Senin, 27 Agustus 2018

(Buku of the Day) Lost in Pesantren


Pesantren, dari Wangi Parfum Kiai hingga Ngaji


Judul                : Lost in Pesantren
Penulis             : Saeful Bahri
Penerbit            : Republika
Cetakan            : I, Agustus 2017
Tebal Buku        : xiv+195 hal.
ISBN                 : 978-602-0822-81-5
Peresensi          : Ach. Khalilurrahman, penikmat buku asal Sumenep. Juru kunci di terlanjurnulis.blogspot.co.id.

Dengan gagasan kreatif para penulis, telah lahir banyak literatur bertemakan pesantren bertebaran di tanah air. Terlepas dari beragam label negatif yang seringkali disandangkan, keberadaan pesantren justru telah memberi energi positif bagi dunia literasi negeri ini yang cenderung lesu dan tertinggal.

Bermacam genre buku telah menghiasi ruang baca, tinggal kita pilih mana yang disukai. Dari buku hasil penelitian semisal Pesantren Studies hingga cerita fiksi macam Negeri Lima Menara, semua tersedia.

Tapi bagi anda yang ‘alergi’ dengan buku-buku tebal, atau malas bertele-tele membaca karya fiksi, buku ini mungkin dapat menjadi alternatif. Ditulis oleh alumni pesantren, buku berjudul Lost in Pesantren ini berisi kisah-kisah inspiratif yang mengurai segala dinamika kehidupan di penjara suci.

Dengan bahasa yang renyah dan sederhana, pembaca dapat dengan rileks memilih topik mana yang ingin dibaca. Meski membahas tentang pesantren, buku ini layak dinikmati semua kalangan.

Saeful Bahri membagi buah penanya ini ke dalam tiga bagian. Bagian pertama berisikan fragmen kehidupan pesantren dan laku hidup santri. Dari bab ini kita bisa tahu bahwa meski terjal, perjalanan menjadi santri tak melulu soal duka cita. Baca saja artikel berjudul Elegi Santri di Terungku Suci, anda dapat melihat betapa kreatifnya mereka mengisi waktu.

Selain itu tersaji pula kisah pribadi sang penulis tentang hari pertama di pesantren, perjumpaan dengan sang kiai yang terkenal dengan aroma parfumnya, bahkan sampai detik terakhir perpisahan semua ada. Sangat cocok untuk memancing kenangan masa lalu bagi para alumni.

Pada bagian selanjutnya, Saeful Bahri mengulas dengan detail beberapa nilai kehidupan yang tersemai dan tumbuh subur di rahim pesantren. Tak hanya itu, ia juga mengungkap fakta bahwa nilai kearifan tersebut amatlah selaras dengan teori penemuan para intelektual barat.

Soal  kecerdasan adversitas misalnya, buah pemikiran dari Paul G. Stoltz ini menyatakan bahwa kecerdasan seseorang juga bisa dilihat sewaktu menghadapi kesulitan dalam hidup. Lebih lanjut, Paul membagi manusia ke dalam tiga tipe ketika punya masalah, quitter (penyerah), camper (pekemah), climber (pemanjat).

Pesantren sebagai salah satu model pendidikan yang ada di Indonesia memiliki karakter yang dapat menunjang proses pembentukan kecerdasan di atas. Kita tahu, sistem kehifupan pesantren mengajarkan kemandirian, kedisiplinan, daya tahan, dan tempaan untuk hidup siap susah bukan siap senang.

Di pesantren, anak-anak usia belasan tahun tinggal tanpa ada pengawasan dan bantuan orang tua (hal. 95). Kondisi inilah yang kemudian membuat kecerdasan adversiatas santri terasah hingga membentuk pribadi climber (pemanjat) sebagaimana dalam teori Stoltz di atas.

Bagian terakhir sungguh di luar dugaan. Alih-alih bicara soal kepesantrenan, alur berubah drastis menjadi cerita penuh hikmah seperti di buku dongeng. Sebagian diambil dari kisah-kisah tempo dulu, sedangkan sisanya adalah catatan perjalanan sang penulis ketika mengikuti pelatihan di benua Afrika. Tapi mengingat muatannya yang positif dan memotivasi, kekecewaan akibat tragedi ganti alur ini bisa sedikit terobati. 

Dan penting diketahui bahwa sebagai intermezzo, masing-masing artikel dalam buku terbitan Republika ini dipisah dengan kata-kata bijak. Pembaca bisa mengambilnya sebagai motivasi, atau sekadar pamer status di dunia maya.

Seperti yang dikatakan sejak awal, buku ini amat sederhana. Andai dikembangkan sedikit saja, saya yakin hasilnya akan jauh lebih memuaskan. Jika mau, prnulis bisa menggarap buku susulan yang pembahasannya lebih luas dan mendalam. Tak harus bersifat ilmiah, novel perjalanan hidup juga boleh. Itupun jika Kang Saeful Bahri selaku penulis mau. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar