Kewajiban Haji Gugur selama
Ada Tetangga Kelaparan
Tak ada yang membantah tentang keutamaan
ibadah haji. Ia termasuk rukun Islam yang kelima, dan wajib dijalankan saat
seseorang memiliki kapasitas untuk berhaji. Pada dasarnya haji atau umrah
diwajibkan kepada setiap Muslim hanya sekali seumur hidup apabila orang
tersebut mampu, baik secara fisik, finansial, maupun keamanan perjalanan.
Lalu bagaimana bila seseorang dihadapkan
dengan dua pilihan antara menunaikan ibadah haji/umrah dan menolong orang yang
tersangkut kebutuhan mendesak seperti soal pangan dan sandang? Mana yang harus
diprioritaskan?
Makna kemampuan finansial dalam konteks haji
sesungguhnya tidak sebatas mampu membayar ongkos naik haji (ONH), tapi juga
bisa mencukupi nafkah orang-orang yang menjadi tanggung jawab calon jamaah haji
selama ia meninggalkan rumah mulai dari berangkat, waktu menjalankan ibadah di
Tanah Suci, serta saat perjalanan pulang sampai ke rumah lagi.
Orang-orang yang wajib ditanggung di
antaranya adalah istri, kerabat, budak yang menjadi pelayannya serta masyarakat
Muslim yang sangat membutuhkan uluran tangan walaupun tidak ada hubungan darah
dengan calon jamaah haji tersebut.
Menurut Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha
al-Dimyathi, orang yang mempunyai kecukupan harta melebihi kebutuhannya dalam
setahun, ia wajib memberikan perhatian finansial apabila ia menemukan orang
yang kekurangan makanan dan pakaian yang layak. Menurutnya, mayoritas
masyarakat bahkan sampai orang-orang shalih sekalipun banyak yang tidak peka
terhadap permasalahan krusial seperti ini.
ﻭاﻟﻤﺮاﺩ
ﺑﻤﻦ ﺗﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻧﻔﻘﺘﻪ اﻟﺰﻭﺟﺔ، ﻭاﻟﻘﺮﻳﺐ، ﻭاﻟﻤﻤﻠﻮﻙ اﻟﻤﺤﺘﺎﺝ ﻟﺨﺪﻣﺘﻪ، ﻭﺃﻫﻞ اﻟﻀﺮﻭﺭاﺕ ﻣﻦ
اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﻟﻮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺃﻗﺎﺭﺑﻪ ﻟﻤﺎ ﺫﻛﺮﻭﻩ ﻓﻲ اﻟﺴﻴﺮ ﻣﻦ ﺃﻥ ﺩﻓﻊ ﺿﺮﻭﺭاﺕ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺑﺈﻃﻌﺎﻡ
ﺟﺎﺋﻊ، ﻭﻛﺴﻮﺓ ﻋﺎﺭ، ﻭﻧﺤﻮﻫﻤﺎ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻣﻠﻚ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﻛﻔﺎﻳﺔ ﺳﻨﺔ. ﻭﻗﺪ ﺃﻫﻤﻞ ﻫﺬا ﻏﺎﻟﺐ
اﻟﻨﺎﺱ، ﺣﺘﻰ ﻣﻦ ﻳﻨﺘﻤﻲ ﺇﻟﻰ اﻟﺼﻼﺡ
Artinya: "Maksud dari orang-orang yang
wajib dinafkahi (selama ditinggal haji) adalah kerabat, budak yang menjadi
pelayannya dan orang-orang Islam yang sangat membutuhkan uluran tangan meskipun
bukan kerabatnya sendiri. Seperti yang telah disampaikan oleh para ulama dalam
Bab Jihad bahwa menghilangkan beban hidup atau memenuhi kebutuhan primer umat
Islam seperti memberi makanan, pakaian, dan lain sebagainya adalah wajib bagi
orang kaya yang memiliki kecukupan finansial melebihi kebutuhannya dalam satu
tahun. Hal ini kurang diperhatikan oleh kebanyakan orang termasuk orang yang
dianggap shaleh," (Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha al-Dimyathi, Ianat
Ath-Thalibin, [Darul Fikr, 1997], juz 2, halaman 319).
Sebagaimana kita ketahui tentang cerita
Abdullah bin Mubarak saat ia melihat wanita yang sampai memakan bangkai itik
karena saking miskinnya, menjadikan ia mengurungkan niat berhaji tahun itu.
Allah kemudian menjadikan malaikat sebagai pengganti Abdullah Ibnu Mubarak
untuk melaksanakan hajinya sebagai balasan atas kepedulian sosialnya.
Dengan demikian, dapat diberikan kesimpulan,
bahwa apabila ada orang yang sudah mampu haji, namun masih ada tetangganya yang
kelaparan, kekurangan secara mendesak, maka ia wajib menyantuni mereka. Jika
uang yang dibuat menyantuni mereka selama ia berhaji masih sisa dan cukup
dibuat haji, orang tersebut juga harus menjalankan ibadah haji wajib.
Berbeda jika ada orang mampu melaksanakan
ibadah haji tapi uangnya hanya cukup untuk daftar dan memenuhi perlengkapan pribadinya
sendiri sedangkan keluarga yang ditinggalkan di rumah atau tetangganya ada yang
sangat membutuhkan misalnya tidak kuat membayar biaya rumah sakit atau sampai
tidak kuat membeli makanan pokok, pakaian yang layak, maka orang yang akan
berhaji tersebut hukumnya menjadi tidak wajib melaksanakannya pada tahun itu,
sebab tanggung jawab nafkah keluarga dan kebutuhan sosial masyarakat Muslim
yang mendesak tetap harus lebih didahulukan. Dua kewajiban antara melaksanakan
haji dengan kewajiban menyantuni masyarakat lebih didahulukan menyantuni
masyarakat.
Lain halnya bila keluarga sudah hidup cukup
dan masyarakat sekitarnya—walaupun mereka miskin—tapi masih pada batas wajar.
Dalam konteks ini, tentu haji yang hukumnya wajib harus diprioritaskan daripada
sedekah sunnah. Demikian pula berlaku untuk masalah umrah. []
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren
Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar