Selasa, 11 Juli 2017

Azyumardi: Lebaran di Indonesia



Lebaran di Indonesia
Oleh: Azyumardi Azra

Bisa dipastikan, Lebaran di Indonesia dari tahun ke tahun paling semarak di Dunia Islam. Membaca berbagai literatur tentang tradisi Lebaran atau Idul Fitri di kalangan Muslimin global, penulis Resonansi ini yang mengambil spesialisasi dalam Sejarah Komparatif Sosial-Intelektual Islam tidak menemukan kemeriahan menyambut akhir Ramadhan di berbagai kawasan Dunia Muslim lain seperti di Tanah Air Indonesia.

Lebih jauh, pengamatan empiris dalam perjalanan dan percakapan dengan kaum Muslimin di Dunia Arab, misalnya, membenarkan belaka periwayatan genre literatur tentang Idul Fitri tersebut. Secara sosiologis-kultural, tradisi Lebaran di banyak bagian Dunia Islam jauh daripada syiar yang terlihat di Indonesia.

Banyak kalangan di kawasan Dunia Muslim lain menyatakan, Idul Adha atau Idul Qurban lebih meriah dibandingkan Idul Fitri. Meski demikian, tetap saja Idul Adha sekalipun juga dirayakan lebih penuh syiar kemeriahan dibandingkan negara-negara Muslim lain.

Kenapa Lebaran di Indonesia lebih penuh syiar di Indonesia? Kenyataan ini terkait banyak dengan realitas bahwa Idul Fitri di tanahair lebih daripada sekadar hari besar keagamaan Islam. Lebih daripada itu, sesuai dengan istilah ‘lebaran’, Idul Fitri sudah ‘melebar’, jauh melewati batas-batas ritual Idul Fitri itu sendiri.

Dengan melintasi batas-batas ritual, Lebaran di Indonesia telah menjadi peristiwa kultural—menjadi semacam cultural feest. Realitas ini terkait kenyataan lebih dalam, bahwa Islam Indonesia telah culturally embedded—telah melekat dalam budaya bangsa Indonesia.

Dengan menjadi culturally embedded, Lebaran secara keagamaan tidak kehilangan substansinya. Rangkaian ritual Idul Fitri yang diselenggararakan di masjid atau lapangan, sepenuhnya mengikuti ortodoksi—sesuai tuntunan fiqh.

Masih dalam kerangka ritual, kaum Muslimin yang kembali ke fitrahnya, saling memaafkan dan bersilaturahmi. Pada level ini, kembali Islam embedded menampilkan wajah budayanya ketika para pejabat pemerintah, tokoh masyarakat dan bos perusahaan melakukan open house yang terbuka bukan hanya untuk Muslimin-Muslimat, tapi juga bagi warga non-Muslim.

Akan tetapi—sekali lagi—Lebaran lebih daripada sekadar prosesi ritual Idul Fitri. Jauh sebelum hari H-nya, Lebaran juga merupakan peristiwa ‘kembali ke asal’, ‘kembali ke akar’ yang disimbolisasikan dengan ‘pulang mudik’.

Puluhan juta warga melakukan perjalanan kembali ‘mudik’, menghadapi banyak kesulitan di jalanan, sejak dari kendaraan yang tidak memadai seperti naik motor sejauh ratusan atau bahkan ribuan kilometer atau mengalami kemacetan selama berjam-jam di jalan tol (‘bebas hambatan’) sekalipun.

Dengan puluhan juta orang pulang ‘mudik’, peristiwa ini merupakan salah satu pergerakan manusia terbanyak di seluruh dunia. Agaknya yang bisa menandingi hanyalah pergerakan warga di Tiongkok menyambut Hari Raya Imlek (Tahun Baru Cina) atau pada waktu perayaan Thanksgiving di Amerika Serikat.

Namun, berbeda dengan perayaan Imlek atau Thanksgiving, ‘pulang mudik’ lebih kental diwarnai semangat sharing dan giving sebagai pengejawantahan ajaran Islam tentang ZISWaf (Zakat, Infak, Sadaqah dan Wakaf). Seperti pernah menjadi temuan saluran TV berita internasional CNN, Muslim Indonesia paling pemurah atau paling dermawan dibandingkan kaum Muslimin di tempat-tempat lain; lebih 90 persen Muslim Indonesia selalu atau hampir selalu mengeluarkan ZISWaf.

Tingkat kedermawanan yang tinggi ini membuat jumlah dana yang beredar selama H-7 sampai H+7 selalu meningkat. Menurut catatan yang diumumkan BI menjelang akhir Ramadhan lalu, untuk Lebaran 1438 Hijriyah jumlah dana yang beredar mencapai 167 Triliun. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya; 146 T (1437/2016) dan 125 T (1436/2015).

Kenaikan peredaran dana sebelum dan sesudah Lebaran mengindikasikan peningkatan kemampuan kaum Muslimin. Memang masih ada sekitar 30 juta warga miskin (sebagian besar pastilah Muslim); tapi pada saat yang sama juga terlihat jelas adanya mobilitas ekonomi, khususnya kelas menengah Muslim.

Peredaran dana demikian besar dari tahun ke tahun jelas menjadi bagian penting pemerataan manfaat kemajuan ekonomi. Para pemudik membawa dana ke mudiknya masing-masing; juga membagi-bagi hadiah lebaran dalam bentuk barang kebutuhan sehari-hari.

Tak kurang pentingnya, peredaran dana sangat besar itu menimbulkan dampak menggerakkan berbagai sektor perekonomian baik di pusat, wilayah urban, tapi sekaligus juga di pedesaan. Masalahnya adalah bagaimana membuatkan pergerakan ekonomi itu bisa berkelanjutan.

Dengan berbagai fenomena itu, dalam Lebaran di Indonesia, kaum Muslimin sedikit banyak telah mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin. Lebaran membawa banyak berkah dan rahmah bagi bangsa Indonesia. Rasa syukur dan apresiasi patut disampaikan kepada pejabat pemerintah, para pemimpin dan warga bangsa yang mampu menjaga kedamaian di Tanah Air Indonesia. Dengan stabilitas politik dan keamanan, Lebaran dapat dirayakan dengan penuh syiar keagamaan, sosio-kultural dan sosio-ekonomi. []

REPUBLIKA, 29 June 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar