Umar bin Khattab ketika menjadi imam salat Subuh dan
membaca Surat Yusuf; Dan dia (Yakub) berpaling dari mereka (anak-anaknya)
seraya berkata, “Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf,” kedua matanya menjadi putih
karena sedih. Dia diam menahan amarah (terhadap anak-anaknya). Ketika sampai
pada Surat Yusuf ayat 84 ini, air mata Umar bin Khattab tumpah. Bahkan
disebutkan, Umar tidak bisa melanjutkan bacaan setelahnya setelah menangis
keras tersebut.
Menurut saya, dari buku ini kita bisa belajar
bagaimana memahami Al-Qur’an. Kitab suci umat Islam tersebut tidak cukup
dipahami secara tekstual. Karena hal itu bisa menjadikan kita menjadi
‘Mujrim-Mujrim yang lainnya.’ Al-Qur’an seharusnya dipahami sesuai dengan
konteks dan asbabun nuzulnya sehingga kita bisa menyelami makna di setiap ayat
Al-Qur’an dan mengontekstualisasikannya dengan apa yang terjadi saat ini.
Tidak lain, buku ini hadir mengajak kita
untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai sahabat sejati. Buku ini terdiri atas
ratusan kisah unik tentang Al-Qur’an atas beragam topik. Dengan bahasa yang
ringan dan jenaka, penulis mampu menghadirkan kisah-kisah lucu dan menyentuh
tentang interaksi seseorang dengan Al-Qur’an yang digali dari khazanah
klasik. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar