Hukum Menyimpan Daging
Kurban
Rasulullah SAW pernah melarang sahabatnya
melakukan penyimpanan daging kurban. Larangan ini berkaitan dengan orang-orang
Arab yang datang dari desa-desa ke dalam kota. Lalu Rasulullah melarang
penduduk Madinah untuk menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari. Hal ini
dimaksudkan agar orang-orang Arab badui itu pulang ke kampungnya tanpa tangan
hampa.
وَقَدْ
كَانَ) الِادِّخَارُ (مُحَرَّمًا) فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ (ثُمَّ أُبِيحَ)
بِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رَاجَعُوهُ فِيهِ كُنْت
نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ وَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالسَّعَةِ
فَادَّخِرُوا مَا بَدَا لَكُمْ رَوَاهُ مُسْلِمٌ قَالَ الرَّافِعِيُّ
وَالدَّافَّةُ جَمَاعَةٌ كَانُوا قَدْ دَخَلُوا الْمَدِينَةَ قَدْ أَقْحَمَتْهُمْ
أَيْ أَهْلَكَتْهُمْ السَّنَةُ فِي الْبَادِيَةِ وَقِيلَ الدَّافَّةُ النَّازِلَةُ
Artinya, “(Dahulu) penyimpanan daging kurban
sempat (diharamkan) lebih dari tiga hari, (tetapi kemudian penyimpanan itu
dibolehkan) berdasarkan sabda Rasulullah SAW ketika para sahabat mendatanginya
perihal ini, ‘Dahulu aku melarang kalian perihal ini (penyimpanan) karena tamu
(dari desa-desa), tetapi Allah datang memberikan kelonggaran. Maka simpanlah
apa (daging) yang tampak pada kalian,’ [HR Muslim]. Imam Ar-Rafi’i mengatakan
bahwa kata ‘tamu’ yang dimaksud adalah sekelompok orang yang memasuki Kota Madinah.
Mereka adalah orang yang mengalami kesulitan setahun di desa-desa. Ada ulama
berpendapat bahwa mereka adalah tamu yang singgah atau mampir,” (Lihat Syekh
Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan
tahun], juz VI, halaman 474).
Karena perubahan situasi, Rasulullah SAW
kemudian mengizinkan para sahabatnya untuk menyimpan daging kurban. Hanya saja
para ulama kemudian menyarankan bahwa penyimpanan itu berlaku untuk sepertiga
maksimal daging kurban yang menjadi hak kurbanis (dalam pandangan qaul jadid
Imam Syafi’i). Sedangkan dua pertiga daging kurban yang seharusnya disedekahkan
tidak disarankan untuk disimpan, tetapi dibagikan kepada mustahiqnya.
فَرْعٌ،
وَلَا يُكْرَهُ الِادِّخَار) مِنْ لَحْمِ الْأُضْحِيَّةِ وَالْهَدْيِ وَالتَّصْرِيحُ
بِعَدَمِ الْكَرَاهَةِ مِنْ زِيَادَتِهِ (وَلْيَكُنْ) أَيْ وَيُسْتَحَبُّ إذَا
أَرَادَ الِادِّخَارَ أَنْ يَكُونَ (مِنْ ثُلُثِ الْأَكْلِ) لَا مِنْ ثُلُثَيْ
الصَّدَقَةِ وَالْهَدِيَّةِ
Artinya, “(Ini cabang masalah. Penyimpanan)
daging kurban dan hadiyah jamaah haji (tidak makruh). Penyampaian secara lugas
frasa ‘ketidakmakruhan’ adalah tambahannya [Abu Ishak As-Syirazi]. (Hendaknya)
maksudnya kalau seseorang ingin menyimpan daging kurban dianjurkan (sepertiga
haknya yang untuk dikonsumsi), bukan dua pertiga yang menjadi hak sedekah dan
hadiyah,” (Lihat Syekh Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut, Darul
Fikr: tanpa catatan tahun], juz VI, halaman 474).
Imam An-Nawawi dalam Al-Majemuk juga
menyinggung perihal izin penyimpanan daging kurban oleh Rasulullah yang
sebelumnya sempat diharamkan. Menurutnya, masalah ini ditetapkan dengan jelas
dalam hadits shahih.
فرع) يجوز ان يدخر من لحم الاضحية وكان ادخارها فوق ثلاثة ايام
منهيا عنه ثم اذن رسول الله صلى الله عليه وسلم فيه وذلك ثابت في الاحاديث الصحيحة
المشهورة
Artinya, “(Ini satu cabang) penyimpanan
daging kurban boleh. Dahulu penyimpanan daging kurban melebihi tiga hari sempat
dilarang. Tetapi kemudian Rasulullah mengizinkannya. Hal ini sudah tetap di
dalam hadits-hadits shahih yang masyhur,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majemuk
Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz
VIII, halaman 395).
Menurut Imam An-Nawawi, ulama berbeda
pendapat perihal penyimpanan daging kurban. Sebagian ulama menyatakan, makruh
tahrim. Sebagian ulama lagi menyatakan, makruh tanzih. Imam An-Nawawi kemudian
menyatakan bahwa penyimpanan daging kurban dibolehkan dalam syariat Islam.
والصواب
المعروف انه لا يحرم الادخار اليوم بحال وإذا اراد الادخار فالمستحب ان يكون من
نصيب الاكل لا من نصيب الصدقة والهدية
Artinya, “Yang benar dan terkenal, bahwa
penyimpanan hewan kurban hari ini dalam situasi apa pun tidak haram. Daging
yang disimpan dianjurkan adalah (sepertiga–pent) jatah yang dikonsumsi, bukan
(dua pertiga–pent) kuota yang seharusnya disedekahkan dan menjadi hadiyyah
(oleh jamaah haji),” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majemuk Syarhul Muhadzdzab,
[Jeddah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz VIII, halaman 395-396).
Di sini pentingnya memahami hadits Rasulullah
SAW secara utuh dengan menimbang konteks asbabul wurud, tarikh riwayat, dan
kemungkinan riwayat lain.
Kita tidak dapat langsung mengamalkan sebuah
riwayat hadits Rasulullah yang melarang sesuatu, dalam hal ini penyimpanan
daging kurban tanpa membaca riwayat lain yang berkaitan dengan masalah ini dan
pertimbangan lain di dalam memahami sebuah hadits Rasulullah SAW.
Perihal larangan dan izin penyimpanan daging
kurban ini merupakan perhatian Rasulullah terkait distribusi serta pemerataan
hewan kurban dan terkait hak daging kurbanis serta hak daging bagi mustahiq.
Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar