Rabu, 12 Juli 2017

Kang Sobary: Allahu Akbar, Allahu Akbar...



Allahu Akbar, Allahu Akbar...
Oleh: Mohamad Sobary

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lailahaillallah... Allah Mahabesar. Tidak ada sesembahan selain Allah. Tidak ada yang kita sembah kecuali Dia Yang Mahabesar.

Lebaran memancarkan pesona yang tak mudah kita pahami. Kita larut di dalamnya, seperti benda “hanyut” ke dalam arus yang tak kita kenal. Kita seperti “mengambang” dalam kegembiraan kolektif yang tak kita temukan bandingannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini peristiwa luar biasa yang membentuk rutinitas dalam hidup kita.

Mungkin ini satu-satunya kerutinan yang tak membosankan. Kita bahkan menantinya dengan penuh harap dan kerinduan. Dan, kita rela “ditelan” rutinitas seperti itu. Lebaran bukan hanya ritus pribadi orang per orang, melainkan juga ritus kelompok. Mungkin kelompok besar berupa himpunan orang-orang beriman yang sama tujuannya, sama makna rohaniahnya. Kita tak dikomando oleh siapa pun, tapi gerak kita begitu serentak.

Pada hari yang sama, dalam detik- detik yang sama, kita menyambut hari besar itu dengan rasa syukur yang mendalam. Gema takbir bagaikan membelah langit. Tapi, jiwa kita begitu hening. Ini barangkali bukan takbir yang diteriakkan sekuat tenagadari pengerassuaramasjid, melainkan takbir yang dikumandangkan dengan suara pelan: suara hati.

Allahu Akbar itu bisikan jiwa yang mendalam, yang lembut intonasinya, dan tulus lahir-batinnya bahwa Yang Mahabesar itu hanya Allah. Seberapa besarkah makna Mahabesar itu? Kita tak mampu sekadar membayangkannya. Kita tak punya sesuatu yang bisa kita jadikan perbandingan. Mahabesar Allah tak mungkin disamakan dengan apa saja yang kita kenal namanya dan pernah kita lihat wujudnya.

Segala yang kita kenal bersifat baru. Segala yang wujudnya pernah kita lihat datang belakangan. Sedangkan Allah Mahaada sejak semula, sebelum semua yang ada sekarang tercipta. Dan, Dialah Yang Maha Pencipta. Allah Mahaawal dan Mahaakhir. Awalnya seawal apa dan akhirnya seakhir apa, kita pun tak mampu membayangkannya.

Lalu, bagaimana kita, yang hanya hamba belaka, hamba yang lemah, tak berdaya kecuali berkat pertolongannya? Kita hanya mampu bertakbir: Allahu Akbar. Dan, membayangkan diri kita sendiri betapa kecilnya. Kita menyadari betapa lemah diri kita. Betapa tak berarti diri kita ini dibanding Gunung Mahameru, samudra raya yang mampu menelan apa saja jika dia sedang bergolak.

Kita hanya kecil. Sangat kecil. Dan, ritus tahunan, yang kita sebut Lebaran itu, berulang dan berulang lagi, terus-menerus, dengan takbirnya, Allahu Akbar, yang mengingatkan betapa kecil kita ini. Dan, betapa Mahabesar Allah. Miliaran manusia, di bumi ini, pada saat yang kurang lebih sama menggemakan suara takbir yang sama. Tahun demi tahun ritus ini kita rayakan.

Kita mengulang-ulang ritus yang sama. Tapi, kita tak pernah bosan, Lebaran yang satu tak sama dengan Lebaran yang lain. Tiap Lebaran tiba, kita menyambutnya dengan gegap gempita. Kesadaran kita menyatakan kita menyambut sesuatu yang baru, yang tak sama dengan Lebaran tahun lalu. Kita dibuai kesadaran agung dan mulia bahwa yang kita sambut ini Lebaran yang belum pernah ada, belum pernah kita alami, dan belum pernah terjadi.

Kita tak pernah tahu mengapa pesona ini begitu dalam pengaruhnya pada kesadaran kita. Apa yang sedang bermain di dalam jiwa dan kesadaran kita? Allahu Akbar, kita jeritkan dari dalam jiwa kita bukan karena kita latah, bukan karena kita sok saleh, dan ingin dianggap sangat islami. Allahu Akbar keluar secara tulus dari dalam jiwa kita tidak untuk memengaruhi orang lain, tidak ingin membangun efek komunikasi bahwa kita hamba yang taat.

Kita hanya menyeru Allah Mahabesar karena kita paham sepaham pahamnya bahwa Allah memang Mahabesar. Di masjid, pada malam Lebaran, suara takbir menggedor pintu hati kita, dan membuat kita terpesona. Mungkin kita sadar akan diri kita yang hanya seonggok tubuh tak berdaya. Kita bergerak hanya karena izin- Nya. Kita menjadi paham karena kita diizinkan untuk paham.

Di lapangan, dalam acara salat id yang begitu kolosal, bahkan super kolosal, kita terus menerus meneriakkan kesadaran yang sama: hanya Allah Yang Mahabesar. Dan, kita hanya kecil, sekecil semut pun mungkin ibaratnya tak ada. Pendek kata, kita terlalu kecil. Dan, kita malu karena yang terlalu kecil ini tak jarang merasa besar.

Kepada Allah kita memohon ampunan. Dan, memohon yang lain lagi: semoga masih bisa bertemu dengan Ramadan dan Lebaran tahun depan dan tahuntahunberikutnya. Dan, kitaminta maaf kepada siapa pun di sekitar kita, yang ada dalam keluarga, sanak saudara, kerabat dan para tetangga, sahabat dan teman-teman di mana pun mereka semua sekarang ini.

Kita juga memberi orang lain maaf yang sama, dengan tulus, lahir dan batin. Neraca baikburuk, salah-benar, pahala-dosa, kita buat begitu rupa agar kalau bisa, kalau diizinkan Allah, keburukan lenyap dan hanya kebaikan yang tinggal. Dosa pun lenyap dan pahala yang tinggal. Kesalahan kita hapus. Dan, segenap yang iri dengki tak boleh ikut hadir di dalam hati kita.

Lebaran merupakan momen khusus, serba rohaniah, dan kita memandang dunia ini begitu menggembirakan. Kita menemukan orang-orang di sekitar kita begitu pemaaf, seolah mereka warga baru yang belum pernah kita kenal di dalam masyarakat kita. Kalau mau, kita makan ketupat yang dihidangkan setiap keluarga buat kita.

Tiap orang membukakan hati dan segenap isi dapurnya untuk kita. Siapa yang menciptakan Lebaran? Kita. Lebaran bukan agama. Jadi, bukan Allah yang menciptakannya. Lebaran itu tradisi. Mungkin sebutannya tradisi keagamaan. Kita menjaga tradisi itu dengan baik. Mungkin sebaik- baiknya. Tradisi itu milik kita, bagian dari kekayaan kita. Namanya kekayaan batin, sekaligus kekayaan sosial.

Tradisi ini menjadi wadah kehidupan rohani dan sosial kita. Wadah ini memeriahkan suasana batin sekaligus suasana kemasyarakatan kita. Lebaran menyibukkan pasar, memeriahkan masjid, lapangan, dan jalanan yang penuh kendaraan orang-orang yang mudik tahunan. Inilah tradisi besar, yang terbesar, yang melibatkan banyak kalangan.

Juga negara. Polisi negara menghadapi tugas khusus pengamanan Lebaran. Dan, ini juga pengorbanan. Polisi tak ikut Lebaran. Orang tua atau kerabat di kampung boleh menunggu dan berharap, tapi polisi bukan milik orang tua dan keluarga. Mereka milik negara. Kita patut secara khusus menyampaikan pujian kepada mereka yang rela mengalah untuk tidak mudik.

Mereka mengalahkan urusan pribadi demi urusan yang besar; urusan masyarakat, urusan negara. Tapi, kita tak pernah mengirim mereka ketupat atau bingkisan. Tapi, mereka tak berharap apa pun. Dapatkah kita belajar tak berharap? Puasa selama sebulan yang baru lalu mengajarkan kita hidup tak berharap. Puasa hanya untuk Allah.

Dan, kita melaksanakannya. Dapatkah kita tak berharap untuk ihwal lain lagi? Lebaran,mungkin, juga mengajarkannya. Allahu Akbar. Dan, kita hanya kecil, Sangat kecil. Kita bukan apa-apa. Ucapan selamat Lebaran, yang kita sampaikan kepada segenap pihak semoga membuat kita semua selamat. Dunia kita semoga juga selamat. []

KORAN SINDO, 1 Juli 2017
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar