Menunggu Capres-Cawapres
Oleh: Azyumardi Azra
Hari-hari menjelang pencalonan pasangan calon presiden-calon wakil
presiden semakin sempit. Mendekati tenggat pada 10 Agustus 2018, belum ada bakal
pasangan capres-cawapres yang pasti. Lobi, manuver, dan pergulatan di antara
partai dan aspiran politik, khususnya cawapres, masih terus berlanjut tanpa
memberikan kepastian bagi publik.
Presiden Joko Widodo yang bisa dipastikan maju kembali sebagai
capres untuk masa jabatan kedua pada 23 Juli 2018 mengadakan pertemuan dengan
enam ketua umum partai koalisi pendukungnya. Keenam partai itu adalah Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa,
Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hanura.
Pertemuan menghasilkan enam keputusan penguatan soliditas koalisi
menghadapi kontestasi pilpres tanpa menyebut siapa bakal cawapres Jokowi. Dalam
kesepakatan itu, nama cawapres akan diumumkan Jokowi sendiri, mengisyaratkan
dia memiliki posisi kuat menentukan pendampingnya.
Pada malam yang sama, Persaudaraan Alumni 212 mengadakan pertemuan
dengan Prabowo Subianto dan Gerindra beserta para pendukungnya. Pertemuan itu
dikatakan mengerucutkan dua nama bakal cawapres pendamping Prabowo.
Dengan PA 212 sebagai ”tuan rumah”, tersirat adanya semangat
politik 212 yang dianggap berhasil dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Di sini,
kesulitan Prabowo berganda. Selain berhadapan dengan komplikasi akibat
kontestasi di antara keempat partai dalam perebutan posisi cawapres, Prabowo
bisa jadi juga menghadapi aspirasi PA 212 yang belum tentu selaras dengan
kemauan Prabowo sendiri atau tuntutan salah satu partai atau keinginan bersama
dua partai atau lebih.
Di tengah kerumitan perkembangan itu, khususnya di poros Prabowo,
masih sulit dipastikan berapa banyak pasangan capres-cawapres yang bakal maju
dalam Pilpres 2019. Hal ini baru menjadi pasti dalam detik-detik terakhir
menjelang pendaftaran ke KPU.
Jika kubu Prabowo bisa mengatasi kontestasi di antara para pihak
pendukungnya dalam penetapan calon pendampingnya, hanya ada dua pasang
capres-cawapres. Namun, jika kubu ini gagal, boleh jadi hanya ada satu pasangan
sehingga kartu suara berisi satu kolom kosong.
Kandidat capres terkuat tentulah Presiden Jokowi dengan dukungan
koalisi enam partai (61,25 persen hasil Pemilihan Legislatif 2014). Dengan sisa
kekuatan empat partai lain yang kurang dari 40 persen—berhadapan dengan threshold 20
persen bagi satu partai atau gabungan partai untuk pencalonan pasangan
capres-cawapres—sulit sekali ada peluang bagi munculnya capres alternatif poros
ketiga selain Jokowi dan Prabowo.
Empat partai tersisa (Partai Gerindra, PAN, PKS, dan Partai
Demokrat) juga sulit mengusung calon alternatif selain Prabowo sebagai capres
mereka. Prabowo yang menurut sejumlah survei adalah calon dengan elektabilitas
tertinggi kedua setelah Jokowi—meski berjarak jauh—tetap masih menjadi figur
tumpuan.
Walaupun Prabowo bisa dikatakan sudah ”disepakati” sebagai capres,
perbedaan tajam terjadi menyangkut cawapres, yaitu di antara PAN dan PKS.
Perbedaan tampak bertambah dengan mendekatnya Partai Demokrat ke kubu Prabowo,
yang berpuncak dengan pertemuan SBY-Prabowo (24/7), yang berpotensi menggeser
PAN dan PKS.
SBY dan Prabowo dapat membangun koalisi terbatas Gerindra dengan
Demokrat karena suara kedua partai mencapai 21 persen. Skenario ini bisa
menghasilkan pasangan Prabowo-Agus Harimurti Yudhoyono. Jika terjadi, PAN dan
PKS punya dua pilihan: keluar dari koalisi kubu Prabowo dengan kemungkinan
bergabung ke kubu Jokowi atau mengambil posisi sebagai penonton.
Ada kemungkinan kecil lain: tiga partai dengan total suara lebih
dari 24 persen (Demokrat 10,19 persen, PAN 7,59 persen, PKS 6,79 persen) dapat
berkoalisi dengan meninggalkan Prabowo dan Gerindra. Jika ini terjadi, Prabowo
tidak dapat menjadi capres karena suara Gerindra hanya 11,81 persen. Namun,
tidak mudah mendapatkan capres lain dengan tingkat elektabilitas yang
memungkinkan bersaing dengan Jokowi.
Kontestasi politik yang seru menyangkut cawapres terjadi tidak
hanya di kubu Prabowo. Meski kelihatan lebih adem, kontestasi juga terjadi di
antara aspiran cawapres pendamping Jokowi. Di antara sejumlah nama yang disebut
dapat menjadi kandidat cawapres, yang terlihat paling terbuka menyatakan
hasratnya adalah Cak Imin (Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB), Airlangga
Hartarto (Ketua Umum Partai Golkar), dan dalam kadar lebih rendah Gus Romy (M
Romahurmuziy, Ketua Umum PPP).
Meski Jokowi memperlihatkan sejumlah ”isyarat” kepada ketiga
figur, tetap belum bisa dipastikan Jokowi bakal memilih mereka. Jokowi beberapa
kali menyatakan, nama-nama itu masih tersimpan di sakunya.
Berbarengan dengan itu, lapangan untuk cawapres bagi kubu Jokowi
seolah menjadi terbuka dengan adanya uji materi tentang Pasal 169 Huruf n
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) yang diajukan Perindo terkait
dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Intinya, Perindo menggugat
frasa ”tidak berturut-turut” dalam UU Pemilu yang menurut mereka tidak sejalan
dengan Pasal 7 UUD 1945.
Uji materi ini terkait dengan Wapres Jusuf Kalla yang telah dua
kali menjabat wapres secara tidak berturut-turut. Kontroversi merebak ketika
Wapres Kalla melalui penasihat hukumnya menyatakan sebagai ”pihak terkait”.
Meski ada kalangan yang memersepsikan gugatan Perindo itu secara
negatif, uji materi tersebut penting untuk memberikan kepastian hukum. MK dapat
saja menerima atau menolak uji materi itu, yang kemudian menjadi ketetapan
hukum.
Selebihnya, setiap capres seyogianya mempertimbangkan secara
cermat dalam menetapkan cawapresnya. Pertimbangan paling utama adalah
kepentingan negara-bangsa Indonesia. Meski wakil presiden hanya pembantu
presiden, dia harus punya integritas kuat, akseptabilitas tinggi, kapabilitas
teruji, kompetensi utuh, dan pengalaman luas agar bersama presiden bisa ikut
lebih memajukan Indonesia. []
KOMPAS, 26 Juli 2018
Azyumardi Azra Profesor UIN
Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan AIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar