Terorisme
Siber, Dakwah Virtual, dan Literasi Digital
Oleh: A
Helmy Faishal Zaini
OLEH
banyak kalangan, 2016 disebut juga sebagai tahun hoax. Bertebarannya berita
palsu dan kabar bohong ialah pemicu utama polusi informasi. Kita sedang
memasuki apa yang disebut sebagai zaman tsunami informasi. Jika tidak teliti
dan waspada dalam menyaring sebuah informasi, bisa dipastikan kita akan
terombang-ambing olehnya.
Penting
untuk dikemukakan bahwa berita bohong dan fitnah pada akhirnya menggempur
pertahanan akal sehat kita. Hal itu bisa terjadi karena berita bohong, jikapun
ia disebar dengan gigih dan berulang-ulang, sudah bisa dipastikan pembaca akan
tertarik dan sangat mungkin memutuskan untuk memercayainya. Inilah kekuatan
media sosial.
Sebuah
penelitian yang dirilis pada 2014, bertajuk 'The ISIS Twitter Sensus', yang
dilakukan JM Berger dan Jhonatan Morgan dari Brookings Institution, mencatat
setidaknya terdapat 46 ribu lebih akun Twitter yang aktif beroperasi dan
berpropaganda atas nama Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Setiap hari akun
Twitter tersebut mengirimkan pelbagai pesan singkat, status, gambar, dan video
pendek. Tidak kurang dari 200 ribu pesan pendek yang tersebar melalui akun-akun
Twitter tersebut. Melalui media sosial rekrutmen anggota ISIS juga dilakukan
secara masif. Proses perekrutan berjalan dengan sangat cepat dan luas. Artinya,
anatomi radikalisme dan terorisme terbentuk salah satunya melalui media sosial.
Pada tahap inilah sesungguhnya persemaian radikalisme siber tumbuh dengan
sangat pesat.
Kasus
terbaru dialami Agus Wiguna dan Ghilman Omar Harridi, yang terpapar virus
radikalisme setelah keduanya secara intensif mengikuti situs dan grup
komunikasi di media sosial. Keduanya masih usia produktif, yakni 19 tahun dan
21 tahun. Keduanya belajar merakit bom dari media sosial. Inilah radikalisme
siber yang dimaksud.
Pada
titik ini saya menyatakan bahwa sesungguhnya radikalisme yang terjadi di era
media sosial ini formulanya diracik dari ideologisasi dan gencarnya propaganda.
Dua bahan bakar utama bagi gerakan radikalisme ialah cuci otak atau doktrinasi
yang terus-menerus, ditambah dengan propaganda kebencian, antiliyan, dan
semangat eksklusivisme yang lumintu digelorakan. Maka sangat tidak mengherankan
jika kemudian kita mendapati banyaknya anggota ISIS. Bahkan, ISIS telah
merambah wilayah-wilayah yang kita tidak pernah membayangkan sebalumnya,
seperti Eropa yang terkenal sebagai benua yang mapan dan damai. Ini sebuah
anomali dan patologi yang perlu segera dicarikan solusi.
Literasi
digital
Darurat
berita palsu dan propaganda yang mengarah pada fitnah dan adu domba
mengingatkan saya pada pentingnya upaya edukasi bagi masyarakat pengguna media
sosial. Dalam bahasa Paul Gister (2008), literasi digital bisa ditempuh dengan
jalan membekali masyarakat pengguna media sosial dengan edukasi yang meningkatkan
kapasitas dan kapabilitas dalam menggunakan media sosial. Masyarakat dididik
untuk lebih santun, arif, bijaksana, bisa menahan diri, serta selektif dalam
memilih dan memilah berita.
Literasi
digital ini sangat penting mengingat dua hal. Pertama, angka pengguna internet
di Indonesia kian hari kian besar jumlahnya. Rilis yang dikeluarkan Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada April 2016 menyebutkan
jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 132 juta jiwa dari total populasi
sebanyak 256,9 juta jiwa. Artinya 51,8% lebih penduduk Indonesia mengakses
internet.
Bahkan
lebih jauh, dari angka 132 juta tersebut, tercatat ada 129,2 juta jiwa
menggunakan internet terutama untuk bermedia sosial. Artinya ada sekitar 97,4%
penduduk Indonesia yang bermedia sosial. Sebuah angka yang sangat besar.
Besarnya angka tersebut jika tidak diarahkan ke arah yang positif justru akan
menjadi bumerang bagi bangsa dan negara.
Kedua,
ada gejala semacam split personality yang menjangkiti para pengakses media
sosial. Ada semacam 'diri yang teralienasi' dalam kehidupan nyata sehingga
pelariannya ialah dengan cara mengaktualisasikan diri di media sosial. Mata
rantai ini sesungguhnya sangat panjang jika diusut genealoginya. Sejak sebelum
era revolusi digital, anak-anak generasi Y dan Z sudah mulai bermigrasi
meninggalkan segala permainan bersifat fisik yang membutuhkan keterampilan
motorik. Mereka semua beralih ke wahana permainan baru dalam bentuk digital.
Gim-gim dalam jaringan (daring) merajalela. Alam pikiran generasi Y dan Z
dibentuk kerangka dan logika kalah menang.
Pada
akhirnya lambat laun akan terpatri di benak mereka bahwa dalam hidup yang
dicari adalah kemenangan. Tentu saja pikiran seperti ini membentuk tabiat dan
sikap hidup mereka yang akhirnya menjadi barbarian. Celakanya, kondisi seperti
ini ditangkap gerakan radikalisme. Dengan sangat gigih mereka mempropagandakan
sesunguhnya 'kita dalam keadaan kalah'. Mereka menciptakan 'musuh bersama'.
Musuh
bersama tersebut sangat beragam, terutama menyangkut tema kapitalisme dan
sistem demokrasi yang dikatakan sebagai sistem kafir dan taghut. Pada titik
inilah benih radikalisme ini tumbuh subur dan bersemi. Upaya lain yang harus
dilakukan bukan hanya menggalakkan upaya literasi digital.
Pemerintah
juga harus melakukan langkah proaktif untuk menindak dengan tegas situs-situs
yang memang terbukti telah menjadi sumber berita palsu dan propaganda kebencian
yang mengarah pada adu domba, kebencian, dan radikalisme. Situs-situs yang
kerap meresahkan tersebut merupakan corong bagi lahirnya pandangan-pandangan
yang keliru. Situs-situs tersebut tidak mengindahkan kaidah jurnalistik,
mengabaikan kode etik, dan tanpa verifikasi. Maka memblokir dan menutup situs
penebar berita bohong ialah tindakan yang penting untuk dilakukan.
Dalam
pada itu, masyarakat juga harus dididik untuk menjadikan tabayun sebagai metode
dalam memverifikasi sebuah berita. Alquran dengan tegas mengatakan dalam surat
Al-hujurat 6: "Wahai orang-orang yang beriman, jika ada seorang faasiq
datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayunlah
(telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu
kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas
perlakuan kalian."
Yang kita
khawatirkan bersama, sangat mungkin menurunnya sikap untuk selalu mendahulukan
tabayun ini merupakan gejala dari malasnya mencari kebenaran dan memverifikasi
sebuah berita. Persis sebagaimana yang dikatakan Davis Khusner (2016) bahwa
berita palsu hanyalah gejala. Penyakit sesungguhnya ialah berkurangnya
keinginan mencari bukti, mempertanyakan sesuatu, dan berpikir kritis. Wallahu
a'lam bisshawab. []
MEDIA
INDONESIA, 14 July 2017
A Helmy
Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar