Mengukur Deradikalisasi
Oleh: Said Aqil Siroj
Kasus teror di Kampung Melayu yang terjadi dua hari sebelum
Ramadhan menambah hiruk pikuk teror di negeri kita dan di belahan bumi lain,
seperti bom di Manchester, London; bom di Iran; dan juga penyerbuan oleh
kelompok Maute di Marawi, Filipina.
Teror yang merangsek di negeri kita agaknya makin menjadi pemicu
untuk menengok kembali program deradikalisasi.
Saat ini, berderet penelitian mutakhir mengungkap tumbuh kembangnya
radikalisme di masyarakat yang seolah kian menjadi "samsak"
menghujamnya pukulan bertubi terhadap deradikalisasi. Sampai-sampai, muncul
anggapan "deradikalisasi gagal" karena memandang deradikalisasi
berjalan secara tidak konsisten dan berkesinambungan.
Otokritik perlu dilayangkan, terkait efektivitas deradikalisasi.
Benarkah deradikalisasi mengalami "kegagalan"?
Tentunya, masih perlu "uji kelayakan". Rasanya, tak bisa serta-merta
untuk "mengukur" deradikalisasi dengan penampakan yang hanya sejauh
pandang.
Menetapkan ukuran
Ukuran boleh ada, tetapi hasil bisa beda. Santoso dulu pernah
mengikuti program deradikalisasi, tetapi kemudian lebih memilih menjadi teroris
hingga akhir hayatnya. Abu Tholut yang juga mengikuti program deradikalisasi di
dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) akhirnya sekarang ikut terlibat aktif
dalam program deradikalisasi melalui ceramah dan tulisan yang men-counter
pikiran radikal terutama Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Hal serupa juga terjadi pada Sufyan Tsauri, Iqbal Husaini, dan
Khairul Ghazali yang kini ikut berkiprah dalam deradikalisasi.
Sudah cukup banyak peneliti yang menetapkan "ukuran"
terhadap keberhasilan deradikalisasi. Kemudian, para peneliti ini menyodorkan
timbangan yang dipandang memiliki tingkat akurasi memadai. Misalnya saja,
ukuran sukses deradikalisasi yang dipaparkan Elaine Pressman (2009), yaitu para
napi teroris dan mantan napi teroris terlihat sudah mulai menolak ideologi yang
kaku, penolakan terhadap kekerasan, ada bukti mereka melakukan perubahan ke
tujuan-tujuan non-kekerasan, mereka mempunyai motivasi untuk melakukan
deradikalisasi, dan ada dukungan komunitas dalam proses deradikalisasi.
Akan tetapi, ukuran yang ditawarkan ini tidaklah baku. Ini
sifatnya hanya sebagai indikator umum. Ada kesepakatan bahwa ukuran
keberhasilan deradikalisasi tak bisa tunggal (one size fits all).
Keberhasilannya sangat bergantung pada konteks dan latar belakang individu
masing-masing, kendati bisa ditarik indikator-indikator umum.
Mafhum bahwa deradikalisasi bertujuan untuk menurunkan
"tensi" paham-paham kekerasan yang sudah melekat dan merasuk dalam
pikiran. Secara karakter, kelompok radikal selama ini menjadikan kekerasan
sebagai cara dan solusi yang niscaya.
Dengan adanya deradikalisasi, diharapkan bukan lagi kekerasan yang
menjadi titik pijak dan solusi, tetapi kesadaran dan tindakan untuk
mengistimewakan musyawarah dan toleransi tanpa ada unsur kebencian dan
kekerasan. Sebab musababnya bisa karena pemahaman agama yang tidak utuh
(syamil), yang kemudian membuat seseorang bertindak kalap (syiddah
al-tanathu'). Cara pandang yang sempit dalam mencerna setiap kejadian menjadi
pangkal tindakan ngawur.
Dalam program deradikalisasi yang ditekankan adalah kesadaran
bersedia berdialog. Mereka diperlakukan layaknya manusia, penghormatan,
kesantunan, penuh persaudaraan, serta tidak merendahkan. Dengan begitu,
deradikalisasi menjadi manhaj (metode) untuk mengubah seseorang menjadi lebih
toleran, yang dimulai sejak dalam pikiran. Karena itu, yang diharapkan adalah
tidak akan ada lagi kebencian, dendam kesumat dan kesalahpahaman. Tidak akan
ada lagi sikap dan tindakan mudah mengafirkan orang lain, hanya karena
perbedaan pandangan.
Deradikalisasi memang menempuh jalan berliku. Ia tidak simsalabim.
Tamsilnya, kita menapaki jalan terjal penuh kelok, maka untuk mencapai jalan
yang lempang kita juga harus siap kembali menapaki jalan terjal. Dalam
menjalankan deradikalisasi, agar bisa mencapai jalan lempang, kita harus siap
untuk terus melakukan terobosan-terobosan dan kreasi dalam hal pendekatan,
sejalan dengan dinamika yang ada, baik menyangkut penilaian terhadap kondisi
yang membuat seseorang menjadi radikal, hingga menyesuaikan dengan perkembangan
zaman.
Deradikalisasi yang dilakukan selama ini juga hendak menjawab
kekhawatiran para mantan teroris, ketika sudah terjun ke masyarakat. Intinya,
deradikalisasi mencakup aspek kemanusiaan, pendidikan (mengajarkan moderasi),
kepedulian sosial dan pemberdayaan secara ekonomi.
Secara operasional, dalam deradikalisasi ada identifikasi yang
merupakan rangkaian awal dari empat tahapan yang akan dilaksanakan, yaitu
identifikasi, rehabilitasi, reedukasi dan resosialisasi. Proses identifikasi
memiliki makna yang penting bagi warga binaan yang akan mengikuti tahapan
program deradikalisasi yang berkelanjutan, bersambung dan memberdayakan
kehidupan, baik bagi mereka yang sedang berada di dalam lapas maupun yang telah
berada di tengah masyarakat.
Bekerja senyap
Menangani deradikalisasi butuh kecermatan dalam menelisik varian
dan tipologi mereka. Oleh karena itu, "tim kombatan" deradikalisasi
perlu berbekal pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Mereka harus mampu
menaksir, menakar, dan menilai seraya memiliki keterampilan komunikasi yang
baik.
Setiap pertemuan dengan sasaran, mereka harus senantiasa berlaku
sabar, santun dan lembut. Mereka menjadi pendengar setia segala keluh kesah
para napi teroris. Dalam bekerja, tim harus memastikan kesinambungan, baik
dalam hal dukungan kebijakan maupun merespons panggilan pribadi para napi
teroris. Sehingga, tak mengherankan terjalin hubungan yang baik antara anggota
tim dan para mantan napi teroris, keluarga, serta jaringannya.
Bukankah keberadaan teroris bagaikan "hantu"? Mereka
bisa bergentayangan di mana-mana. Aksinya pun tak bisa ditebak, tiba-tiba
menggelegar dan membuat publik gemetar. Apalagi yang dilakukan oleh apa yang
disebut lone wolf. Tipe ini sulit dideteksi seperti dalam kasus penyerangan di
Paris dan London. Sungguh, ini fakta yang dilakukan oleh kalangan
"teroris aktif".
Untuk para mantan teroris yang sudah bebas dari penjara,
keberadaannya memang sudah terdeteksi karena lazimnya sudah terdata di lapas.
Hanya saja, mereka tak jarang pindah alamat sehingga langkah menemui kadang
tidak mudah. Sementara untuk jaringan yang sering kali sulit dideteksi, untuk
mengungkapnya perlu berbagai pendekatan kepada para "narasumber",
yaitu mantan napi teroris.
Di sinilah peran tim deradikalisasi yang melakukan perburuan
terhadap jaringan radikal secara senyap. Mereka ibaratnya Ghostbuster, tetapi
bukan untuk "menghabisi", melainkan melalui "jalan damai"
mendekati dan merangkul para anggota jaringan, dengan tujuan menetaskan
kesadaran kebangsaan dan keagamaan moderat.
Jika aksi teroris membuat galau masyarakat, aksi tim
deradikalisasi ini berperan melempangkan jalan menuju rasa aman kepada
masyarakat. Pasokan data yang dihasilkan dapat menjadi rujukan untuk melihat
peta terorisme berikut jaringannya.
Kesimpulannya, deradikalisasi tetap harus berjalan, bukan sekadar
basa-basi. Program ini perlu dilakukan secara lebih baik dan terukur seiring
dengan dinamika terorisme yang kian mengganas. []
KOMPAS, 23 Juni 2017
Said Aqil Siroj ; Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar