Selasa, 25 Juli 2017

Nadirsyah Hosen: Memaknai Kekalahan Politik dalam Lintasan Sejarah Islam



Memaknai Kekalahan Politik dalam Lintasan Sejarah Islam
Oleh: Nadirsyah Hosen

Bagaimana memahami sebuah kekalahan politik dalam perspektif sejarah Islam? Kita akan mendapati serpihan yang menarik: kebenaran tak selamanya berupa kemenangan, sebagaimana kekalahan tak otomatis mengonfirmasi sebuah kesalahan.

Sejarah Nabi Muhammad dan keluarganya malah begitu pilu untuk dituturkan. Mari kita simak bersama agar kemenangan tak membuat kita menjadi jumawa, sedangkan kekalahan tak membuat kita berlarut dalam nestapa.

Abu Sufyan bin Harb adalah salah satu pemuka suku Quraisy yang pada awalnya sangat menentang Islam. Sejarah mencatat kekejaman dan kekejian yang dilakukan Abu Sufyan terhadap Nabi Muhammad dan para sahabat beliau. Dia juga pernah mengadakan persekutuan jahat dengan pemimpin Quraisy lainnya dengan membuat surat pernyataan memboikot Bani Hasyim, dengan tidak mengadakan hubungan perkawinan dan jual-beli. Kita tahu Rasulullah berasal dari Bani Hasyim.

Kekejaman Abu Sufyan dan konconya membuat Nabi Muhammad pergi berhijrah ke Madinah. Abu Sufyan seorang saudagar kaya raya yang biasa memimpin kafilah berdagang. Diceritakan oleh Muhammad Husein Haekal dalam buku Hayatu Muhammad bahwa suatu saat Rasul mendengar Abu Sufyan melintasi area dekat Madinah dan beliau berusaha mencegat kafilah Abu Sufyan tersebut. Abu Sufyan meminta bantuan kepada penduduk Mekkah.

Gara-gara Abu Sufyan inilah terjadi Perang Badar, di mana pasukan Nabi Muhammad meraih kemenangan.

Wafatnya sejumlah pemuka suku Quraisy saat Perang Badar membuat Abu Sufyan memegang kendali penuh. Abu Sufyan yang memegang panji al-Uqab dari suku Quraisy. Dialah pemimpin pasukan musuh saat terjadi Perang Uhud yang berujung pada kekalahan pasukan Nabi Muhammad. Saat Perang Uhud itulah paman Nabi, Hamzah, dibunuh secara keji oleh Wahsyi, budak Hindun yang merupakan istri Abu Sufyan. Komplit sudah!

Abu Sufyan masuk Islam dalam peristiwa Fathu Mekkah ketika pasukan Nabi memasuki kota Mekkah tanpa perlawanan. Dari sudut ini Abu Sufyan kalah. Namun sejarah selanjutnya berbalik arah. Mu’awiyah, anak Abu Sufyan, yang meraih kemenangan dalam panggung sejarah sepeninggal Nabi.

Mu’awiyah bin Abu Sufyan menjabat Gubernur Damaskus selama 20 tahun. Mu’awiyah memerangi pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam Perang Shiffin. Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah mengatakan kedua sahabat Nabi ini telah berijtihad, dan harus kita hormati, meski kebenaran sejatinya berada di pihak Ali. Namun kitab Tarikh al-Khulafa Imam Suyuthi bercerita bagaimana dengan cerdik pasukan Mu’awiyah yang hampir kalah mengangkat Mushaf al-Qur’an di ujung pedang mereka dan meminta perundingan.

Ali bin Abi Thalib paham bahwa ini hanya taktik belaka dan meminta pasukannya terus menggempur Mu’awiyah. Namun, atas nama mencintai Mushaf al-Qur’an, pasukan Ali menjadi ragu melanjutkan pertempuran. Taktik kotor Mu’awiyah berhasil. Terjadilah gencatan senjata dan perundingan yang berakhir tragis untuk pasukan Khalifah Ali, sang menantu Nabi.

Mu’awiyah juga berhasil meminta Khalifah Hasan, cucu Nabi, mengundurkan diri dari jabatan khalifah dan menyerahkannya kepada Mu’awiyah. Mu’awiyah menunjuk anaknya, Yazid, sebagai Khalifah. Saya ceritakan sebelumnya dalam tulisan saya bahwa inilah cikal bakal berdirinya Dinasti Umayyah [Belajar Politik Moral dari Khalifah Hasan bin Ali]. Pasukan Yazid juga dengan kejam membunuh Sayyidina Husein, cucu Nabi lainnya, di Karbala. Dinasti Umayyah kemudian berkuasa selama 90 tahun.

Kita lihat sejarah telah ditulis dengan tinta pilu. Pada masa Nabi, Abu Sufyan menyerah kalah dan masuk Islam. Namun setelah itu, keturunan Rasulullah mengalami kekalahan secara politik dan hukum. Sedangkan keturunan Abu Sufyan berkuasa dengan gagah perkasa. Siapakah yang sebenarnya menang dan siapa yang sejatinya kalah? Tuhan bekerja dengan misterius.

Jangankan politik yang terjadi pada masa kekhilafahan Islam, bahkan sejarah para Nabi pun banyak yang berujung pada kekalahan. Nabi Yahya dipenggal kepalanya. Nabi Zakaria digergaji tubuhnya saat bersembunyi di dalam pohon. Nabi Isa dikhianati  muridnya sendiri. Apakah berarti ketiga Nabi tersebut dan juga Imam Ali, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husein, dan keturunannya yang kalah secara politik dan hukum lantas kita anggap bersalah, dan lawan-lawan mereka yang menang kita anggap berada dalam kebenaran? Tentu tidak demikian, bukan?!

Masalahnya tidak sesederhana itu. Kekalahan dan kemenangan politik di dunia belum tentu memiliki nilai yang sama kelak di depan Tuhan Yang Maha Esa. Orang bijak selalu percaya ada hikmah di balik semua peristiwa. Maka, kearifan menjadi penting: tidak jumawa saat berkuasa, dan tidak berputus asa saat mengalami kekalahan. Toh, pada akhirnya Dinasti Umayyah pun tumbang. Kekuasaan tidak ada yang abadi.

Iwan Fals lebih dari dua dekade lalu telah menuliskan masalah politik kekuasaan ini  dalam syair lagu “Sumbang”, yang rasanya tetap relevan mewakili situasi dan kondisi saat ini:

Apakah selamanya politik itu kejam?
Apakah selamanya dia datang tuk menghantam?
Ataukah memang itu yang sudah digariskan
Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya

Maling teriak maling
Sembunyi di balik dinding
Pengecut lari terkencing-kencing

Tikam dari belakang
Lawan lengah diterjang
Lalu sibuk (kasak kusuk) mencari kambing hitam

Selusin kepala tak berdosa
Berteriak hingga serak di dalam negeri yang congkak
Lalu senang dalang tertawa
Ya ha ha

[]

GEOTIMES, 12 May 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan dosen senior di Faculty of Law, Monash University

Tidak ada komentar:

Posting Komentar