Politik Maslahat
Berlandaskan Kaidah Fiqih
Judul
Buku : Kaidah Fikih Politik:
Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama
Penulis
: Syaikhul Islam Ali
Editor
: M. Khairul Huda dan Abdurro’uf
Jumlah
: xxviii+260 halaman
Penerbit
: Bumi Shalawat Progresif
Peresensi
: Hilmy Firdausy, Dosen Darus-Sunnah International Institute for Hadith
Sciences Aktif di Komunitas Saung Jakarta dan al-Jabiri Institute Jakarta.
Kita kini dihadapi
pada sebuah kenyataan–sebagai anak kandung sejarah manusia–bahwa teks yang mati
selamanya tidak akan mampu membendung arus perubahan kehidupan manusia yang
terus-menerus bergerak.
Sementara ini kita
hanya bisa mengamini bahwa an-nusush tatanaha wal waqa’i’ la
tatanaha merupakan gambaran nyata yang tak bisa dielak, yang menunjukkan
satu tantangan besar bagi seluruh doktrin keagamaan khususnya Islam dalam
menghadapi ancaman stagnansi dan status quo. Dan sampai detik ini ancaman itu
masih mewujud gelombang yang seringkali gagal dibendung lantas menimbulkan
kekacauan.
Di sisi lain, fakta
pertama yang harus kita terima adalah, bahwa seluruh doktrin keislaman
bersumber pada teks. Al-Qur’an dan Hadis adalah teks dan keduanya tak bergerak.
Teks, dengan sifatnya yang diam, secara tidak langsung memiliki kemampuan untuk
menerima kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang beragam dari para pembacanya.
Selain itu, teks juga memungkinkan untuk ditekuk dan dipelintir menjadi alat
legimitasi kekuasaan serta kepentingan sebuah kelompok, yang menyimpang dari
maksud syariat sebagai visi awalnya.
Untuk menutup
penyelewengan tersebut, dirumuskanlah kaidah-kaidah yang menjadi pagar bagi
segenap kerja penafsiran teks. Dalam tradisi pesantren, kaidah ushul dan kaidah
fiqih, menjadi diskursus utama yang harus dipelajari sebagai metodologi
pemahaman serta penafsiran dan hidup sebagai karakter berpikir kaum pesantren
yang analitik dan kritis.
Maka, dibandingkan
dengan ayat al-Qur’an ataupun hadis Nabi, kaum santri lebih akrab dengan
kaidah-kaidah fiqih. Keakraban yang lantas membentuk pola berpikir inilah yang
kemudian melahirkan daya kontekstual yang begitu luar biasa dari kaum santri.
Bukan hanya pada tataran ritual keagamaan, namun mereka juga mampu berpikir dan
memberikan solusi atas berbagai problematika kehidupan umat atas dasar kaidah
fiqih yang mereka pelajari dan hidupi tersebut.
Buku ini menunjukkan
satu sisi ketika kaidah-kaidah fiqih, yang awalnya ditujukan hanya sebagai
metode pengambilan hukum Islam, diimplementasikan ke dalam gerak perpolitikan
dan dijadikan dasar pengambilan kebijakan. Dengan mengingatkan kembali akan
patahan-patahan fakta sejarah dibangunnya republik ini, buku ini secara tidak
langsung juga mengingatkan kita bahwa ia dibangun dari pola berpikir dan
identitas yang berkarakter.
Dengan mempertautkan
antara subyektifitas dan tradisinya sebagai orang Nusantara, berikut konsep dan
kaidah fikih yang menjadi warna berpikirnya, para kiai kita dengan canggih
mampu membangun serta merumuskan format kebangsaan yang independen,
berketuhanan dan mempu menopang keragaman.
