Prediksi Prabu
Siliwangi soal Kaum yang Gemar Menyesatkan
Rawayan arinyana
baris boga karep
sakabeh anu disarebut jelema di iyeu jagat
mudu ngan nyembah hiji sesembahan
dina hiji sesebutan basa hiji bangsa bae
Padahal,
eta panyembahan teh
saenyana mah
panyembahan sakabehan ti babaheula
dina sesebutan sewang-sewang basa sorangan
panyembahan mah eta keneh eta bae
anu ngan beda wungkul sesebutan
lantaran beda bangsa nu boga basa
Tapi dasar anu eukeur karareder dina pikir
nya arembung disina ngarti
tapi rasa arinya bae pangbenerna…
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Anak keturunan mereka akan punya keinginan
semua yang disebut manusia di jagat ini
harus hanya menyembah satu sesembahan
dalam sebutan bahasa satu bangsa saja
Padahal,
penyembahan tersebut
sesungguhnya
sesembahan semua orang dari dulu kala
dalam sebutan bahasa sendiri-sendiri
yang disembah tetap itu-itu juga
hanya beda cara menyebutnya saja
karena berbeda bangsa yang memiliki bahasa
Tapi dasar pikirannya sedang kacau
tidak mau mengerti
merasa diri sendiri yang paling benar
Petikan naskah Pantun
Bogor episode “Ronggeng Tujuh Kalasirna”, dikutip dari buku Tafsir Wangsit
Siliwangi dan Kebangkitan Nusantara, karya E. Rokajat Asura, Penerbit
Imania, 2016.
Prabu Suryakancana
alias Prabu Siliwangi memprediksi tentang suatu masa akan muncul segolongan
orang yang ‘mengambil’ tupoksi Tuhan, menilai dan memvonis orang salah dan
benar, mengklaim kelompok mereka sebagai kelompok yang sah masuk surga. Menurut
ramalan tersebut ketika Nusantara tengah mengalami fase ini pertanda kita sudah
masuk ke masa kritis dan akan muncul Ratu Adil?
Kekacauan, keributan,
dan ‘hilangnya kewarasan’ bermula dari sedapur sampai akhirnya senegara, orang
bodoh akan gila, munculnya Budak Buncireung. Tokoh yang berperan dalam
kekacauan ini tampaknya sosok yang disebut Budak Buncireung. Dalam Kamus Umum
Basa Sunda, kata “buncireung” berarti perut gendut dan buncit akibat terlalu
banyak makan.
Sosok inilah yang
menyembunyikan kera merah ke atas beringin. Bila kera menggambarkan sosok yang
serakah, apakah warna merah menggambarkan ras atau simbol dari kemarahan? Kita
bisa menelisik siapa yang disembunyikan Budak Buncireung ke pohon beringin itu.
Tentu bukan untuk menyelamatkan kera merah, tapi disusupkan ke sumber
kekuasaan.
Tentang sosok Budak
Buncireung ini, Tim Sawala Kandaga Kalang Sunda (SKKS) menduga bila ia menyusup
ke dalam kekuasaan. Hipotesis ini mungkin ada benarnya, sehingga konflik
horisontal jadi mudah tersulut. Budak Buncireung melaksanakan tugasnya menjadi
provokator, memecah belah persatuan, menggugat-gugat kebhinekaan dan mengadu
domba antar anak bangsa.
Kelanjutan naskah
Wangsit Siliwangi yang bersumber dari Jagatsatu 6 ini dengan jelas
menggambarkan hipotesis di atas melalui ungkapan “hiruk-pikuk kemudian menjadi
berkelahi, diprovokasi kera merah, yang meniru-niru kera hitam, lidah
menghitam, penglihatan menghitam, tapi hati dan keinginan tetap merah.
Keinginan untuk memerahkan dunia ini”.
Kondisi keributan ini
berubah menjadi chaos. Beda sesembahan, beda aliran, beda mazhab pun
bisa menyebabkan perkelahian. Apa ini sudah masanya? Wallahu A’lam []
Faried Wijdan, Peminat
Kajian Sejarah Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar