Memaknai Kekalahan Politik dalam Lintasan Sejarah Islam
Oleh:
Nadirsyah Hosen
Bagaimana
memahami sebuah kekalahan politik dalam perspektif sejarah Islam? Kita akan
mendapati serpihan yang menarik: kebenaran tak selamanya berupa kemenangan,
sebagaimana kekalahan tak otomatis mengonfirmasi sebuah kesalahan.
Sejarah Nabi Muhammad dan keluarganya malah begitu pilu untuk
dituturkan. Mari kita simak bersama agar kemenangan tak membuat kita menjadi
jumawa, sedangkan kekalahan tak membuat kita berlarut dalam nestapa.
Abu Sufyan bin Harb adalah salah satu pemuka suku Quraisy yang
pada awalnya sangat menentang Islam. Sejarah mencatat kekejaman dan kekejian
yang dilakukan Abu Sufyan terhadap Nabi Muhammad dan para sahabat beliau. Dia
juga pernah mengadakan persekutuan jahat dengan pemimpin Quraisy lainnya dengan
membuat surat pernyataan memboikot Bani Hasyim, dengan tidak mengadakan
hubungan perkawinan dan jual-beli. Kita tahu Rasulullah berasal dari Bani
Hasyim.
Kekejaman Abu Sufyan dan konconya membuat Nabi Muhammad pergi
berhijrah ke Madinah. Abu Sufyan seorang saudagar kaya raya yang biasa memimpin
kafilah berdagang. Diceritakan oleh Muhammad Husein Haekal dalam buku Hayatu Muhammad bahwa
suatu saat Rasul mendengar Abu Sufyan melintasi area dekat Madinah dan beliau
berusaha mencegat kafilah Abu Sufyan tersebut. Abu Sufyan meminta bantuan
kepada penduduk Mekkah.
Gara-gara Abu Sufyan inilah terjadi Perang Badar, di mana pasukan
Nabi Muhammad meraih kemenangan.
Wafatnya sejumlah pemuka suku Quraisy saat Perang Badar membuat
Abu Sufyan memegang kendali penuh. Abu Sufyan yang memegang panji al-Uqab dari suku Quraisy.
Dialah pemimpin pasukan musuh saat terjadi Perang Uhud yang berujung pada
kekalahan pasukan Nabi Muhammad. Saat Perang Uhud itulah paman Nabi, Hamzah,
dibunuh secara keji oleh Wahsyi, budak Hindun yang merupakan istri Abu Sufyan.
Komplit sudah!
Abu Sufyan masuk Islam dalam peristiwa Fathu Mekkah ketika pasukan
Nabi memasuki kota Mekkah tanpa perlawanan. Dari sudut ini Abu Sufyan kalah.
Namun sejarah selanjutnya berbalik arah. Mu’awiyah, anak Abu Sufyan, yang
meraih kemenangan dalam panggung sejarah sepeninggal Nabi.
Mu’awiyah bin Abu Sufyan menjabat Gubernur Damaskus selama 20
tahun. Mu’awiyah memerangi pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam Perang
Shiffin. Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah
mengatakan kedua sahabat Nabi ini telah berijtihad, dan harus kita hormati,
meski kebenaran sejatinya berada di pihak Ali. Namun kitab Tarikh al-Khulafa Imam
Suyuthi bercerita bagaimana dengan cerdik pasukan Mu’awiyah yang hampir kalah
mengangkat Mushaf al-Qur’an di ujung pedang mereka dan meminta perundingan.
Ali bin Abi Thalib paham bahwa ini hanya taktik belaka dan meminta
pasukannya terus menggempur Mu’awiyah. Namun, atas nama mencintai Mushaf
al-Qur’an, pasukan Ali menjadi ragu melanjutkan pertempuran. Taktik kotor
Mu’awiyah berhasil. Terjadilah gencatan senjata dan perundingan yang berakhir
tragis untuk pasukan Khalifah Ali, sang menantu Nabi.
Mu’awiyah juga berhasil meminta Khalifah Hasan, cucu Nabi,
mengundurkan diri dari jabatan khalifah dan menyerahkannya kepada Mu’awiyah.
Mu’awiyah menunjuk anaknya, Yazid, sebagai Khalifah. Saya ceritakan sebelumnya
dalam tulisan saya bahwa inilah cikal bakal berdirinya Dinasti Umayyah [Belajar Politik
Moral dari Khalifah Hasan bin Ali]. Pasukan Yazid juga dengan kejam membunuh Sayyidina
Husein, cucu Nabi lainnya, di Karbala. Dinasti Umayyah kemudian berkuasa selama
90 tahun.
Kita lihat sejarah telah ditulis dengan tinta pilu. Pada masa
Nabi, Abu Sufyan menyerah kalah dan masuk Islam. Namun setelah itu, keturunan
Rasulullah mengalami kekalahan secara politik dan hukum. Sedangkan keturunan
Abu Sufyan berkuasa dengan gagah perkasa. Siapakah yang sebenarnya menang dan
siapa yang sejatinya kalah? Tuhan bekerja dengan misterius.
Jangankan politik yang terjadi pada masa kekhilafahan Islam,
bahkan sejarah para Nabi pun banyak yang berujung pada kekalahan. Nabi Yahya dipenggal
kepalanya. Nabi Zakaria digergaji tubuhnya saat bersembunyi di dalam pohon.
Nabi Isa dikhianati muridnya sendiri. Apakah berarti ketiga Nabi tersebut
dan juga Imam Ali, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husein, dan keturunannya yang
kalah secara politik dan hukum lantas kita anggap bersalah, dan lawan-lawan
mereka yang menang kita anggap berada dalam kebenaran? Tentu tidak demikian,
bukan?!
Masalahnya tidak sesederhana itu. Kekalahan dan kemenangan politik
di dunia belum tentu memiliki nilai yang sama kelak di depan Tuhan Yang Maha
Esa. Orang bijak selalu percaya ada hikmah di balik semua peristiwa. Maka,
kearifan menjadi penting: tidak jumawa saat berkuasa, dan tidak berputus asa
saat mengalami kekalahan. Toh, pada akhirnya Dinasti Umayyah pun tumbang.
Kekuasaan tidak ada yang abadi.
Iwan Fals lebih dari dua dekade lalu telah menuliskan masalah
politik kekuasaan ini dalam syair lagu “Sumbang”, yang rasanya tetap
relevan mewakili situasi dan kondisi saat ini:
Apakah selamanya politik itu kejam?
Apakah selamanya dia datang tuk menghantam?
Ataukah memang itu yang sudah digariskan
Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya
Maling teriak maling
Sembunyi di balik dinding
Pengecut lari terkencing-kencing
Tikam dari belakang
Lawan lengah diterjang
Lalu sibuk (kasak kusuk) mencari kambing hitam
Selusin kepala tak berdosa
Berteriak hingga serak di dalam negeri yang congkak
Lalu senang dalang tertawa
Ya ha ha
[]
GEOTIMES, 12 May 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar