Jenderal Besar Meminta Nasihat Abu ‘Ali
al-Daqaq
Dalam kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah
al-Muluk, Imam al-Ghazali menceritakan sowan seorang Isfahsalar Naisabur
(Jenderal Besar Naisabur) bernama Abu Ali bin Ilyas ke majelis Imam Abu Ali
al-Daqaq (w. 405 H). Diceritakan:
كان
أبو علي بن إلياس إسفهسلار نيسابور فحضر يوما عند الشيخ أبي علي الدقاق رحمه الله,
وكان زاهد زمانه وعالم أوانه, فقعد علي ركبتيه بين يديه وقال: عظني! فقال له أبو علي: أيها الأمير,
أسألك مسألة وأريد الجواب عنها بغير نفاق. فقال: أجل أجيبك. فقال: أيها الأمير أيما
أحب إليك المال أو العدو؟ فقال: المال أحب إليّ من العدو. فقال: كيف تترك ما تحبه
بعدك وتصطحب العدو الذي لا تحبه معك؟ فبكي الأمير ودمعت عيناه وقال: نعم الموعظة
هذه!
Abu Ali bin Ilyas, Isfahsalar wilayah
Naisabur suatu hari sowan pada Syekh Abu ‘Ali al-Daqaq rahimahu Allah. Beliau
adalah seorang zahid di zamannya dan alim di eranya. JenderalAbu Ali bin Ilyas
duduk berhadapan dengan beliau dan berkata: “Berikan aku nasihat!”
Imam Abu Ali al-Daqaq berkata kepadanya:
“Wahai amir, aku hendak menanyakan satu persoalan padamu. Aku harap kau
menjawabnya tanpa kenifakan.”
Abu Ali bin Ilyas berujar: “Baik, akan
kujawab pertanyaan tuan syekh.”
Imam al-Daqaq bertanya: “Manakah yang lebih
kau cintai, harta atau musuh?”
Abu Ali bin Ilyas menjawab: “Harta lebih aku cintai
daripada musuh.”
Kemudian Imam al-Daqaq berucap: “Bagaimana
bisa tuan meninggalkan sesuatu (harta) yang tuan cintai setelah (kematian) tuan
dan membawa musuh yang tuan tidak cintai bersama tuan (di kehidupan setelah
mati)?”
Amir itu menangis. Matanya tertutup, sembari
berujar: “Benar yang tuan nasihatkan ini.” (Abu Hamid al-Ghazali, al-Tibr
al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988,hlm 45).
****
Nasihat Imam Abu Ali al-Daqaq ini menarik
untuk direnungkan. Sebab mengedepankan kemanusiaan di atas segalanya. Ia
menarik kemanusiaan masuk ke wilayah akhirat, dengan menegaskan bahwa harta
yang lebih dicintai oleh jenderal itu tidak akan dibawa mati, tapi musuh yang
ia benci akan turut bersamanya di kehidupan mendatang. Seburuk-buruknya musuh,
ia tetap manusia yang memiliki peluang sama dengan kita di akhirat kelak,
tergantung bagaimana cara ia hidup.
Dengan kata lain, musuh harus lebih dicintai,
bukan harta. Cara mencintainya dengan menghilangkan perilaku buruk mereka dan
membawa mereka ke jalan yang benar. Jangan membencinya karena permusuhan.
Cintailah mereka karena kemanusiaan. Sebanyak apa pun harta yang kita
kumpulkan, mereka tidak akan dibawa mati. Seburuk apapun musuh yang kita
miliki, ia akan bersama kita di akhirat kelak.
Dengan mengatakan nasihat ini kepada seorang
jenderal besar, Imam Abu Ali al-Daqaq berharap agar jenderal tersebut lebih
mengutamakan dakwah dan pendekatan persuasif dalam membebaskan suatu daerah,
bukan penyerangan membabi buta untuk mendapatkan harta rampasan perang. Setiap
orang memiliki hak mendengarkan seruan kebenaran, melintasi jalan yang lurus,
dan tentu saja memasuki surga Allah. Jika ada seseorang yang mengambil hak
tersebut dari orang lain, entah sangsi apa yang akan diberikan Allah kepadanya,
kita tidak mengetahuinya.
Karena itu, sangat penting untuk tidak
menilai seseorang berdasarkan kemungkinan tempatnya di akhirat kelak.
Maksudnya, jika kita melihat seorang pendosa, kita sebaiknya tidak
memperlakukannya sebagai penghuni neraka ketika ia masih hidup. Memandangnya
dengan jijik dan hina. Kita harus membuka pintu kembali selebar-lebarnya.
Selama nafas masih di kandung badan, ayat Allah yang mengatakan “serulah ke
jalan Tuhanmu dengan hikmah, perkataan yang baik dan berdebat dengan sikap yang
lebih baik dari lawan” harus tetap dilakukan sebagai salah satu fungsi dari
ayat tersebut. Di samping banyaknya ayat yang menunjukkan kemaha-ampunan Allah
SWT.
Dari perspektif tersebut, ada beberapa hikmah
yang dapat kita ambil dari kisah di atas. Pertama, jangan sekali-kali
memastikan sudut pandang akhirat dan menggunakannya. Itu sama saja dengan
mengambil hak “malik yaum al-din—penguasa hari pembalasan” Tuhan. Tidak ada
satu pun dari kita yang tahu kedudukan seseorang di akhirat kelak, kecuali
orang-orang yang telah termaktub dalam al-Qur’an seperti Abu Lahab dan Fir’aun.
Apalagi jika sudut pandang itu berdasarkan kebencian atau perbedaan selera.
Kita perlu berhati-hati.
Kedua, pandanglah musuh dengan kacamata
manusia, yang memiliki kemungkinan menjadi baik, menjadi teman, bahkan menjadi
saudara. Ini sangat penting. Sebab, seperti halnya bulan purnama di malam hari.
Ketika seseorang ditanya, “apa yang kau lihat di atas sana?” Kebanyakan orang
akan menjawab, “bulan purnama.” Tapi mereka lupa, bahwa di atas bulan purnama
ada langit yang membentang luas. Besarnya melebihi besarnya bulan purnama.
Luasnya melebihi luasnya bulan purnama. Tapi terlupakan oleh manusia ketika
bulan purnama berada di bawahnya. Itulah manusia. Satu kesalahan seseorang
seperti bulan purnama. Berpuluh-puluh kebaikan yang pernah dilakukannya,
seketika sirna ketika satu kesalahan itu terjadi.
Singkatnya, kisah di atas mengajarkan kita
untuk melihat manusia secara menyeluruh. Jangan memandangnya sepotong-sepotong.
Manusia itu makhluk paling fluktuatif yang diciptakan Tuhan, naik-turun,
berubah-ubah dan tidak statis. Karena itu, Tuhan memberikan manusia peluang
untuk memohon ampun kepadaNya, berkali-kali, meski berulangkali berbuat dosa,
Tuhan tetap membuka pintu ampunanNya. Pertanyaannya,siapa kita yang berani
mengambil peluang itu dari manusia lainnya? Sudahkah kita bersungguh-sungguh
menggunakan peluang itu sebelum mengambil hak ampunan manusia lainnya? Wallahu
a’lam. []
Muhammad Afiq Zahara, pernah nyantri di
Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar