Mengintip Karya Terbaru Prof Quraish Shihab
Dalam waktu dekat, Prof Quraish Shihab
akan meluncurkan buku terbarunya Islam yang Saya Anut: Dasar-dasar Ajaran
Islam. Buku setebal 346 halaman ini diterbitakan Lentera Hati, dan rencananya
akan mulai beredar pada Januari 2018.
Prof Quraish menulis buku ini atas dasar
permintaan banyak orang yang ingin mengetahui Islam secara ringkas dan padat.
Memang sudah cukup banyak buku tentang keislaman, tetapi sebagian di antaranya
sangat luas dan uraiannya belum terlalu diperlukan banyak kaum Muslimin apalagi
para pemula. Sebagian lainnya sederhana dalam uraiannya, tapi belum mencakup apa
yang perlu diketahui setiap Muslim.
Mengatasi hal tersebut, ahli hadits Indonesia
ini menjelaskan Islam secara sederhana dan mengena. Dari sisi fiqih Imam
Syafi’i, dari sisi akidah Imam Asy’ari, maupun sisi akhlak Imam
al-Ghazali.
Buku ini tidak panjang sehingga membosankan,
tapi juga tidak terlalu singkat sehingga masih menimbulkan dahaga. Penulis
berusaha mengetengahkan pembahasan yang amat perlu diketahui tanpa harus
menyinggung aneka pendapat yang dapat membingungkan. Dengan demikian,
harapannya, dapat terhindar dari kekeliruan dan kesalahpahaman.
Di satu-dua tempat, buku ini bernada agak
autobiografi. Boleh jadi, buku ini semacam catatan personal bagaimana Prof
Quraish memahami dan menjalani Islam selama ini, sambil ia menjelaskan kepada
mereka yang menginginkan buku ini hadir. Di sisi lain, buku ini juga tepat
dibaca oleh mereka yang sudah bergulat dengan isu-isu keislaman karena banyak
sekali mutiara nasihat dari penulis untuk diresapi.
Bagi pembaca NU Online, kami hadirkan petikan
buku tersebut.
Keragaman Pendapat dan Bagaimana Mengunduh
Hikmah
Nabi Muhammad menyampaikan ajaran Islam di
Mekkah dan Madinah (dua kota suci, Haramain), dan dari sana tersebar ke
berbagai penjuru dunia. Di Haramain inilah ajaran Islam berinteraksi dengan
budaya masyarakat setempat. Budaya itu ada yang dikukuhkan, ada yang ditolak,
dan ada juga yang diluruskan. Dalam konteks ini Al-Qur’an yang menjadi sumber
pokok ajaran Islam dengan tegas dan jelas memerintahkan kepada Nabi Muhammad
agar mengukuhkan ma’ruf (budaya positif mayarakat) yang tak bertentangan dengan
nilai-nilai Al-Qur’an dan melarang budaya yang menyimpang (munkar).
Ketika Islam yang Nabi Muhammad ajarkan
bersentuhan dengan masyarakat lain yang berbeda budaya dengan masyarakat Mekkah
dan Madinah, prinsip di atas terjadi. Tapi, karena ajaran Islam begitu kuat
serta keyakinan pemeluknya begitu teguh seringkali mengantar kepada melemah
bahkan tergusurnya budaya setempat. Sampai-sampai, pada gilirannya, menjadikan
bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur’an mengusur bahasa setempat yang
tadinya digunakan masyarakat seperti yang terjadi di banyak masyarakat Timur
Tengah atau sedikitnya menggantikannya dengan bahasa Al-Qur’an seperti halnya
di Indonesia.
Memang dalam akulturasi lazim terjadi proses
budaya yang kuat memengaruhi budaya yang lemah. Kendati demikian, betapa banyak
budaya positif di Haramain yang tetap dipertahankan, terutama jika ada petunjuk
keagamaan yang melarang secara pasti terkait hal tersebut. Dari sinilah
kemudian lahir kaidah al-adat muhakkamah. Maksudnya, kebiasaan satu masyarakat
yang tak bertentangan dengan tuntunan agama yang bersifat pasti (qath’i) dapat
dijadikan pertimbangan hukum. Pada gilirannya, hal ini menjadi faktor yang
menghasilkan keragaman pendapat dalam ajaran Islam; keragaman yang dapat
diterima dan sah adanya.
Di sisi lain para pemikir–siapa, kapan dan
apapun objek pemikirannya—tak dapat melepaskan diri dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan kondisi sosial budaya masyarakat, serta kecenderungan pribadi
masing-masing. Dari sini lahir aneka pendapat keislaman yang beragam, khususnya
dalam rincian ajarannya. Perbedaan yang menyangkut rincian, bahkan bisa
terjadi antara dua orang nabi yang hidup semasa dan di lokasi yang sama, serta
menghadapi kasus yang sama sebagaimana halnya Nabi Daud dan putranya, Nabi
Sulaiman, a.s. (baca tafsir QS. al-Anbiya’ [21]: 77-78). Bahkan seorang pemikir
bisa menghasilkan dua pendapat yang berbeda akibat perbedaan waktu dan lokasi
di mana dia berpikir. Imam Syafi’i, misalnya, melahirkan pandangan keislaman
yang berbeda ketika bermukim di Irak dan saat dia tinggal di Mesir.
Dari fakta-fakta ini tidak keliru bila ada
yang berpendapat bahwa kita bisa menemukan aneka pendapat yang berbeda dalam
rincian ajaran Islam yang, antara lain, dipicu perbedaan kondisi masyarakat
yang ditemui sang pemikir. Perbedaan pendapat ini telah lahir sejak masa
sahabat-sahabat Nabi saw dan itu berlanjut hingga kini.
Faktor penting lainnya yang melahirkan
keragaman dan aneka pendapat dalam ajaran Islam adalah teks Al-Qur’an dan
penilaian terhadap keabsahan Sunah Nabi Muhammad saw. Meskipun teks ayat-ayat
Al-Quran disepakati dan diyakini semua Muslim sebagai bersumber dari Allah swt,
dan merupakan firman-Nya yang disusun langsung oleh Dia Yang Maha Mengetahui,
pada umumnya makna kosa kata yang digunakan kitab suci tersebut mengandung
aneka makna. Bahkan ada juga yang bertolak belakang, seperti kata قرؤء (quru) dalam QS. al-Baqarah [2]:228.
Bisa juga perbedaan pendapat atau penafsiran
lahir karena ada ulama memahami kata atau susunan redaksi yang dia tafsirkan
dalam arti hakiki, sementara yang lain memahaminya dalam makna majazi
(metafora). Faktor lain yang dapat menimbulkan perbedaan adalah ada atau
tidaknya penyisipan kata atau kalimat dalam susunan ayat atau hadist.
Tentu masih ada sekian faktor yang dapat
menimbulkan perbedaan dan keragaman pendapat, tapi buku ini bukan dalam rangka
merincinya sedetail mungkin. Yang ingin penulis tekankan adalah perbedaan
pandangan telah terjadi sejak masa Rasulullah saw.
Membaca faktor-faktor di atas dan aneka
faktor lain yang tidak terhidang di sini, kita dapat berkata bahwa Al-Quran dan
sunah merupakan salah satu sebab pokok dari perbedaaan pendapat keagamaan di
kalangan pemikir Islam. Bahkan lebih tegas dapat dikatakan bahwa Allah swt
memang menghendaki adanya perbedaan itu.
Al-Quran adalah “Hidangan Allah”. Tentu saja
hidangan Allah Yang Maha Kaya itu banyak dan beraneka ragam. Dia Yang Maha
Pemurah itu mempersilahkan kita untuk memilih “apa yang terhidang.” Setiap
Muslim yang memenuhi syarat-syarat ilmiah dipersilahkan untuk berijtihad,
yakni mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menemukan hukum rinci yang
bersifat amaliyah dengan merujuk kepada dalil-dalil agama. Sementara bagi
mereka yang tidak mampu dipersilahkan memilih salah satu dari pendapat
para ulama yang berijtihad tersebut.
Adanya keaneka ragaman pendapat menyangkut
rincian ajaran Islam memberi kemudahan kepada umat dalam melaksanakan tuntunan
agama. Ketika seseorang mengalami kesulitan untuk melaksanakan satu tuntunan
maka dia memiliki peluang untuk menghindari kesulitan itu dengan memilih
pendapat lain. Hal ini selaras dengan bunyi satu ungkapan yang dinisbahkan
kepada Nabi Muhamad saw. atau tokoh selain beliau: “Perbedaan
pendapat pada umatku adalah rahmat.” Rahmat di sini tentu saja bila perbedaan
tersebut dipahami dan disikapi dengan benar.
Abu Ishaq Asy-Syathibi (w. 790 H -1388 M)
menegaskan dalam al- Muwafaqat:”Setiap masalah yang terjadi dalam (ajaran)
Islam, lalu terjadi perbedaan sesama (muslim) tapi perbedaan ini tak
mengakibatkan permusuhan, kebencian atau perceraiberaian maka kita mengetahui
bahwa perbedaan tersebut bagian dari (ajaran) Islam; setiap masalah yang
muncul lalu mengakibatkan permusuhan, ketidakharmonisan, caci maki, atau
pemutusan silaturahmi maka kita mengetahui bahwa sedikit pun ia bukanlah bagian
dari agama karena itu—lanjut dia—kendati perbedaan adalah keniscayaan,
pertemuan dan persatuan tetap harus dapat wujud/diwujudkan.”
Perbedaan yang terjadi antara pakar Islam
yang kompeten dalam hal-hal yang berhubungan dengan rincian tuntunan agama pada
akhirnya dapat dipertemukan dalam satu wadah pertemuan. Pada hakikatnya semua
yang berbeda itu ingin mengikuti tuntunan agama. Karena itu agama melarang
menuding atau menuduh nama kelompok umat Islam yang dinilai sesat. Salah satu
sebabnya, masih menurut Asy-Syathiby, adalah karena hal tersebut dapat
menimbulkan perpecahan dan ketidakharmonisan di kalangan kaum Muslimin. Padahal
Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk menjaga keharmonisan hubungan. Itu
juga yang menjadi latar belakang mengapa Nabi saw. menganjurkan agar kita
menghentikan diskusi atau perbantahan yang mengarah kepada pertikaian. []
Muhammad Husnil, Pemred Penerbit Lentera
Hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar