Jumat, 28 Juli 2017

Mahfud MD: Masih soal Threshold



Masih soal Threshold
Oleh: Moh Mahfud MD

BANYAK yang belum paham bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai tugas dan wewenang yang terbatas. Buktinya, jika ada masalah hukum yang berkaitan dengan fungsi dan wewenang MK, tidak jarang banyak yang serta-merta menuding lembaga yudikatif tersebut mengeluarkan putusan yang tidak bisa dilaksanakan, menyisakan bom masalah, bahkan menuding MK terlalu pasif.

Contoh yang teranyar adalah penetapan adanya ambang batas (threshold) jumlah kursi (20%) atau perolehan suara (25%) bagi parpol peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ditetapkan secara dramatis pada sidang DPR, 21 Juli 2017 dini hari, ketika mengesahkan RUU Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Karena pengambilan keputusan yang dilakukan secara dramatis dan disusul oleh pro dan kontra itu maka ada yang menudingkan penyebabnya kepada MK. Mereka mengatakan bahwa kekisruhan itu disebabkan MK tidak tegas menyatakan apakah pilpres itu mempersyaratkan adanya threshold ataukah tidak.

Tudingan seperti itu tentu tidak benar dan didasarkan pada ketidakpahaman atas fungsi dan wewenang MK. Harus diketahui bahwa MK merupakan negative legislator, lembaga yang hanya bisa membatalkan isi UU yang dimintakan pembatalan melalui judicial review (JR). Sebagai lembaga yudikatif, MK itu berbeda dengan lembaga legislatif yang di Indonesia terdiri atas DPR dan pemerintah.

DPR dan pemerintah sebagai lembaga legislatif merupakan positive legislator, yakni lembaga yang membuat UU. Sementara MK sebagai lembaga yudikatif merupakan negative legislator yakni lembaga yang membatalkan UU.

MK tidak boleh membuat putusan yang bersifat mengatur karena itu ranah legislatif. MK juga tidak boleh aktif mencari-cari perkara untuk dibatalkan kalau tidak ada yang mengajukan permohonan pembatalan kepadanya, meskipun misalnya MK tahu ada peraturan yang salah atau inkonstitusional. MK sebagai lembaga peradilan harus bersikap pasif.

Dalam konteks inilah saya ingin menjawab tudingan bahwa sebenarnya MK sama sekali tidak teledor atau lalai ketika memutuskan Perkara No 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa pilpres dan pileg pada pemilihan umum tahun 2019 harus dilaksanakan serentak. MK hanya menyatakan pilpres dan pileg “harus serentak” dan tidak “mengatur” ada atau tidaknya threshold serta kisarannya karena beberapa alasan.

Pertama, karena pemohon yang pada waktu itu dimotori oleh dosen UI Effendi Gazali tidak mengajukan pengujian atau permohonan pembatalan terhadap pasal yang mengatur threshold. Adalah pantangan bagi MK untuk memutus hal-hal yang tidak dimohonkan di dalam perkara.

Kedua, kalau MK menentukan kisaran threshold berarti MK merampas ranah legislatif karena telah ikut-ikutan membuat peraturan, padahal wewenangnya adalah membatalkan dan bukan membuat peraturan.

Sepanjang sejarahnya, dalam bidang judicial review, MK tidak pernah menjadi positive legislator dalam arti mengatur dengan membuat putusan yang di luar permintaan (ultra petita) karena hal itu tidak dibenarkan oleh konstitusi kita. Maka itu, keliru jika ada orang yang mengatakan atau menyesalkan sikap MK yang misalnya mengatakan, kok MK diam saja padahal banyak UU yang bertentangan dengan konstitusi.

Prinsipnya, MK tidak boleh mengadili sesuatu yang tidak diperkarakan atau tidak diminta untuk diadili dan tidak boleh membuat putusan yang bersifat mengatur.

Batasan itu hanya bisa diterobos dengan dua hal. Pertama, jika permohonan dalam perkara itu menjadi jantung dari UU sehingga jika satu pasal pokok dibatalkan maka beberapa pasal lain, bahkan seluruhnya, harus juga dibatalkan seperti yang terjadi pada UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Kedua, jika putusan MK yang mengabulkan satu permohonan menyebabkan terjadinya kekosongan hukum yang tidak bisa ditunda pengaturannya sampai ada pengaturan sendiri oleh lembaga legislatif, seperti yang terjadi pada kasus pembolehan penggunaan paspor dan KTP dalam Pileg 2009. Ini pun ada batasnya, yakni keberlakuan putusan MK yang bersifat mengatur itu hanyalah sementara, sampai lembaga legislatif bisa bersidang untuk membuatnya sendiri.

Jadi, harap dipahami bahwa saat mengadili perkara pileg dan pilpres serentak itu, MK bukan lalai (melainkan memang sengaja) tidak mengatur soal threshold karena selain hal tersebut tidak menjadi bagian dari yang dimohonkan untuk diuji juga tidak boleh dilakukan oleh MK, kecuali kalau mau melanggar posisinya dari negative legislator menjadi positive legislator.

Pada waktu itu MK menegaskan sikapnya bahwa urusan threshold ditentukan oleh lembaga legislatif sendiri sebagai opened legal policy, bukan oleh MK. Meskipun begitu, saya masih ingat bahwa semangat yang menyertai perkara itu adalah ditiadakannya threshold, baik menurut permohonan penguji dan saksi-saksinya maupun berdasar diskusi-diskusi para hakim MK sendiri.

Nah, kalau sekarang lembaga legislatif sudah menetapkan threshold 20% (kursi di DPR) dan 25% (suara pemilih) yang didasarkan pada opened legal policy dan kemudian diuji lagi ke Mahkamah Konstitusi dengan alasan pengaturannya bertentangan dengan konstitusi, maka nasib threshold itu kita percayakan saja kepada sembilan hakim MK untuk memutuskannya.

MK pasti bisa menggali, apakah ada bagian-bagian dari konstitusi kita yang dilanggar oleh ketentuan tentang kisaran threshold tersebut. Kita tunggu saja sambil meredakan kegaduhan.

Kalau nanti MK sudah memutus maka sesuai dengan prinsip pemberlakuan dan penegakan hukum, kita harus menerimanya sebagai putusan yang mengikat. Ada dalil yang bersifat universal, “hukmul haakim yarfaul khilaaf”, putusan hakim itu mengakhiri perselisihan. []

KORAN SINDO, 22 Juli 2017
Moh Mahfud MD | Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar