Selasa, 18 Juli 2017

Helmy Faishal Zaini: Terorisme Siber, Dakwah Virtual, dan Literasi Digital



Terorisme Siber, Dakwah Virtual, dan Literasi Digital
Oleh: A Helmy Faishal Zaini

OLEH banyak kalangan, 2016 disebut juga sebagai tahun hoax. Bertebarannya berita palsu dan kabar bohong ialah pemicu utama polusi informasi. Kita sedang memasuki apa yang disebut sebagai zaman tsunami informasi. Jika tidak teliti dan waspada dalam menyaring sebuah informasi, bisa dipastikan kita akan terombang-ambing olehnya.

Penting untuk dikemukakan bahwa berita bohong dan fitnah pada akhirnya menggempur pertahanan akal sehat kita. Hal itu bisa terjadi karena berita bohong, jikapun ia disebar dengan gigih dan berulang-ulang, sudah bisa dipastikan pembaca akan tertarik dan sangat mungkin memutuskan untuk memercayainya. Inilah kekuatan media sosial.

Sebuah penelitian yang dirilis pada 2014, bertajuk 'The ISIS Twitter Sensus', yang dilakukan JM Berger dan Jhonatan Morgan dari Brookings Institution, mencatat setidaknya terdapat 46 ribu lebih akun Twitter yang aktif beroperasi dan berpropaganda atas nama Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Setiap hari akun Twitter tersebut mengirimkan pelbagai pesan singkat, status, gambar, dan video pendek. Tidak kurang dari 200 ribu pesan pendek yang tersebar melalui akun-akun Twitter tersebut. Melalui media sosial rekrutmen anggota ISIS juga dilakukan secara masif. Proses perekrutan berjalan dengan sangat cepat dan luas. Artinya, anatomi radikalisme dan terorisme terbentuk salah satunya melalui media sosial. Pada tahap inilah sesungguhnya persemaian radikalisme siber tumbuh dengan sangat pesat.

Kasus terbaru dialami Agus Wiguna dan Ghilman Omar Harridi, yang terpapar virus radikalisme setelah keduanya secara intensif mengikuti situs dan grup komunikasi di media sosial. Keduanya masih usia produktif, yakni 19 tahun dan 21 tahun. Keduanya belajar merakit bom dari media sosial. Inilah radikalisme siber yang dimaksud.

Pada titik ini saya menyatakan bahwa sesungguhnya radikalisme yang terjadi di era media sosial ini formulanya diracik dari ideologisasi dan gencarnya propaganda. Dua bahan bakar utama bagi gerakan radikalisme ialah cuci otak atau doktrinasi yang terus-menerus, ditambah dengan propaganda kebencian, antiliyan, dan semangat eksklusivisme yang lumintu digelorakan. Maka sangat tidak mengherankan jika kemudian kita mendapati banyaknya anggota ISIS. Bahkan, ISIS telah merambah wilayah-wilayah yang kita tidak pernah membayangkan sebalumnya, seperti Eropa yang terkenal sebagai benua yang mapan dan damai. Ini sebuah anomali dan patologi yang perlu segera dicarikan solusi.

Literasi digital

Darurat berita palsu dan propaganda yang mengarah pada fitnah dan adu domba mengingatkan saya pada pentingnya upaya edukasi bagi masyarakat pengguna media sosial. Dalam bahasa Paul Gister (2008), literasi digital bisa ditempuh dengan jalan membekali masyarakat pengguna media sosial dengan edukasi yang meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam menggunakan media sosial. Masyarakat dididik untuk lebih santun, arif, bijaksana, bisa menahan diri, serta selektif dalam memilih dan memilah berita.

Literasi digital ini sangat penting mengingat dua hal. Pertama, angka pengguna internet di Indonesia kian hari kian besar jumlahnya. Rilis yang dikeluarkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada April 2016 menyebutkan jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 132 juta jiwa dari total populasi sebanyak 256,9 juta jiwa. Artinya 51,8% lebih penduduk Indonesia mengakses internet.

Bahkan lebih jauh, dari angka 132 juta tersebut, tercatat ada 129,2 juta jiwa menggunakan internet terutama untuk bermedia sosial. Artinya ada sekitar 97,4% penduduk Indonesia yang bermedia sosial. Sebuah angka yang sangat besar. Besarnya angka tersebut jika tidak diarahkan ke arah yang positif justru akan menjadi bumerang bagi bangsa dan negara.

Kedua, ada gejala semacam split personality yang menjangkiti para pengakses media sosial. Ada semacam 'diri yang teralienasi' dalam kehidupan nyata sehingga pelariannya ialah dengan cara mengaktualisasikan diri di media sosial. Mata rantai ini sesungguhnya sangat panjang jika diusut genealoginya. Sejak sebelum era revolusi digital, anak-anak generasi Y dan Z sudah mulai bermigrasi meninggalkan segala permainan bersifat fisik yang membutuhkan keterampilan motorik. Mereka semua beralih ke wahana permainan baru dalam bentuk digital. Gim-gim dalam jaringan (daring) merajalela. Alam pikiran generasi Y dan Z dibentuk kerangka dan logika kalah menang.

Pada akhirnya lambat laun akan terpatri di benak mereka bahwa dalam hidup yang dicari adalah kemenangan. Tentu saja pikiran seperti ini membentuk tabiat dan sikap hidup mereka yang akhirnya menjadi barbarian. Celakanya, kondisi seperti ini ditangkap gerakan radikalisme. Dengan sangat gigih mereka mempropagandakan sesunguhnya 'kita dalam keadaan kalah'. Mereka menciptakan 'musuh bersama'.

Musuh bersama tersebut sangat beragam, terutama menyangkut tema kapitalisme dan sistem demokrasi yang dikatakan sebagai sistem kafir dan taghut. Pada titik inilah benih radikalisme ini tumbuh subur dan bersemi. Upaya lain yang harus dilakukan bukan hanya menggalakkan upaya literasi digital.

Pemerintah juga harus melakukan langkah proaktif untuk menindak dengan tegas situs-situs yang memang terbukti telah menjadi sumber berita palsu dan propaganda kebencian yang mengarah pada adu domba, kebencian, dan radikalisme. Situs-situs yang kerap meresahkan tersebut merupakan corong bagi lahirnya pandangan-pandangan yang keliru. Situs-situs tersebut tidak mengindahkan kaidah jurnalistik, mengabaikan kode etik, dan tanpa verifikasi. Maka memblokir dan menutup situs penebar berita bohong ialah tindakan yang penting untuk dilakukan.

Dalam pada itu, masyarakat juga harus dididik untuk menjadikan tabayun sebagai metode dalam memverifikasi sebuah berita. Alquran dengan tegas mengatakan dalam surat Al-hujurat 6: "Wahai orang-orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian."

Yang kita khawatirkan bersama, sangat mungkin menurunnya sikap untuk selalu mendahulukan tabayun ini merupakan gejala dari malasnya mencari kebenaran dan memverifikasi sebuah berita. Persis sebagaimana yang dikatakan Davis Khusner (2016) bahwa berita palsu hanyalah gejala. Penyakit sesungguhnya ialah berkurangnya keinginan mencari bukti, mempertanyakan sesuatu, dan berpikir kritis. Wallahu a'lam bisshawab. []

MEDIA INDONESIA, 14 July 2017
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar