Menakar
Kesalehan Sosial Kita
Oleh: A
Helmy Faishal Zaini
Gemuruh
takbir bergema menyambut datangnya Idul Fitri, sekaligus mengakhiri kekhusyukan
umat Islam beribadah selama bulan suci Ramadhan. Gema takbir menjadi penanda
kemenangan telah tiba.
Jika kita
renungkan secara mendalam, gema takbir sesungguhnya merupakan ikrar dan
pernyataan kita selaku hamba-hamba yang daif di hadapan Sang Khalik Yang Maha
Agung.
Makna
takbir, dalam hemat saya, sesungguhnya adalah keadaan menisbikan diri karena
tak ada yang lebih besar dibandingkan dengan Allah SWT. Manusia pada dasarnya
merupakan makhluk yang penuh keterbatasan, kekurangan, dan kedaifan.
Menilik makna
takbir secara ontologis yang demikian mulia, maka ketika mengucapkannya tidak
boleh dibarengi dengan kesombongan dan keangkuhan diri. Sebab hal itu sejatinya
bertentangan dengan hakikat takbir itu sendiri.
Menurut
pakar bahasa Arab, Tamam Hassan (1988), makna takbir sejatinya adalah
penisbatan sesuatu kepada yang lebih besar. Artinya jika kita bertemu benda,
fenomena, atau hal-hal yang kita anggap besar, Allah SWT sesungguhnya jauh
lebih besar dari semua itu.
Sejatinya
Allah itu Maha Lebih Besar dari yang kita perkirakan. Kebesaran Allah jauh
melampaui apa yang kita asumsikan. Sebab, asumsi dan perkiraan kita sebagai
makhluk sangatlah terbatas.
Dalam
bahasa budayawan Emha Ainun Nadjib (2016), memaknai kebesaran Allah harus
bersifat dinamik, tidak statis. Seorang hamba yang benar-benar menemukan
kebesaran Allah, akan senantiasa merendahkan diri di hadapan Allah.
Akurasi
dalam memaknai takbir ini dalam pandangan saya akan sangat berpengaruh pada
pola penghayatan keberagamaan kita. Semakin dangkal kita memahami arti takbir,
semakin dangkal pula gerakan dan tindakan beragama kita.
Bahkan
belakangan fenomena takbir banyak digunakan untuk sesuatu yang tidak tepat.
Inilah letak pentingnya presisi dan akurasi pemaknaan yang berujung pada
pemahaman yang baik.
Dalam
pada itu, gema takbir yang menandai datangnya Idul Fitri membawa kita pada dua
makna, yakni kemenangan dan kembali pada kesucian. Kemenangan yang dimaksud
meminjam Al-Jurjani (2008) adalah kemenangan yang diraih seorang hamba karena
berhasil berperang menaklukkan hawa nafsu selama sebulan penuh. Maka hal yang
dianjurkan adalah fitr atau iftar yang artinya berbuka.
Ada
sebagian yang memaknai Idul Fitri sebagai momentum kembali kepada kesucian
diri. Makna ini sejalan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah
"Inilah bulan yang permulaannya (10 hari pertama) penuh dengan rahmat,
yang pertengahannya (10 hari pertengahan) penuh dengan ampunan, dan yang terakhirnya
(10 hari terakhir) Allah membebaskan hamba-Nya dari api neraka."
Berangkat
dari hadis inilah-yang membagi Ramadhan jadi tiga fase yakni rahmat, ampunan,
dan pembebasan dari api neraka-seorang hamba yang berhasil menjalankan ibadah
puasa selama Ramadhan berarti telah suci dari segenap dosa yang pernah ia
perbuat. Itulah makna kembali ke fitrah atau kembali ke kesucian diri.
Kesalehan
sosial
Dalam
konteks Ramadhan, ibadah puasa sesungguhnya merupakan ibadah yang melatih kita
berbela rasa terhadap sesama. Kita diwajibkan mengosongkan perut sampai berbuka
puasa, itu artinya kita diajak untuk memahami suasana batin masyarakat miskin
dan lemah. Masyarakat yang bukan saat bulan puasa saja menahan lapar, tetapi
bahkan sepanjang tahun.
Selama
Ramadhan kita diajarkan untuk berzakat, infak, dan sedekah untuk berbagi dengan
sesama. Ajaran berderma terhadap mereka yang papa dan lemah, menjadi bukti
bahwa agama amat menjunjung tinggi solidaritas kemanusiaan. Agama hadir dan
berperan melindungi yang lemah.
Islam
menjunjung tinggi kemanusiaan, membangun solidaritas sosial, terutama mengajak
membantu kaum yang lemah. Dalam Al Quran Surat Al Maun, umat Islam diingatkan
tentang makna penting membangun kesalehan sosial.
Tak
tanggung-tanggung, Allah SWT mengecam manusia yang hanya mementingkan ibadah
mahdlah, tetapi meninggalkan kesalehan sosial. "Fawailul lil mushollin.
Alladzinahum an shalatihim sahun walladzinahum yurauna wayamnaunal maun".
Celakalah
orang-orang yang lalai terhadap shalatnya. Yakni, orang-orang yang selalu
berbuat dengan pamrih sehingga menghalangi diri dan orang lain untuk menolong
siapa pun yang membutuhkan. Inilah bukti bahwa kesalehan yang berdimensi sosial
menempati posisi yang sangat penting dalam agama Islam.
Dalam
pada itu, pada konteks Idul Fitri dan kesalehan sosial ini, tradisi khas
masyarakat Nusantara yang tidak ditemukan di belahan Bumi mana pun adalah
tradisi halalbihalal. Tradisi ini lazimnya diisinya dengan kunjung-mengunjungi
sanak-saudara, handai tolan, teman-sekerabat untuk saling meminta dan memberi
maaf.
Halalbihalal
tersebut merupakan salah satu ibadah berdimensi sosial. Ia memiliki ekses dan
dampak langsung yang bisa dirasakan secara sosiologis. Sebagai bagian dari
upaya menjaga harmoni, tradisi memaafkan yang tecermin dalam halalbihalal
merupakan tradisi yang tidak bisa tidak, ia harus dilestarikan, dipertahankan,
dan bahkan dikembangkan.
Salah
satu bukti pentingnya dimensi sosial dalam ibadah tecermin dalam salah satu
kaidah fikih al-muta'adi afdhalu minal qÃsir yang artinya ibadah-ibadah
yang muta'adi (memiliki ekses sosial) lebih utama dibandingkan dengan
ibadah yang sifatnya qasir (individual) semata.
Sebagaimana
sabda Nabi Muhammad SAW: "KhairunnÃs anfauhum linnÃsi”. Sebaik-baiknya
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lainnya.
Sama persis
dengan hal itu, maaf-memaafkan adalah ibadah yang memiliki ekses sosial yang
sangat tinggi. Memberi maaf, meminjam istilah Mahatma Gandhi, adalah pekerjaan
orang kuat. Orang-orang yang bermental lemah dan berpikiran cupet tidak akan
pernah bisa memaafkan.
Pada
titik ini saya ingin mengutip sejarawan besar Edward Gibbon (1999) dalam
bukunya The History of The Decline and Fall of The Roman Empire, yang
mengatakan bahwa a great civilization never goes down unless it destroy
itself from within. Sebuah peradaban besar tidak bisa runtuh dan tenggelam,
kecuali jika peradaban itu merusak diri dari dalam.
Kondisi
ini sangat mungkin terjadi jika kita berkukuh dengan ego dan ngotot dengan
kebenaran masing-masing. Merasa paling benar. Merasa yang lain di luar dirinya
salah. Angkuh dan cenderung tidak bisa memaafkan pihak lain. Jika dibiarkan,
sangat mungkin sindroma self destruction (merusak diri sendiri) yang
pernah diungkapkan Presiden Soekarno, menjadi kenyataan. Kita pun tidak
menginginkan.
Idul
Fitri adalah momentum yang tepat untuk menyambut datangnya kemenangan.
Kemenangan bagi mereka yang tak sekadar menjalankan ibadah mahdlah saja (hablum
minallah), akan tetapi juga berlaku baik kepada sesama manusia (hablum
minannas) dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih
jauh, kita pun diajarkan untuk menjaga alam dan lingkungan (hablum minal
alam). Semoga kita selalu diberi anugerah kesejukan dan keberkahan dalam
kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Wallahu a'lam bis showab.
[]
KOMPAS,
24 Juni 2017
A Helmy
Faishal Zaini ; Sekretaris Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar