Rabu, 29 Agustus 2018

Zuhairi: Israel dan Negara Yahudi


Israel dan Negara Yahudi
Oleh: Zuhairi Misrawi

Di tengah hiruk-pikuk konflik antara Palestina dan Israel yang tidak pernah surut, kini Israel terus melakukan manuver untuk meneguhkan dirinya sebagai negara Yahudi. Setelah melalui pembahasan yang cukup alot dan berkepanjangan, kurang lebih 5 tahun, akhirnya Benyamin Netanyahu berhasil meloloskan undang-undang yang secara eksplisit menegaskan Israel sebagai negara bagi umat Yahudi (nation state of the Jewish people).

Undang-undang tersebut mendapatkan suara mayoritas dalam voting di parlemen. Koalisi sayap kanan pemerintahan Netanyahu berhasil mengalahkan sayap tengah dan sayap kiri di parlemen. Dari 120 kursi di parlemen, 62 suara setuju, 55 suara menolak, 2 suara abstain, dan 1 suara absen.

Ada dua dampak yang dapat dilihat dari keputusan penting yang diambil oleh Netanyahu dengan dukungan mayoritas parlemen tersebut. Pertama, Israel semakin mengukuhkan dirinya sebagai negara Yahudi. Hal tersebut sesuai dengan cita-cita kaum Zionis yang sejak awal mempunyai mimpi mendirikan negara Yahudi di Palestina.

Sejak merdeka pada 1948, Israel belum bisa memenuhi mimpi kaum Zionis yang ingin menjadikan Israel sebagai negara Yahudi. Ketika merdeka, Israel justru menjadi negara yang menganut demokrasi yang menjamin sepenuhnya kesetaraan dan hak-hak politik bagi setiap warganya. Seluruh warga Israel mempunyai kedudukan hukum yang sama.

Namun, setelah 70 tahun merdeka sayap kanan Israel berhasil mewujudkan impiannya. Israel secara eksplisit memberikan keistimewaan bagi orang-orang Yahudi, karena secara eksplisit menegaskan dirinya sebagai negara bagi orang-orang Yahudi.

Sikap yang diambil Netanyahu bersama partai koalisinya bukan tanpa protes. Kelompok minoritas, khususnya Arab dan Druz, sayap tengah dan sayap kiri menentang keras langkah yang diambil oleh Netanyahu. Langkah yang diambil merupakan sebuah kemunduran dan pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yang menjamin kesetaraan bagi seluruh kelompok.

Kemenangan sayap kanan Israel tidak lain berkat kampanye populis dan menguatnya sayap ultra-nasionalis dalam beberapa tahun terakhir. Israel selalu memainkan kartu politik konservatif, yang menjadikan demokrasi semakin kehilangan substansinya.

Di sisi lain, Netanyahu sedang berjudi untuk memperluas pendudukan Israel di Tepi Barat, yang sedang merencanakan pembangunan ilegal. Kebijakan menjadikan Israel sebagai negara bagi orang-orang Yahudi secara implisit sebagai karpet merah bagi Israel untuk terus melakukan aneksasi terhadap wilayah-wilayah Palestina dengan menggunakan payung Israel sebagai negara Yahudi. Israel juga mengundang orang-orang Yahudi yang berada di Eropa dan Amerika Serikat untuk kembali ke Israel, karena saat ini Israel sudah resmi menjadi negara bagi orang-orang Yahudi.

Di samping itu, ada yang menyatakan langkah yang diambil Netanyahu dalam rangka menutupi dua kasus korupsi yang menimpa dirinya dan keluarganya. Netanyahu sedang mencari simpati dari mayoritas warga Israel dengan mengambil keputusan yang kontroversial tersebut.

Kedua, langkah yang diambil Netanyahu merupakan sinyal kuat bagi Palestina, bahwa di masa mendatang langkah yang akan diambil Israel terkait Palestina akan semakin keras. Israel tidak hanya mempunyai legitimasi politik untuk menjajah Palestina, tetapi sekarang sudah mempunyai legitimasi religius.

Apalagi Israel dalam undang-undang tersebut semakin menegaskan seluruh wilayah Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Maknanya, Israel akan melakukan berbagai caranya untuk terus mempersempit wilayah Palestina, bahkan jika dimungkinkan ingin dihapus dari peta Palestina. Perluasan pendudukan Israel di Tepi Barat merupakan bukti nyata, Israel terus berusaha untuk menguasai Palestina dan menjadikan mimpi Palestina merdeka jauh dari kenyataan.

Maka dari itu, kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh Israel terkait Palestina akan semakin merugikan Palestina. Israel akan terus menekan Palestina, termasuk menggunakan kekerasan dalam menghadapi Palestina. Beberapa perkembangan mutakhir di Tepi Gaza dan Tepi Barat semakin mengukuhkan, bahwa Israel sedang menggunakan kebijakan politik fundamentalis terhadap Palestina.

Di satu sisi Israel ke dalam membangun kebijakan yang menguntungkan kelompok mayoritas Yahudi, sementara ke luar Israel cenderung menggunakan kekerasan terhadap Palestina. Dua kebijakan tersebut saling berkait-kelindan dengan tujuan mengukuhkan eksistensi kaum kanan yang saat ini merupakan kelompok mayoritas di parlemen.

Netanyahu merupakan pihak yang mendulang keuntungan politik dari kebijakan tersebut. Posisinya akan semakin populer di Israel, dianggap sebagai sosok yang berhasil mewujudkan mimpi kaum Zionis.

Meskipun demikian, langkah yang diambil Israel bukan tanpa cacat. Israel yang selama ini dianggap sebagai negara paling demokratis di Timur-Tengah sudah tidak mungkin lagi menyandang status tersebut. Israel tidak pantas lagi disebut disebut sebagai negara demokratis, karena memberikan keistimewaan terhadap kaum Yahudi.

Di samping itu, sikap yang diambil Israel terhadap Palestina akan menjadikan perdamaian di Timur-Tengah semakin jauh dari harapan dunia. Israel sedang berambisi untuk meneguhkan dominasinya di kawasan dengan doktrin Yahudisasi Israel, dan terus melakukan kebijakan yang keras terhadap Israel.

Penyerangan membabi buta Israel ke Jalur Gaza dan Tepi Barat dalam beberapa minggu terakhir membuktikan masa depan Palestina semakin tidak menentu. Jangankan untuk memberikan kemerdekaan bagi Palestina, kepada kelompok minoritas di dalam Israel pun, Netanyahu tengah merenggut kebebasan tersebut.

Tidak menutup kemungkinan, langkah yang diambil Netanyahu tersebut juga membangkitkan gairah kaum fundamentalis di kawasan Timur-Tengah untuk mendirikan negara agama, seperti yang selama ini disebarkan oleh kelompok transnasional.

Pada akhirnya, Israel merupakan contoh nyata dari fundamentalisme agama yang mendapatkan stempel dari negara dengan menggunakan baju demokrasi elektoral. Langkah yang diambil Israel tersebut merupakan ancaman yang serius bagi demokrasi dan perdamaian di Timur-Tengah. []

DETIK, 23 Agustus 2018
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar