Jumat, 21 Juli 2017

Rumadi: Perppu No 2 Tahun 2017 Ancaman Demokrasi?



Perppu No 2 Tahun 2017 Ancaman Demokrasi?
Oleh: Rumadi Ahmad

PRESIDEN RI, Joko Widodo, mengambil langkah berani dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2 Tahun 2017 sebagai pengganti UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Sebelumnya saya tidak menduga pemerintah akan menempuh jalan perppu. Hal yang saya tunggu justru langkah konkret yang akan dilakukan setelah pemerintah melalui Menko Polhukam, Wiranto, mengumumkan akan mengambil langkah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 8 Mei. Namun, hingga dua bulan tidak tampak langkah apa pun yang dilakukan sebelum akhirnya Presiden menandatangani perppu pada 10 Juli.

Pemerintah rupanya tidak yakin UU Ormas bisa digunakan untuk menjerat organisasi seperti HTI yang mengusung ideologi khilafah. Secara garis besar, perppu itu berisi empat hal besar. Pertama, perluasan pendefinisian tentang ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Jika dalam UU Ormas yang dimaksud ormas yang membawa ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila hanya mencakup ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, perppu ini ditambah dengan paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945. Perluasan definisi ini didasarkan pada kenyataan, tantangan kehidupan bernegara yang hendak mengganti dasar negara bukan hanya dari kelompok yang sudah disebut dalam UU Ormas, melainkan juga dari kelompok ideologi lain, termasuk ideologi yang berbalut agama.

Kedua, perincian atas sejumlah larangan yang tidak boleh dilakukan ormas. Larangan-larangan ini sebenarnya sudah ada dalam UU Ormas, tapi dalam perppu larangan itu diperinci item-itemnya, terkait dengan nama, lambang dan bendera; pendanaan; tindakan permusuhan berdasar suku agama, rasa atau golongan, penistaan agama, tindakan kekerasan dan mengganggu ketertiban umum, melakukan tindakan yang menjadi tugas aparat penegak hukum, sampai tindakan separatisme dan menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Ketiga, menyederhanakan mekanisme dan prosedur pembubaran ormas. Jika dalam UU Ormas mekanisme dan prosedurnya dianggap panjang dan berbelit-belit, perppu ini menyederhanakan menjadi tiga langkah: (1) peringatan tertulis cukup satu kali dan ditunggu sampai tujuh hari; (2) penghentian kegiatan; dan (3) pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum sekaligus dinyatakan pembubaran. Mekanisme peradilan yang sebelumnya ada dalam UU Ormas dihilangkan. Inilah salah satu poin yang menyulut kontroversi.

Keempat, penambahan ancaman pidana. UU Ormas dapat dikatakan miskin ancaman pidana. Perppu ini justru memberikan ancaman pidana yang cukup berat, bukan hanya untuk pengurus ormas, melainkan juga anggotanya. Ancaman hukumannya 6 bulan sampai 1 tahun; 5 sampai 20 tahun untuk tindak pidana tertentu. Bukan hanya itu, perppu ini juga membuka peluang adanya pidana tambahan di samping pidana penjara.

Tanggapan pro-kontra

Seperti biasa, perppu ini menyulut perdebatan publik yang secara garis besar bisa dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang sepenuhnya menerima dan mendukung perppu. Perppu dianggap sebagai jawaban cerdas atas situasi mutakhir ancaman terhadap ideologi Negara. Nahdlatul Ulama (NU) dan 13 organisasi Islam yang tergabung dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) dapat disebut mewakili arus ini.

Kedua, kelompok yang menolak total seluruh isi perppu. Mereka berargumentasi tidak ada situasi genting yang memaksa sebagai persyaratan normatif-konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Mereka tidak melihat adanya gerakan-gerakan, termasuk yang berbaju agama, yang bisa dikategorikan sebagai ancaman terhadap ideologi. Kalaupun ada, gerakan itu bagian dari kebebasan berpikir dan berekspresi yang dijamin konstitusi.

UU Ormas, menurut kelompok ini, sudah lebih dari cukup untuk melindungi ideologi negara. Perppu ini juga dianggap, bukan saja langkah mundur demokrasi, melainkan juga ancaman terhadap demokrasi itu sendiri. Lebih dari itu, perppu ini membuka munculnya otoritarianisme baru karena menghilangkan mekanisme peradilan dalam pembubaran ormas. Sejumlah aktivis HAM--tentu tidak semua, oposisi politik Presiden Joko Widodo--pendukung ideologi Islamisme dengan berbagai variasinya berada dalam barisan ini.

Ketiga, kelompok yang pada prinsipnya menerima perppu, tapi mereka memberikan sejumlah catatan kritis. Catatan kritis itu terutama terkait dengan kemungkinan adanya penyimpangan (abuse) dalam implementasi yang bisa menjadi ancaman bagi demokrasi. Ancaman hukuman seumur hidup dan pidana 5 sampai 10 tahun yang juga dikenakan kepada pengurus ormas yang dianggap melakukan penodaan agama terlalu berlebihan.

Kita sudah punya pasal 156a KUHP yang ancaman maksimalnya hanya 5 tahun penjara yang dalam implementasinya sering eksesif. Kelompok mayoritas bisa menyesatkan dan menganggap kelompok tertentu melakukan penodaan agama sebagaimana praktik yang selama ini terjadi, perppu ini justru semakin memperberat ancaman hukumannya.

Pro-kontra tentu wajar dan sehat saja dalam demokrasi. Bahkan, perdebatan itu merupakan bagian dari proses pendewasaan demokrasi. Karena bangsa ini sudah memilih demokrasi sebagai jalan konstitusionalnya, pro-kontra tersebut harus berjalan sehat dan tetap dalam koridor demokrasi.

Perppu jalan konstitusional

Saya termasuk kelompok ketiga, menerima perppu meski dengan catatan kritis. Perppu ialah jalan legal sebagai hak konstitusional yang diberikan konstitusi kepada Presiden. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 telah memberi penafsiran konstitusional mengenai kegentingan yang memaksa sebagai persyaratan diperbolehkannya Presiden mengeluarkan Perppu: 1) adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum, 2) UU yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut tidak ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tapi tidak memadai, dan 3) kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan membuat UU secara prosedur biasa karena membutuhkan waktu lama.

Dari perspektif itu, pemerintah Indonesia cukup punya alasan untuk mengeluarkan perppu karena UU Ormas dianggap tidak memadai. Kegentingan yang memaksa tidak perlu menunggu adanya konflik bersenjata atau konflik antarkelompok karena persoalan ideologi.

Karena anggapan adanya kegentingan yang mendesak, pemerintah seharusnya segera mengimplementasikan perppu meski belum mendapat persetujuan DPR. Perppu bisa langsung berlaku ketika sudah dikeluarkan. Jika tidak segera diimplementasikan, itu justru bisa mengurangi kepercayaan tentang kegentingan yang memaksa itu.

Jika sebelumnya Menko Polhukam sudah menyebut HTI sebagai target pembubaran karena gerakan politik dan sulit dijerat dengan UU Ormas karena ideologi berbalut agama, sekarang tidak lagi ada alasan menunda-nunda. Kalaupun, misalnya, nanti DPR tidak menyetujui perppu itu, setidaknya pemerintah sudah berbagi tanggung jawab. Jika organisasi seperti HTI tidak bisa dibubarkan, kalau di kemudian ada persoalan seperti konflik karena benturan ideologi, pemerintah tidak bisa disalahkan. Justru DPR yang bisa ditunjuk sebagai lembaga negara yang melindungi gerakan politik yang mengancam ideologi negara.

Ancaman demokrasi?

Ada beberapa kritik penting yang layak mendapat perhatian serius. Pertama, perppu dianggap sebagai langkah mundur, bahkan ancaman bagi demokrasi, membuka bangkitnya rezim otoriter. Kekhawatiran ini merupakan bagian dari trauma orde baru yang barangkali agak berlebihan. Atmosfer kehidupan politik sekarang ini sudah jauh berbeda. Menurut saya, perppu ini justru menjadi bagian dari upaya untuk mencari keseimbangan baru dalam berdemokrasi.

Tidak bisa dimungkiri, sejak reformasi 1998, Indonesia menjadi pasar ideologi. Ideologi apa pun bisa dipasarkan di Indonesia. Pemerintah biasanya ambigu, tidak berani mengambil tindakan. Takut dituduh otoriter. Kekhawatiran itu semakin menjadi-jadi kalau gerakan politik ideologis itu berbaju agama. Mengambil tindakan terhadap gerakan itu bukan saja akan dituduh otoriter, melainkan juga akan dituduh antiagama.

Dalam kasus HTI, misalnya, banyak orang yang mengembangkan opini pemerintahan Jokowi dituduh anti-Islam. Padahal yang dipersoalkan bukan Islam, melainkan gerakan politiknya. Faktanya, banyak gerakan-gerakan Islam yang sudah mengakar kuat di negeri ini, bahkan ikut membidani lahirnya Negara Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah bisa hidup dan tidak ada yang mempersoalkan eksistensi mereka. Mengapa? Karena organisasi-organisasi ini tidak mempunyai agenda mengubah dasar negara, malah bisa menyatukan keislaman dan kebangsaan.

Kedua, dihilangkannya mekanisme peradilan dalam pembubaran ormas memang patut disayangkan.
Namun, ormas yang merasa diperlakukan sewenang-wenang masih bisa menempuh keadilan melalui PTUN. Keputusan pembubaran itu bisa diuji keabsahannya di PTUN. Dengan demikian, peluang untuk mendapat keadilan melalui lembaga peradilan masih tetap terbuka.

Kita harus mengawasi secara ketat agar implementasinya tidak abusive. Demokrasi yang diperjuangkan dengan susah payah tetap harus dijaga meskipun kita perlu mencari keseimbangan-keseimbangan baru. []

MEDIA INDONESIA, 17 July 2017
Rumadi Ahmad | Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM (Lakpesdam) PBNU, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar