Kiai Tuan Basyir,
Pengikat Amaliah Ahlussunnah Annahdliyah
Warga NU, khususnya
masyarakat Madura kehilangan dua ulama khos di hari yang sama Sabtu kemarin
(15/7/17) KH Ahmad Basyir AS dan KH Mannan Fadhaly. Beliau berdua "pakunya
bumi" di tanah garam. Kiai Tuan Basyir, pengasuh PP Annuqayah Guluk-Guluk
Sumenep dan Kiai Mannan, pengasuh PP Miftahul Qulub Polagan Galis Pamekasan.
Keduanya pimpinan tertinggi di PCNU Sumenep dan PCNU Pamekasan.
Mengenai Kiai Tuan
Basyir, saya memiliki kenangan baik semasa beliau hidup. Suatu hari yang sejuk
sebelum Ramadhan lalu (2/4/17) saya bersama teman-teman Densus 26 berkesempatan
sowan ke ndalem Kiai Tuan Basyir, begitulah masyarakat Sumenep menyebut nama Syaikh
KH Ahmad Basyir bin KH Abdullah Sajjad. Pertemuan tersebut begitu bersahaja.
Kami bersyukur dapat bersua kembali dengan beliau. Sebab sebelum mangkatnya
beliau tak mudah tamu-tamu menemuinya karena alasan
kesehatan.
Kami bersua dengan
beliau melalui K. Muhammad Hazmi (putra Kiai Tuan Basyir). Saat itu kami
menyampaikan sekian hal, termasuk iktikad kami untuk nguri-nguri Islam
Ahlussunnah wal Jamaah Annahdliyah di Madura. Kami meminta restu dan sambungan
doa pada beliau agar iktikad kami istiqomah. Bukan tanpa alasan kami
menyampaikan hal tersebut. Adanya paham-paham menyimpang dan propaganda
beberapa kelompok garis keras yang membawa bendera Islam sudah mulai menyeruak
ke sendi-sendi kehidupan masyarakat Madura.
Ajaran-ajaran ala NU
(Nahdlatul Ulama) memang mendarah daging ke setiap sendi soaial-keagamaan
masyarakat Madura. Hal ini sudah diakui beberapa kalangan hingga muncul anekdot
yang dipopulerkan Cak Nun (budayawan Emha Ainun Najib) bahwa agama orang Madura
adalah NU. Nah, anggapan demikian tak lepas dari keseharian masyarakat Madura
yang lekat dengan tradisi NU seperti tahlilan, ziarah kubur, qunut, barzanjian,
dan lainnya.
Walaupun keseharian
masyarakat Madura tak lepas dari tradisi NU, tapi maraknya ajaran-ajaran
menyimpang dan gerakan Islam garis keras membuat kami yang berlatarbelakang
pesantren merasa terpanggil berkhidmah ke NU untuk menguatkan ajaran Islam
ahlussunnah wal jamaah annahdliyah di tengah-tengah masyarakat.
Mengikat Tradisi
"Saya sudah mau
90 tahun. Paham-paham yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad sudah
semakin marak. Saya berharap kalangan muda dapat semakin menguatkan akidah umat
yang terhasut kelompok menyimpang," begitulah petuah Kiai Tuan Basyir
kepada kami.
Pertemuan yang
sebentar dengan beliau tak menghilangkan rasa khidmat yang kami rasakan. Petuah
tersebut bagaikan embun bagi hati dan pikiran kami. Petuah beliau mengenai
penguatan nilai ahlussunnah wal jamaah seakan memompa semangat kami generasi
muda NU untuk tak bosan melakukan perlawanan (counter attact) terhadap
maraknya radikalisasi dan ideologisasi kaum ekstrimis. Begitupula a jungrojung
(bersama-sama) seluruh elemen masyarakat dalam menguatkan akidah dan
keummatan.
Ahlussunnah wal
jamaah annahdliyah bukanlah paham baru, bukan pula ideologi menyimpang.
Paradigma tersebut mengacu pada upaya yang concern mempertahankan Islam dengan
teguh melalui penguatan akidah, amalan syariah, muamalah, dan tasawuf sesuai
sendi-sendi sunnah Rasulullah. Tentu mengikuti ajaran Nabi takkan sampai jika
tak mengikuti petunjuk yang telah diajarkan Rasulullah kepada sahabat, tabi',
tabi'n, ulama salafussholeh, ulama masa kini dan sampai pada kita.
Apa yang disampaikan
Kiai Tuan Basyir memliki korelasi terhadap apa yang kami dan generasi muda NU
lakukan. Densus 26, kepanjangan Pendidikan Da'i Khusus Ahlussunnah wal Jamaah
NU 1926, bersama-sama Kiai NU dan Banom NU, telah melakukan penguatan akidah
Islam di banyak wilayah di Indonesia. Tidak hanya ke Madura sebagai lumbung NU,
Densus 26 telah melakukan penguatan akidah bersama KH. Marzuki Mustamar selaku
imam besar. Dengan alat kitab al-muqtathofat li ahlilbidayah kami melakukan
penguatan akidah umat Islam dari satu tempat ke tempat lain.
Kembali ke Kiai Tuan
Basyir, bahwa penguatan akidah Islam sesuai dengan semangat para ulama
terdahulu. Kiai Tuan Basyir, yang juga menjadi Mustasyar PBNU (2015-2020),
patut menjadi tuntunan kalangan muda dalam berdakwah. Pelajaran berharga dari
sikap beliau salah satunya ialah persoalan disiplin. Disiplin ini tak hanya
mengenai soal tepat waktu, tapi istiqomah atau ajeg dalam menuntut ilmu,
berjejaring, berdagang, bersilaturrahim, hingga berpolitik. Dengan cara inilah
beliau mengikat emosi, tradisi, dan persepsi masyarakat sesuai ajaran Nabi
Muhammad SAW.
Semangat tersebut
beliau contohkan pada santri-santri di Annuqayah dan masyarakat umum. Tak
jarang ketika beliau diundang masyarakat dipastikan bila tidak ada udzur selalu
tepat waktu. Tak hanya itu, beliau dikenal 'alim dalam ilmu fiqih. Kealiman
beliau tak lepas pula dari sejak belia hingga menjelang wafatnya tak lelah
mutholaah (belajar), mengaji, dan mengkaji sumber keislaman dari kitab-kitab
ulama salaf.
Para ulama telah
banyak mangkat mendahului kita. Sebagai pewaris para nabi, ulama menjadi
tambatan "kegalauan" umat. Satu persatu pakunya bumi telah diambil.
Kita, utamanya golongan muda, hanya bisa berharap dan kalau bisa dapat
meneruskan lelampah perjuangan mereka. Semoga kita belum sampai waktunya
menjelang kiamat saat para ulama dan orang-orang shalih satu persatu meninggalkan
kita. Wallahu a'lam. []
Nur Faizin Darain,
alumnus Sosiologi UGM Yogyakarta dan Korwil Madura Densus 26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar