Akhirnya HTI Dibubarkan
Oleh: Zuhairi Misrawi
KEMENTERIAN Hukum dan HAM secara resmi mencabut SK Badan Hukum
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada Rabu, 19 Juli 2017. Sikap ini sebagai
implementasi dari Perppu Nomor 2 Tahun 2017 sebagai pengganti dari UU Ormas
Tahun 2013. Sikap yang diambil pemerintah sebenarnya dalam rangka merespons
aspirasi dari ormas-ormas Islam, khususnya Nahdlatul Ulama, yang memandang HTI
sebagai ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasalnya
HTI mempunyai agenda-agenda politik yang dapat membahayakan eksistensi
Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sesuai dengan namanya, 'Hizbut
Tahrir' yang artinya Partai Pembebasan, HTI nyata-nyata sebagai gerakan
politik. Meskipun mengklaim sebagai gerakan dakwah, mereka sulit untuk
menyembunyikan sebagai gerakan politik.
Salah satu yang mencolok sebagai gerakan politik, HTI sudah
menyusun 'konstitusi' yang diklaim sebagai pengejawantahan dari sistem
'khilafah' ala Taqiyuddin al-Nabhani, pendiri gerakan mereka. Karena sifatnya
sebagai gerakan politik, mereka melakukan rekrutmen dan kaderisasi yang sangat
intensif, masif, dan agresif. Sejak kehadirannya pertama kali ke Indonesia
sekitar 1983, mereka terus melakukan manuver untuk mendapatkan simpati dari
publik di Tanah Air. Memang tidak mudah bagi mereka untuk melakukan penetrasi
dan proliferasi karena rezim Orde Baru sangat represif terhadap gerakan Islam.
HTI menemukan momentumnya pascareformasi, ketika keran kebebasan dibuka
selebar-lebarnya dan mereka mulai menemukan habitatnya di kalangan kampus
dengan menyasar para dosen dan mahasiswa yang mempunyai gairah keagamaan.
Mereka yang makin pesimistis dengan arah demokrasi mendapatkan
siraman ideologi utopis, yaitu khilafah. Mereka mengimpikan khilafah sebagai
antitesis terhadap demokrasi yang tak kunjung menemukan buah yang manis bagi
kesejahteraan dan keadilan sosial.
Sekali lagi, mereka menggunakan panggung dakwah untuk menyebarluaskan ideologi politik. Ada banyak indikator untuk menyatakan sebagai gerakan politik. Pertama, HTI secara eksplisit menggunakan terma 'hizb', yang artinya sebagai partai politik. Dari segi nama saja sulit membantah bahwa HTI hanya sebagai gerakan dakwah. Kedua, HTI sudah menyiapkan konstitusi baru untuk menegaskan dirinya sebagai gerakan politik yang diklaim berlandaskan pada hukum Tuhan.
Padahal kita tahu, konstitusi HTI juga hasil ijtihad mereka. HTI
menyadari betul bahwa tidak mudah untuk mendeklarasikan secara terbuka sebagai
gerakan politik karena faktanya gerakan mereka dianggap sebagai organisasi
terlarang di sebagian besar dunia Islam, seperti Mesir, Libia, Arab Saudi,
Turki, Yordania, dan Malaysia. Di banyak negara mereka dianggap dapat
mengganggu eksistensi negara, baik melalui kudeta maupun ancaman terorisme.
Hanya Amerika Serikat dan Inggris yang memberikan ruang kepada Hizbut Tahrir
dengan alasan hak asasi manusia meskipun di Inggris sendiri mulai muncul
perdebatan soal pembubaran organisasi Hizbut Tahrir. Nah, kenapa sejumlah ormas
Islam meminta kepada pemerintah untuk membubarkan HTI? Alasan yang sangat
mendasar karena HTI secara eksplisit mempunyai agenda politik yang dapat
mengancam Pancasila.
Meskipun, sekali lagi, HTI tidak secara terang-terangan menolak
Pancasila, jika diselisik beberapa literatur yang ditulis Taqiyuddin
al-Nabhani, jelas sekali arah Hizbut Tahrir. Mereka menolak konsep negara
bangsa, menawarkan sistem khilafah lengkap dengan konstitusinya, dan menolak
demokrasi. Bahkan, mereka menyebut siapa pun yang tidak sejalan dengan paham
dan agenda politik mereka dengan sebutan 'kafir'. Padahal, bagi mayoritas umat
Islam di negeri ini, Pancasila sudah final dan NKRI harga mati. NU memandang
Pancasila tidak bertentangan dengan syariah. Muhammadiyah menyebut Indonesia
sebagi 'darul 'ahdi wa al-syahadah'. Demokrasi ialah sistem yang tidak
bertentangan dengan Islam dan kita semua umat Islam mencintai Tanah Air,
sebagaimana para ulama menegaskan kaidah 'mencintai tanah air adalah bagian
dari iman' (hubbul wathan minal iman).
Maka dari itu, ideologi HTI di atas bertentangan dengan paham
mayoritas umat Islam dalam bernegara. Jika dibiarkan, itu dapat menciptakan
konflik dan disharmoni. Jika dibiarkan paham mereka terlalu lama dan mereka
makin banyak pengikutnya, tidak menutup kemungkinan akan menjadi ancaman yang
serius bagi NKRI. Sebenarnya alam demokrasi dapat memberikan kesempatan kepada
HTI untuk memperjuangkan paham dan ideologinya untuk diuji dalam laboratorium
politik di negeri ini. Namun, sekali lagi, mereka tidak mau melakukan itu
karena mereka sedari awal sudah mengafirkan demokrasi. Mereka hanya ingin
menjadi partai tunggal dan tidak boleh ada partai-partai selain mereka jika
kelak sistem khilafah berdiri. Mereka menganggap sistem khilafah sebagai harga
mati.
Belajar dari pengalaman negara-negara lain yang sudah lebih dahulu
melarang gerakan politik Hizbut Tahrir, langkah yang diambil pemerintah sudah
sangat tepat. Tugas kita sekarang bukan menggantikan Pancasila dengan ideologi
lain, melainkan bertanggung jawab untuk membumikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa.
Karena itu, sikap pemerintah mencabut badan hukum HTI bukanlah akhir dari upaya
meredam mereka yang mempunyai mimpi ideologi anti-Pancasila. Tugas yang paling
besar ialah membuktikan bahwa Pancasila masih yang terbaik bagi negeri yang
majemuk ini. Bukan hanya itu saja, Pancasila harus benar-benar hadir dalam
kehidupan nyata. []
MEDIA INDONESIA, 20 July 2017
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, Ketua Moderate
Muslim Society
Tidak ada komentar:
Posting Komentar