Produk pemikiran
seperti Indonesia sebagai Darul Islam, pengangkatan Presiden Soekarno sebagai
waliyyu-l-amri ad-dharuri bis syaukah hingga pembentukan Trikora sebagai solusi
Papua Barat, merupakan bukti bahwa para kiai memegang peranan penting sebagai aktornya
dan kaidah fikih sebagai senjatanya. Al-ashlu baqa’u ma kana ‘ala ma kana, yang
awalnya dirumuskan guna menyelesaikan problem praduga tak bersalah dalam hukum
Islam, di tangan para kiai, menjadi cara pandang visioner yang melegitimasi
Indonesia sebagai Darul Islam.
Kaidah-kaidah fiqih
ini pun bergerak, menyatu dan seringkali menjadi sarana pembentuk jalan tengah
bagi persoalan-persoalan yang menyentuh isu kedaulatan, integritas politik dan
kesatuan bangsa Indonesia.
Fakta sejarah yang
paling jelas dari cara kerja kaidah fiqih dalam lokus perpolitikan di Indonesia
juga bisa kita lihat dalam diri Gus Dur. Dalam tulisan-tulisannya, sulit atau
bahkan mustahil menemukan langsung kutipan-kutipan ayat al-Qur’an ataupun
hadis. Yang banyak ditemukan justru kaidah-kaidah fiqih.
Tasharruful imam
‘alar ra’iyyah manuthun bil maslahah adalah satu dari sekian banyak kaidah yang
sering Gus Dur kutip. Melalui kaidah tersebut, Gus Dur mampu merumuskan relasi
antara agama, negara dan kebudayaan. Melalui kaidah itu juga, Gus Dur rajin
mengritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendiskriminasi kaum minor dan
lain sebagainya.
Ketika duduk di kursi
kepresidenan, jalan pedang perpolitikan Gus Dur banyak dinilai sebagai jalan
politik kontroversial. Bagi kalangan yang tidak terbiasa dengan mekanisme kerja
kaidah fiqih, sulit untuk memahami jalan pikiran dan strategi politik Gus Dur.
Maka orang-orang ribut ketika di tahun 2000 Gus Dur setuju untuk menjadi
anggota Simon Peres Foundation Israel di tengah konflik berkepanjangan
Palestina-Israel.
Karena bagi Gus Dur,
percuma berusaha mendamaikan kedua negara yang sedang konflik jika juru
damainya menjadi musuh bagi salah satu dari keduanya. Jalan pikiran Gus Dur ini
tidak berbeda misalnya ketika Mbah Wahab Chasbullah dengan Partai NU-nya selalu
berada dalam kabinet bentukan Soekarno. Bahkan, konon Mbah Wahab banyak
disindir sebagai Kiai Nasakom karena apapun kebijakan Soekarno, NU dipastikan
ada.
Dari sini muncul
tunduhan-tunduhan oportunisme atau politik plin-plan yang dimainkan oleh para
ulama, inkonsistensi dan lain sebagainya. Seluruhnya disematkan untuk
ketidakpahaman kelompok lain atas jalan politik para kiai dan ulama yang
didasarkan pada kaidah-kaidah fiqih.
Dan sampai saat ini,
mana generasi Islam yang belajar politik lalu mendapat matakuliah kaidah fiqih
sebagai salah satu piranti politik paling menentukan dalam sejarah kebudayaan
di Indonesia? Tidak ada! Ada sekat yang saat ini dibangun bahwa kaidah fikih
harus dikembalikan, dipuritanisasi ke dalam tetek bengek masalah ritual
peribadatan saja. Sehingga politik Islam, lagi-lagi, kehilangan tajinya dan
kerangka epistemologisnya yang khas.
Sekali lagi, buku ini
menjadi dokumen penting yang mengingatkan serta berusaha mengembalikan kaidah
fiqih sebagai basis perpolitikan Islam dan pertimbangan dalam mengambil
kebijakan.
Buku ini juga
memperlihatkan bagaimana kaidah fiqih menjadi landasan bagi sikap tegas
sekaligus lentur sebagaimana yang diperlihatkan ulama kita, baik kaitannya
dengan agama, budaya maupun kebangsaan. Kata Kiai Wahab Chasbullah, “pekih iku
lek rupek yo diokeh-okeh!”… idza dhaqa ittasa’a wa idza-ttasa’a dhaqa. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar