Pesantren, dari Wangi
Parfum Kiai hingga Ngaji
Judul
: Lost in Pesantren
Penulis
: Saeful Bahri
Penerbit
: Republika
Cetakan
: I, Agustus 2017
Tebal
Buku : xiv+195 hal.
ISBN
: 978-602-0822-81-5
Peresensi
: Ach. Khalilurrahman, penikmat buku asal Sumenep. Juru kunci di
terlanjurnulis.blogspot.co.id.
Dengan gagasan
kreatif para penulis, telah lahir banyak literatur bertemakan pesantren
bertebaran di tanah air. Terlepas dari beragam label negatif yang seringkali
disandangkan, keberadaan pesantren justru telah memberi energi positif bagi
dunia literasi negeri ini yang cenderung lesu dan tertinggal.
Bermacam genre buku
telah menghiasi ruang baca, tinggal kita pilih mana yang disukai. Dari buku
hasil penelitian semisal Pesantren Studies hingga cerita fiksi macam Negeri
Lima Menara, semua tersedia.
Tapi bagi anda yang
‘alergi’ dengan buku-buku tebal, atau malas bertele-tele membaca karya fiksi,
buku ini mungkin dapat menjadi alternatif. Ditulis oleh alumni pesantren, buku
berjudul Lost in Pesantren ini berisi kisah-kisah inspiratif yang mengurai
segala dinamika kehidupan di penjara suci.
Dengan bahasa yang
renyah dan sederhana, pembaca dapat dengan rileks memilih topik mana yang ingin
dibaca. Meski membahas tentang pesantren, buku ini layak dinikmati semua
kalangan.
Saeful Bahri membagi
buah penanya ini ke dalam tiga bagian. Bagian pertama berisikan fragmen
kehidupan pesantren dan laku hidup santri. Dari bab ini kita bisa tahu bahwa
meski terjal, perjalanan menjadi santri tak melulu soal duka cita. Baca saja
artikel berjudul Elegi Santri di Terungku Suci, anda dapat melihat betapa
kreatifnya mereka mengisi waktu.
Selain itu tersaji
pula kisah pribadi sang penulis tentang hari pertama di pesantren, perjumpaan
dengan sang kiai yang terkenal dengan aroma parfumnya, bahkan sampai detik
terakhir perpisahan semua ada. Sangat cocok untuk memancing kenangan masa lalu
bagi para alumni.
Pada bagian
selanjutnya, Saeful Bahri mengulas dengan detail beberapa nilai kehidupan yang
tersemai dan tumbuh subur di rahim pesantren. Tak hanya itu, ia juga mengungkap
fakta bahwa nilai kearifan tersebut amatlah selaras dengan teori penemuan para
intelektual barat.
Soal kecerdasan
adversitas misalnya, buah pemikiran dari Paul G. Stoltz ini menyatakan bahwa
kecerdasan seseorang juga bisa dilihat sewaktu menghadapi kesulitan dalam
hidup. Lebih lanjut, Paul membagi manusia ke dalam tiga tipe ketika punya
masalah, quitter (penyerah), camper (pekemah), climber (pemanjat).
Pesantren sebagai
salah satu model pendidikan yang ada di Indonesia memiliki karakter yang dapat
menunjang proses pembentukan kecerdasan di atas. Kita tahu, sistem kehifupan
pesantren mengajarkan kemandirian, kedisiplinan, daya tahan, dan tempaan untuk
hidup siap susah bukan siap senang.
Di pesantren,
anak-anak usia belasan tahun tinggal tanpa ada pengawasan dan bantuan orang tua
(hal. 95). Kondisi inilah yang kemudian membuat kecerdasan adversiatas santri
terasah hingga membentuk pribadi climber (pemanjat) sebagaimana dalam teori
Stoltz di atas.
Bagian terakhir
sungguh di luar dugaan. Alih-alih bicara soal kepesantrenan, alur berubah
drastis menjadi cerita penuh hikmah seperti di buku dongeng. Sebagian diambil
dari kisah-kisah tempo dulu, sedangkan sisanya adalah catatan perjalanan sang penulis
ketika mengikuti pelatihan di benua Afrika. Tapi mengingat muatannya yang
positif dan memotivasi, kekecewaan akibat tragedi ganti alur ini bisa sedikit
terobati.
Dan penting diketahui
bahwa sebagai intermezzo, masing-masing artikel dalam buku terbitan Republika
ini dipisah dengan kata-kata bijak. Pembaca bisa mengambilnya sebagai motivasi,
atau sekadar pamer status di dunia maya.
Seperti yang
dikatakan sejak awal, buku ini amat sederhana. Andai dikembangkan sedikit saja,
saya yakin hasilnya akan jauh lebih memuaskan. Jika mau, prnulis bisa menggarap
buku susulan yang pembahasannya lebih luas dan mendalam. Tak harus bersifat
ilmiah, novel perjalanan hidup juga boleh. Itupun jika Kang Saeful Bahri selaku
penulis mau. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar