Bentuk-bentuk Cara
Transaksi Jual Beli dalam Perspektif Fiqih
Ada banyak macam jenis sistem jual beli yang
berlaku umum di masyarakat kita, mulai dari masyarakat “primitif” sampai dengan
masyarakat modern. Jual beli klasik umumnya dilaksanakan melalui metode barter.
Di masa awal risalah kenabian, tradisi ini sudah sangat berkembang dan umum
berlaku di kalangan masyarakat jahiliyah kala itu. Itulah sebabnya ada istilah dzahaban
bi dzahabin, yadan bi yadin di dalam seri pelajaran fiqih muamalah
terapan pada umumnya.
Istilah yadan bi yadin sering dimaknai
dengan unsur saling serah-terima barang antara penjual dan pembeli. Sementara
itu, unsur dzahaban bi dzahabin sering dimaknai dengan unsur tukar-menukar yang
sama jenis, misalnya emas dengan emas, gandum dengan gandum, beras dengan beras
dan lain sebagainya. Kunci utama kebolehan bermuamalah tukar-menukar (barter)
ini adalah apabila wujud dzat keduanya – antara yang diserahkan dan yang
diterima – adalah sama. Rasulullah SAW bersabda:
عن
أبي سعيد الخدري -رضي الله تعالى عنه- وهو حديث متفق عليه، يقول – صلى الله عليه
وسلم-: )لا تبيعوا الذهب بالذهب إلا مثلاً بمثلٍ ولا تُشِفُّوا بعضها على بعض)
يعني لا تزيدوا (ولا تبيعوا الوَرِق) الذي هو الفضة (بالورق، إلا مثلاً بمثلٍ، ولا تشفوا بعضها على بعض، ولا
تبيعوا منها غائباً بناجز) يعني لابد من التقابض، وفي لفظ مسلم بعد أن ذكر الأصناف
الربوية: (مثلاً بمثلٍ يداً بيد، فمن زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ والمعطي سواء)
يعني من زاد في قضية التبادل، تبادل الجنس بجنسه، أو استزاد طلب الزيادة فقد وقع
في الربا (الآخذ والمعطي سواء) رواه أحمد والبخاري
Artinya: “Sebuah hadits yang telah disepakati
keshahihannya, dari Abi Sa’id Al-Khudri radliyallahu ‘anhu, Nabi SAW bersabda :
(“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali semisal, dan jangan kalian
melebihkan sebagian atas sebagian yang lain!), artinya jangan kalian
menambahkan .. (“dan janganlah kalian menjual dirham (al-wariq)”), yaitu perak
(al-fidh-dhah), (“dengan dirham”) kecuali semisal, dan janganlah kalian
melebihkan sebagian atas sebagian lainnya, dan janganlah kalian menjual sesuatu
yang tidak ada (ghaib) dengan sesuatu yang ada di tempat (al-nâjiz)”),
artinya harus ada serah-terima (al-taqâbudh).” Dalam lafadz hadits yang
diriwayatkan Imam Muslim, setelah menjelaskan barang-barang ribawi : (“semisal
serta tunai, barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah melakukan
riba, baik yang mengambil dan memberi adalah sama saja”), artinya barangsiapa
menambah dalam konteks tukar – menukar (at-tabâdul), tukar – menukar
dengan jenisnya, atau meminta tambahan maka telah melakukan riba, (“yang
mengambil dan menerima adalah sama”. HR. Imam Ahmad dan Al-Bukhari (Muhammad
bin Ali Al-Syaukani, Nailul Authâr, Daru al-Hadits, 1993, Juz. 3, hal.
225)
Beberapa kandungan penting dari hadits di
atas dapat diringkas sebagai berikut:
1. Jual beli barter adalah boleh namun harus
berupa barang yang semisal (sama)
2. Salah satu dari dua pihak penjual dan
pembeli, tidak boleh ada yang melebihkan takaran atau menguranginya.
3. Tidak boleh barter antara dua barang yang
berbeda jenis. Misalnya antara emas dengan perak, atau antara gandum dengan
beras kecuali dilakukan secara yadan bi yadin.
4. Tidak boleh tukar-menukar antara barang
yang berbeda timbangan atau takaran. Misalnya, antara beras dengan berat dengan
jenis bagus seberat 1 kilogram, ditukar dengan beras kualitas rendah seberat
1,5 kilogram.
5. Tidak boleh jual beli barang yang tidak
ada atau belum ada.
Semua bentuk perbedaan ukuran, jenis,
takaran, timbangan dan perbedaan kualitas sehingga menyebabkan salah satu dari
kedua barang mendapatkan tambahan takaran, atau ukuran, maka semua kelebihan
tersebut adalah riba. Di dalam hadits di atas, disebutkan:
فمن
زاد أو استزاد فقد أربى
Artinya: “Barangsiapa menambah atau meminta
tambah, maka betul-betul telah melakukan riba.”
Dr. Amar Abdullah dalam kitab Fiqh
al-Mu’amalat, memberikan definisi atas riiba sebagai berikut:
أن
الربا: الزيادة عند مبادلة الأصناف الربوية بعضها ببعض، الزيادة عند مبادلة
الأصناف الربوية ببعضها إذا كانت من جنس واحد، وتأجيل القبض في العوضين أو في
أحدهما في هذه الأصناف
Artinya: “Sesungguhnya riba itu adalah
tambahan yang terjadi saat tukar-menukar (mubâdalah) barang ribawi (al-ashnaf
ar-ribawiyah) dengan sebagian lainnya, yang berasal dari satu jenis. Riba juga
terjadi akibat penundaan penyerahan (al-qabdh) kedua barang yang saling
dipertukarkan nilainya (al-iwadhain), atau penundaan salah satu dari keduanya
yang saling dipertukarkan ini.” (Dr. Amar Abdullah, Fikih al-Muamalat, Al-Dars
al-Khamîs, Maktabah Akademiyah, tt, hal. 7-10!)
Walhasil, berdasar definisi Dr Amar Abdullah
di atas, maka riba merupakan suatu tambahan yang terjadi akibat jual beli secara
“barter antar barang ribawi” baik dengan sesama jenisnya (misal: emas dengan
emas)—yang disertai dengan tambahan takaran salah satu di antara keduanya -
atau tukar-menukar berbeda jenisnya (misal, emas dengan perak) akan tetapi yang
dilakukan dengan jalan penangguhan (tempo, kredit).
Menggarisbawahi dari larangan jual beli emas
dengan jalan “tangguh/tempo/kredit” dari definisi di atas, sepertinya Dr. Amar
Abdillah ini condong pada pendapat kalangan ulama Hanabilah. Oleh karena itu,
tidak heran bila mereka melarang jual beli emas secara kredit.
Bagaimana pandangan ulama Syafi’iyah terhadap
aqad emas secara kredit ini? Kita simak pendapat al-Darimi berikut ini:
قال
الدارمي في جمع الجوامع و من خطه نقلت : إذا كان المبيع غير الذهب و الفضة بواحد
منهما فالنقد ثمن و غيره مثمن و يسمى هذا العقد : بيعا و إذا كان غير نقد سمى هذا
العقد : معاوضة و مقايضة و منافلة و مبادلة لان كان نقدا سمي : صرفا و مصارفة و إن
كان الثمن مؤخرا سمي : نسيئة وإن كان المثمن مؤخرا سمي : سلما أو سلفا و إن كان
المبيع منفعة : سمي : إجارة أو رقبة العبد له سمي : كتابة أو بضعا سمي : صداقا أو
خلعا انتهى
Artinya: “Berkata Imam al-Darami dalam kitab Jam’u
Aljawaami’:
- Bila yang dijual tidak berupa emas dan
perak sedang (alat pembayaran) dengan alat pembayaran emas dan perak (uang),
maka alat pembayaran dinamakan “harga” sedang barangnya dinamakan “yang
dihargai”, dan transaksinya namanya “jual beli”
- Bila alat pembayaran tidak berupa emas dan
perak (uang, misalnya barang dengan barang) nama transaksinya mu’âwadhah,
muqâyadhah, munâfalah, mubâdalah (barter)
- Namun jika alat pembayaran berupa emas dan
perak (nuqud/uang), maka transaksinya disebut krus (sharf) dan
perbelanjaan (mushârafah).
- Bila harga (uang) diberikan secara
penundaan, maka nama transaksinya kredit.
- Bila barangnya yang diberikan di belakang,
maka nama transaksinya adalah pesan (salam)
- Bila barang berupa jasa,maka nama
transaksinya adalah sewa
- Bila barang berupa pembebasan hamba, maka
nama transaksinya adalah kitâbah, dan
- Bila barang berupa bidla’an (farji),maka
nama transaksinya adalah shidaq (mahar), khulu’ (tebusan).
(Tajuddin al-Subky, Al-Asybah wa al-Nadhâir, Maktabah al-Arabiyah
Al-Kubra, Juz 1, halaman 463)
Melihat dari definisi di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa jual beli berbeda jenis antara emas dan perak dengan
transaksi pembayaran adalah berupa uang, maka jual beli yang demikian ini
diperbolehkan. Termasuk yang juga diperbolehkan adalah jual beli dengan harga
ditunda penyerahannya, yakni kredit dan tempo. Dengan demikian, maka menurut
kalangan Syafi’iyah, jual beli emas dengan jalan kredit adalah diperbolehkan,
sehingga pendapat kalangan Hanabilah di atas ditolak di kalangan Syafi’iyah.
Namun, ada catatan yang harus diperhatikan oleh kalangan Syafiiyah adaah: harga
sudah ditentukan di awal transaksi muamalah terjadi, selama belum berpisah
majelis. Wallahu a’lam. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jawa
Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar