Perppu No 2 Tahun 2017 Ancaman Demokrasi?
Oleh: Rumadi Ahmad
PRESIDEN RI, Joko Widodo, mengambil langkah berani dengan
menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2
Tahun 2017 sebagai pengganti UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (UU Ormas). Sebelumnya saya tidak menduga pemerintah akan
menempuh jalan perppu. Hal yang saya tunggu justru langkah konkret yang akan
dilakukan setelah pemerintah melalui Menko Polhukam, Wiranto, mengumumkan akan
mengambil langkah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 8 Mei. Namun,
hingga dua bulan tidak tampak langkah apa pun yang dilakukan sebelum akhirnya
Presiden menandatangani perppu pada 10 Juli.
Pemerintah rupanya tidak yakin UU Ormas bisa digunakan untuk
menjerat organisasi seperti HTI yang mengusung ideologi khilafah. Secara garis
besar, perppu itu berisi empat hal besar. Pertama, perluasan pendefinisian
tentang ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Jika dalam UU Ormas
yang dimaksud ormas yang membawa ajaran atau paham yang bertentangan dengan
Pancasila hanya mencakup ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, perppu ini
ditambah dengan paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan UUD
1945. Perluasan definisi ini didasarkan pada kenyataan, tantangan kehidupan
bernegara yang hendak mengganti dasar negara bukan hanya dari kelompok yang
sudah disebut dalam UU Ormas, melainkan juga dari kelompok ideologi lain,
termasuk ideologi yang berbalut agama.
Kedua, perincian atas sejumlah larangan yang tidak boleh dilakukan
ormas. Larangan-larangan ini sebenarnya sudah ada dalam UU Ormas, tapi dalam
perppu larangan itu diperinci item-itemnya, terkait dengan nama, lambang dan
bendera; pendanaan; tindakan permusuhan berdasar suku agama, rasa atau
golongan, penistaan agama, tindakan kekerasan dan mengganggu ketertiban umum,
melakukan tindakan yang menjadi tugas aparat penegak hukum, sampai tindakan
separatisme dan menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham
yang bertentangan dengan Pancasila.
Ketiga, menyederhanakan mekanisme dan prosedur pembubaran ormas.
Jika dalam UU Ormas mekanisme dan prosedurnya dianggap panjang dan
berbelit-belit, perppu ini menyederhanakan menjadi tiga langkah: (1) peringatan
tertulis cukup satu kali dan ditunggu sampai tujuh hari; (2) penghentian
kegiatan; dan (3) pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status
badan hukum sekaligus dinyatakan pembubaran. Mekanisme peradilan yang
sebelumnya ada dalam UU Ormas dihilangkan. Inilah salah satu poin yang menyulut
kontroversi.
Keempat, penambahan ancaman pidana. UU Ormas dapat dikatakan miskin ancaman pidana. Perppu ini justru memberikan ancaman pidana yang cukup berat, bukan hanya untuk pengurus ormas, melainkan juga anggotanya. Ancaman hukumannya 6 bulan sampai 1 tahun; 5 sampai 20 tahun untuk tindak pidana tertentu. Bukan hanya itu, perppu ini juga membuka peluang adanya pidana tambahan di samping pidana penjara.
Tanggapan pro-kontra
Seperti biasa, perppu ini menyulut perdebatan publik yang secara
garis besar bisa dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang sepenuhnya
menerima dan mendukung perppu. Perppu dianggap sebagai jawaban cerdas atas
situasi mutakhir ancaman terhadap ideologi Negara. Nahdlatul Ulama (NU) dan 13
organisasi Islam yang tergabung dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI)
dapat disebut mewakili arus ini.
Kedua, kelompok yang menolak total seluruh isi perppu. Mereka
berargumentasi tidak ada situasi genting yang memaksa sebagai persyaratan
normatif-konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Mereka
tidak melihat adanya gerakan-gerakan, termasuk yang berbaju agama, yang bisa
dikategorikan sebagai ancaman terhadap ideologi. Kalaupun ada, gerakan itu
bagian dari kebebasan berpikir dan berekspresi yang dijamin konstitusi.
UU Ormas, menurut kelompok ini, sudah lebih dari cukup untuk
melindungi ideologi negara. Perppu ini juga dianggap, bukan saja langkah mundur
demokrasi, melainkan juga ancaman terhadap demokrasi itu sendiri. Lebih dari
itu, perppu ini membuka munculnya otoritarianisme baru karena menghilangkan mekanisme
peradilan dalam pembubaran ormas. Sejumlah aktivis HAM--tentu tidak semua,
oposisi politik Presiden Joko Widodo--pendukung ideologi Islamisme dengan
berbagai variasinya berada dalam barisan ini.
Ketiga, kelompok yang pada prinsipnya menerima perppu, tapi mereka
memberikan sejumlah catatan kritis. Catatan kritis itu terutama terkait dengan
kemungkinan adanya penyimpangan (abuse) dalam implementasi yang bisa menjadi
ancaman bagi demokrasi. Ancaman hukuman seumur hidup dan pidana 5 sampai 10
tahun yang juga dikenakan kepada pengurus ormas yang dianggap melakukan
penodaan agama terlalu berlebihan.
Kita sudah punya pasal 156a KUHP yang ancaman maksimalnya hanya 5
tahun penjara yang dalam implementasinya sering eksesif. Kelompok mayoritas
bisa menyesatkan dan menganggap kelompok tertentu melakukan penodaan agama
sebagaimana praktik yang selama ini terjadi, perppu ini justru semakin
memperberat ancaman hukumannya.
Pro-kontra tentu wajar dan sehat saja dalam demokrasi. Bahkan,
perdebatan itu merupakan bagian dari proses pendewasaan demokrasi. Karena
bangsa ini sudah memilih demokrasi sebagai jalan konstitusionalnya, pro-kontra
tersebut harus berjalan sehat dan tetap dalam koridor demokrasi.
Perppu jalan konstitusional
Saya termasuk kelompok ketiga, menerima perppu meski dengan
catatan kritis. Perppu ialah jalan legal sebagai hak konstitusional yang
diberikan konstitusi kepada Presiden. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor
138/PUU-VII/2009 telah memberi penafsiran konstitusional mengenai kegentingan
yang memaksa sebagai persyaratan diperbolehkannya Presiden mengeluarkan Perppu:
1) adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum, 2) UU
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut tidak ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada UU tapi tidak memadai, dan 3) kekosongan hukum
tersebut tidak bisa diatasi dengan membuat UU secara prosedur biasa karena
membutuhkan waktu lama.
Dari perspektif itu, pemerintah Indonesia cukup punya alasan untuk
mengeluarkan perppu karena UU Ormas dianggap tidak memadai. Kegentingan yang
memaksa tidak perlu menunggu adanya konflik bersenjata atau konflik
antarkelompok karena persoalan ideologi.
Karena anggapan adanya kegentingan yang mendesak, pemerintah
seharusnya segera mengimplementasikan perppu meski belum mendapat persetujuan
DPR. Perppu bisa langsung berlaku ketika sudah dikeluarkan. Jika tidak segera
diimplementasikan, itu justru bisa mengurangi kepercayaan tentang kegentingan
yang memaksa itu.
Jika sebelumnya Menko Polhukam sudah menyebut HTI sebagai target
pembubaran karena gerakan politik dan sulit dijerat dengan UU Ormas karena
ideologi berbalut agama, sekarang tidak lagi ada alasan menunda-nunda.
Kalaupun, misalnya, nanti DPR tidak menyetujui perppu itu, setidaknya
pemerintah sudah berbagi tanggung jawab. Jika organisasi seperti HTI tidak bisa
dibubarkan, kalau di kemudian ada persoalan seperti konflik karena benturan
ideologi, pemerintah tidak bisa disalahkan. Justru DPR yang bisa ditunjuk
sebagai lembaga negara yang melindungi gerakan politik yang mengancam ideologi
negara.
Ancaman demokrasi?
Ada beberapa kritik penting yang layak mendapat perhatian serius.
Pertama, perppu dianggap sebagai langkah mundur, bahkan ancaman bagi demokrasi,
membuka bangkitnya rezim otoriter. Kekhawatiran ini merupakan bagian dari
trauma orde baru yang barangkali agak berlebihan. Atmosfer kehidupan politik
sekarang ini sudah jauh berbeda. Menurut saya, perppu ini justru menjadi bagian
dari upaya untuk mencari keseimbangan baru dalam berdemokrasi.
Tidak bisa dimungkiri, sejak reformasi 1998, Indonesia menjadi
pasar ideologi. Ideologi apa pun bisa dipasarkan di Indonesia. Pemerintah
biasanya ambigu, tidak berani mengambil tindakan. Takut dituduh otoriter.
Kekhawatiran itu semakin menjadi-jadi kalau gerakan politik ideologis itu
berbaju agama. Mengambil tindakan terhadap gerakan itu bukan saja akan dituduh
otoriter, melainkan juga akan dituduh antiagama.
Dalam kasus HTI, misalnya, banyak orang yang mengembangkan opini
pemerintahan Jokowi dituduh anti-Islam. Padahal yang dipersoalkan bukan Islam,
melainkan gerakan politiknya. Faktanya, banyak gerakan-gerakan Islam yang sudah
mengakar kuat di negeri ini, bahkan ikut membidani lahirnya Negara Indonesia, seperti
NU dan Muhammadiyah bisa hidup dan tidak ada yang mempersoalkan eksistensi
mereka. Mengapa? Karena organisasi-organisasi ini tidak mempunyai agenda
mengubah dasar negara, malah bisa menyatukan keislaman dan kebangsaan.
Kedua, dihilangkannya mekanisme peradilan dalam pembubaran ormas
memang patut disayangkan.
Namun, ormas yang merasa diperlakukan sewenang-wenang masih bisa
menempuh keadilan melalui PTUN. Keputusan pembubaran itu bisa diuji
keabsahannya di PTUN. Dengan demikian, peluang untuk mendapat keadilan melalui
lembaga peradilan masih tetap terbuka.
Kita harus mengawasi secara ketat agar implementasinya tidak
abusive. Demokrasi yang diperjuangkan dengan susah payah tetap harus dijaga
meskipun kita perlu mencari keseimbangan-keseimbangan baru. []
MEDIA INDONESIA, 17 July 2017
Rumadi Ahmad | Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM
(Lakpesdam) PBNU, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar