Belajar
Politik Moral dari Khalifah Hasan bin Ali
Oleh: Nadirsyah Hosen
Politik
kekuasaan itu bukan hanya soal kemenangan, tetapi juga kerelaan menerima
kekalahan demi menjaga kerukunan dan persatuan. Tidak ada contoh yang paling
pas selain yang dicontohkan oleh Sayyidina Hasan, Khalifah kelima dalam sejarah
Islam. Cucu Nabi, yang diriwayatkan wajahnya amat mirip Datuknya ini, menjadi
khalifah setelah ayahnya, Ali bin Abi Thalib, meninggal dibunuh. Bagaimana
kisahnya? Mari simak penuturuan Imam al-Thabari dan Imam al-Suyuthi dalam kitab
Tarikh mereka masing-masing.
Pada 17
Mei tahun 660 Sayyidina Hasan dibai’at sebagai Khalifah kelima. Qais bin Sa’ad,
panglima perang pasukan Ali bin Abi Thalib, adalah orang pertama yang memba’iat
Hasan sebagai Khalifah, kemudian diikuti oleh penduduk Kufah. Begitulah tren
saat itu, khalifah dibai’at secara personal dan kemudian diikuti oleh bai’at
berjamaah di masjid. Tidak ada pemilihan umum. Tidak ada pula pembatsan periode
jabatan. Itu sebabnya dalam sejarah khilafah intrik-intrik kekuasaan selalu
terjadi.
Berita
Hasan telah dibai’at menjadi Khalifah terdengar oleh Gubernur Mu’awiyah di
Damaskus yang sebelumnya berperang dengan Khalifah Ali pada Perang Shiffin.
Mu’awiyah murka dengan naiknya Hasan sebagai khalifah karena ia sendiri telah
lama berambisi menduduki posisi puncak itu. Pasukannya diperintahkan untuk
siaga satu.
Khalifah
Hasan sejak awal berusaha untuk menjaga persatuan. Beliau berpidato: “Kalian
harus sepenuhnya patuh padaku: berdamai dengan siapa yang aku ajak berdamai,
atau perang dengan siapa yang aku perintahkan untuk kita perangi.” Ini berbeda
dengan sikap Qais bin Sa’ad yang masih semangat hendak menumpas gerakan makar
Mu’awiyah. Itu sebabnya langkah awal yang Khalifah Hasan lakukan justru
mencopot Qais bin Sa’ad dan menggantikannya dengan Ibnu Abbas yang semula merupakan
Gubernur Bashrah.
Moral
pasukan menjadi runtuh akibat pergantian panglima ini. Bahkan ketika beredar
rumor Qais terbunuh, banyak penduduk Kufah yang berlari meminta perlindungan
kepada pasukan Mu’awiyah. Imam al-Thabari menceritakan bagaimana para pejabat
berebutan harta bahkan sampai karpet tempat Khalifah Hasan duduk pun
diperebutkan untuk mereka miliki. Mereka merasa Khalifah Hasan kalah pamor dan
akan segera ditaklukkan pasukan Mu’awiyah.
Khalifah
Hasan bergerak meninggalkan Ibu Kota Kufah dan sementara menetap di Mada’in.
Terjadilah surat-menyurat antara Hasan dan Mu’awiyah. Masing-masing berargumen
tentang siapa yang lebih pantas dan layak menjadi khalifah. Hasan berargumen
tentang keutamaan dan kedekatannya secara nasab dengan Rasulullah. Mu’awiyah
mengajukan alasan senioritas dan juga pengalaman. Mu’awiyah menawarkan sejumlah
kompensasi bila Hasan bersedia menyerahkan posisi Khalifah kepadanya.
Khalifah
Hasan akhirnya menyetujui mundur dari posisinya. Dengan mundurnya Hasan, perang
saudara yang sudah dimulai sejak Perang Jamal dan Perang Shiffin bisa
dihentikan. Imam Thabari mencatat Sayyidina Hasan mundur pada 6 Mei tahun 661.
Kemudian Hasan meninggalkan Kufah dan tinggal di Madinah.
Sembilan
tahun beliau menjalani hidup sebagai rakyat biasa sebelum kemudian wafat
diracun. Salah satu butir kekhawatiran Mu’awiyah yang menjadi khalifah pada
usia 61 tahun adalah kalau ia wafat kemudian Hasan akan naik kembali menjadi
Khalifah. Itu sebabnya banyak yang menduga wafatnya Hasan adalah sebuah
peristiwa politik. Imam Suyuthi menceritakan Hasan diracun istrinya sendiri
yang disuruh oleh Yazid bin Mu’awiyah dengan iming-iming akan dinikahi Yazid,
namun ternyata hanya dimanfaatkan dan ditipu saja. Benar atau tidaknya
informasi ini, Wa Allahu a’lam bi al-Shawab.
Mu’awiyah
ternyata panjang umur dan berkuasa selama 20 tahun. Kemudian ia menunjuk
anaknya sendiri, Yazid, sebagai Khalifah. Mundurnya Sayyidina Hasan merupakan
berakhirnya periode khilafah, persis seperti yang diindikasikan dalam Hadits Nabi
bahwa Khilafah itu hanya berlangsung selama 30 tahun, dan setelah itu yang
berkuasa adalah para raja (Sunan Abi Dawud, Musnad Ahmad, dan Sunan Turmudzi).
Ibn
Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah (17/8) mengonfirmasi hal ini. Dengan
demikian, masa selanjutnya itu sebutannya saja khilafah tapi sistemnya sudah
menyerupai kerajaan. Ini fakta yang seringkali disembunyikan oleh mereka yang
kini bekoar-koar hendak mendirikan kembali Khilafah.
Salah
satu butir perjanjian Mu’awiyah dengan Hasan adalah tidak ada caci maki
terhadap Imam Ali. Pada kenyataannya, mimbar masjid di masa Mu’awiyah berkuasa
dipenuhi dengan caci maki terhadap Imam Ali. Sayyidina Hasan yang sudah legowo
mengalah demi persatuan umat juga seringkali mendapati orang yang nyinyir dan
nyindir kepadanya.
Imam
Suyuthi mencatat ada yang memberi salam kepada Hasan dengan ucapan: “Wahai
orang yang menghinakan kaum muslimin”. Mu’awiyah pernah pula terlambat
mengirimkan uang pensiun kepadanya sehingga Sayyidina Hasan harus hidup
menderita.
Akibat
keputusannya untuk mundur, Sayyidina Hasan dan keluarganya harus menanggung
beban berat. Beliau mengatakan, “Saya tidak bermaksud menghinakan umat Islam
dengan mundur dari posisi Khalifah, saya hanya tidak ingin membunuh kalian
dengan kekuasaan yang saya miliki dan tengah kalian perebutkan.”
Kerelaan
menerima kekalahan demi menjaga persatuan seringkali tidak meredakan cacian dan
kenyinyiran pihak yang berkuasa. Caci maki lewat mimbar Jum’at terus
berlangsung sampai Khalifah Umar bin Abdul Azis kelak menghentikan praktik
tercela itu. Padahal yang mereka caci itu adalah menantu dan cucu Nabi.
Kemudian ketika Dinasti Umayyah tumbang, gantian mereka yang dicaci-maki di
mimbar Jum’at yang sama oleh Dinasti Abbasiyah. Dan sejarah selalu berulang.
Terbunuhnya
Imam Ali dan Imam Hasan (dan kemudian Imam Husain) merupakan cerita kelam
kekalahan keluarga Nabi dan mereka yang memperjuangkan politik moral. Mereka
yang memilih memenangkan politik kekuasaan dengan menghalalkan segala cara akan
dikenang sejarah sebagai mereka yang tega melakukan politisasi ayat suci.
Tetapi
mereka yang tengah mabuk kemenangan tentu tidak peduli dengan segala macam
ajaran moral kitab suci–yang ironisnya selalu mereka klaim bahwa perjuangan
mereka itu hendak membela kitab suci. Alih-alih membelanya, mereka sendiri yang
tengah menistakannya! []
GEOTIMES,
28 April 2017
Nadirsyah
Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan dosen senior di Faculty
of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar