Pemerintah, "dari Kami", "dari Mereka"
Oleh: Azyumardi Azra
Dalam beberapa bulan terakhir, khusus- nya sejak masa sebelum dan
setelah Pilkada DKI Jakarta, berkembang anggapan di kalangan warga bahwa
pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bukan minna
(kosakata Arab) yang berarti "dari [pihak atau golongan] kami".
Sebaliknya, pemerintah adalah minhum atau "dari [pihak atau golongan]
mereka". Ada kalangan warga yang lebih jauh berpersepsi, pemerintahan
Jokowi-JK sebagai "anti-Islam".
Indikasinya, menurut mereka, terlihat keti- ka aparat pemerintah
memeriksa beberapa figur ulama atau ustaz-tindakan yang mereka sebut sebagai
"kriminalisasi ulama". Retorika dan tuduhan yang gebyah uyah itu
berulang-ulang dibantah Polri khususnya. Jika ada beberapa orang yang memiliki
kredensial sebagai ulama atau ustaz diperiksa Polri, jelas itu bersifat
kasuistik, bukan gejala umum menyangkut ulama secara keseluruhan.
Penjelasan dan klarifikasi itu tidak bisa menepis persepsi tentang
minna dan minhum. Jika pembelahan minna dan minhum ini terus berlanjut, jelas
tidak kondusif bagi masa depan NKRI yang bersatu dengan UUD 1945, Pancasila,
dan Bhinneka Tunggal Ika.
Secara retrospektif, persepsi dan sikap di kalangan umat Islam
tentang pemerintahan Jokowi-JK terkait minna dan minhum sebe- narnya bukan hal
baru. Pemerintah Indonesia sejak masa Soekarno, Soeharto, Megawati
Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono tidak jarang juga dilihat dari
perspektif minna dan minhum.
Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
agaknya nyaris tidak dilihat dalam kerangka minna dan minhum. Hal ini terkait
kenyataan, keduanya memiliki kredensial Islam-masing-masing pernah menjadi
Ketua Umum ICMI dan Ketua Umum PB NU.
Perspektif minna dan minhum muncul dari waktu ke waktu. Tidak
jarang penghadapan oposisional ini muncul dalam pembicaraan, diskusi, dan
seminar akademik-ilmiah. Persepsi minna dan minhum sudah menjadi gejala
psikologis laten yang tersimpan dalam psike orang atau kalangan tertentu. Psike
ini kemudian dapat beramalgamasi dengan teori konspirasi: bahwa langkah dan
kebijakan pemerintah bertujuan memojokkan atau memarjinalisasi orang atau
kelompok tertentu.
Penghadapan oposisional antara minna dan minhum lebih jauh bisa
dilacak dalam banyak ayat Al Quran.
Secara historis di Indonesia, cara pandang dan sikap minna dan
minhum berakar sejak zaman kolonialisme Belanda. Berhasil ditundukkan kekuatan
kolonialisme Belanda melalui berbagai cara (penaklukan, perjanjian/plakat
panjang atau pendek dan kooptasi), ulama umumnya dan pengikutnya memilih melawan
secara diam (silent opposition).
Menghindari aksi perlawanan bersenjata yang disebut Belanda
sebagai wujud "Islam politik" yang berbahaya bagi kelangsungan status
quo kekuasaan kolonial, para ulama dan kaum santri mengalihkan perhatian dan
energi mengembangkan Islam kultural. Perubahan bentuk perlawanan ini terbukti
kemudian menjadi blessing in disguise bagi umat Islam Nusantara.
Berkat perjuangan melalui Islam kultural, Muslim berhasil
mengembangkan banyak lembaga pendidikan sejak dari pesantren, madrasah, dan
sekolah Islam. Selain itu juga dapat dibangun rumah sakit, klinik, rumah yatim
piatu. Semua ini menjadi bagian dari warisan Islam Indonesia yang sangat kaya.
Pada saat yang sama, perlawanan secara diam terhadap Pemerintah
Belanda menciptakan distansi ketat (watertight) di antara kedua pihak.
Pemerintah kolonial bisa dipahami memang bukan minna, sebaliknya adalah minhum.
Persepsi dan sikap minna dan minhum tidak berakhir dengan tamatnya
penjajahan Belanda dan Jepang. Pasca-kemerdekaan, sikap seperti ini terus
bertahan sampai sekarang. Sekali lagi, persepsi minna dan minhum tidak hanya
merugikan hubungan antara warga dan pemerintah, tetapi juga intra-umat Islam
dan antar-umat beragama.
Secara akademik-ilmiah, subyek minna dan minhum serta isu-isu
terkait lain telah menjadi kajian sejumlah Indonesianis. Dalam kajian-kajian
itu terlihat konsekuensi dan implikasinya terhadap kehidupan kebangsaan,
intra-umat Islam, serta antara umat Islam dan komunitas non-Muslim.
Pembelahan minna dan minhum merupakan bentuk kontraksi (penciutan
atau penyempitan) pengertian "umat". Sidney Jones dalam artikelnya
yang sudah menjadi klasik "The Contraction and Expansion of the Umat"
(1984) mengungkapkan penyempitan cakupan "umat", yang semula
menginklusi umat Islam keseluruhan menjadi hanya bagian tertentu umat. Dengan
penyempitan itu, umat (suatu kelompok) adalah minna, sedangkan mereka (meski
merupakan kelompok mayoritas) adalah minhum.
Penyempitan pengertian dan cakupan "umat" membuat Islam
dan umat Islam menjadi kecil dan kabur. Implikasi ini diungkapkan William R
Roff dalam Islam Obscured?: Some Reflections on Studies of Islam and Society
(1985). Roff melihat ada usaha sistematis kalangan Indonesianis mengecilkan
cakupan Islam dan umat Islam kaitannya dengan fenomena sosial, budaya, dan
politik di Indonesia. Hasilnya, Islam Indonesia seolah-olah menjadi
"kabur" atau tidak jelas.
Argumen sama juga diajukan Karel Steenbrink dalam buku Dutch
Colonialism and Islam (2006). Steenbrink melihat usaha sistematis sarjana
Belanda mengecilkan Islam dengan ranah pengaruhnya di Indonesia.
Penciutan cakupan umat, eksklusi dan penghadapan oposisional minna
dan minhum jelas tidak menguntungkan negara-bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
persepsi dan sikap semacam itu saatnya untuk ditinggalkan. Sebaliknya,
perspektif dan sikap inklusif yang justru mesti ditumbuhkembangkan. []
KOMPAS, 20 Juni 2017
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia (AIPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar